 |
Berpose sebelum melanjutkan etape kedua |
Sudah kali ketigabelas saya menguap di sepanjang perjalanan. Jam menunjukkan pukul setengah satu pagi dan kami berempat baru tiba di jalan
bypass Purworejo. Ya, kami sudah dekat dengan tempat pemberhentian pertama, namun udara dingin Menoreh sungguh menusuk membuat perjalanan enam jam pertama kami penuh kantuk. Belum lagi hujan deras yang merintangi kami di Wates, Kulon Progo selama dua jam benar-benar membuat kami terhenti dengan hawa dingin yang kian merasuk. Ngantuk, akhirnya kami putuskan berhenti sejenak di warung depan RSUD Purworejo 2 sembari menyeruput kopi botolan.
Jarpo segera membelikan minuman dan menghubungi rekannya sesama aktivis yang bersedia ditumpangi. Aktivitas Jarpo yang berkecimpung dalam dunia aktivisme terutama soal perburuhan membuatnya banyak dikenal berbagai kalangan serta memiliki jaringan yang luas. Tak lama, kami dapatkan alamat spesifik dan empunya rumah rupanya sudah menanti kami. Usai menenggak minuman isotonik, kami berempat bergegas menuju alamat tersebut.
 |
Hujan di Kulon Progo berlangsung lama |
 |
Rekan-rekan yang mengawal kami hanya bisa mengekor sampai di Kulwaru, Kulon Progo karena hujan |
Jalanan di Purworejo tidak selebar Jalan Wates. Meskipun statusnya adalah Jalan Nasional, jalanan di sini hanya memiliki satu lajur saja. Pada malam hari, bus PATAS (berhenti pada tempat terbatas) melaju dengan kecepatan tinggi. Alhasil—ditambah minimnya penerangan dan jalanan yang bergelombang, perjalanan malam ini cukup mengerikan. Jalan memang tidak lebar, namun siapa yang tahu berapa kecepatan yang dipacu kendaraan besar itu.
 |
Memasuki Purworejo, hawa dingin Menoreh mulai menusuk |
 |
Jalan Nasional 3 Purworejo cukup buruk untuk bersepeda malam |
***
Tiba di rumah host pertama, rupanya kedatangan kami telah ditunggu-tunggu. Raut muka bantal pun tercermin di kedua wajah tuan rumah. Kami menyelonjorkan kaki supaya otot tidak terjepit sembari menguapkan keringat di ruang tengah. Hujan tiga jam yang lalu cukup mendinginkan atmosfer di pinggiran rel kereta Kutoarjo ini. Sepuluh menit berselang, empat mangkok mi instan tersaji di hadapan, "
Monggo didahar (Silakan disantap)," ujar sang tuan rumah.
 |
Tatapan kantuk Riko menghadap layar ponsel |
 |
Riko menyantap dengan lahap mi instan yang disajikan tuan rumah |
Sebelum tidur, saya wajib mandi. Jelas, di daerah dataran rendah apalagi sebagai pemilik golongan darah O+, saya rentan jadi sasaran gigitan nyamuk. Meski sudah mandi pun tidak mudah bagi saya untuk terlelap karena nyamuk dari kebun sekitar rumah benar-benar mengganggu.
***
Semesta mendukung...
Sudah tiga jam kami bersepeda sejak meninggalkan Kutoarjo dengan berswafoto bersama empunya rumah. Meski sudah merepotkan mereka, kami tetap dibawakan banyak makanan, bahkan sekotak kue bolen yang tampaknya masih segar dari oven.
 |
Meski konvoi, kami tetap mengutamakan keselamatan |
Oh ya, hari ini adalah hari Jumat. Meski sedang pandemi, saya ingin kembali melaksanakan solat Jumat setelah libur 5 bulan lamanya. Tanpa pikir panjang, saya bergegas ke Masjid Kauman Gombong. Masjid di komplek pemerintahan ini masih tetap melaksanakan solat Jumat dengan penyesuaian protokol kesehatan, ada penjarakan namun tanpa ada pembatasan asal jamaah. Di gerbang masuk masjid, sudah ada dua petugas yang siaga mengecek suhu tubuh jamaah dengan termometer tembak. Lolos, jamaah dipersilakan memasuki masjid.
 |
Memasuki Kabupaten Kebumen |
 |
Jarpo melayani pertanyaan wartawan dari media lokal Jogja |
 |
Jarpo membagikan stiker komunitas dan stiker propaganda aksi kami |
 |
Memasuki Kabupaten Banyumas |
Selesai Jumatan, Jarpo dan Riko sedang jadi pusat perhatian warga sekitar khususnya jamaah Jumat. Maklum, sepeda tinggi adalah pemandangan langka di Kebumen, khususnya Gombong. Bahkan sepanjang perjalanan dari Kutoarjo hingga Gombong—sekarang dan nanti setibanya di Jakarta, sepeda-sepeda jangkung inilah yang akan menarik perhatian masyarakat. Beberapa orang tua memotret sepeda unik ini, ada pula yang mengajak mereka masuk dalam bingkai. Momen ini tentu dimanfaatkan Jarpo untuk membagikan stiker propaganda aksi kami menuju Jakarta.
Sewaktu rehat sejenak di Kebumen dua jam yang lalu, ada seorang penjelajah berpenampilan ala
kaum hippie yang menyambangi kami. Namanya Muklis, Ia mengendarai Yamaha X-Ride dengan modifikasi slebor di bagian depan dan sirine kuning besar di bagian belakang. Meski Ia berbahasa Jawa Ngapak nan kental, motornya justru berpelat ibukota. Begitu melihat kami berempat bersepeda dengan tujuan memprotes pembahasan RUU Cilaka menuju Jakarta, Muklis pun mengawal kami dengan motornya di paling belakang. Secara sukarela.
 |
Es Dawet Ireng, salah satu kuliner khas Banyumas |
 |
Tempe Mendoan, kuliner khas Banyumas yang disajikan dengan cabai hijau, kultur yang sedikit berbeda |
"Nek inyong sesuk ndak ono agenda, inyong melok Jakarta (Kalau saya besok nggak ada agenda, saya tentu ikut ke Jakarta)," lagi-lagi logatnya kental sampai-sampai bahasa Jawa terdengar asing di telinga saya.
Selain Muklis, sambutan hangat juga datang dari banyak orang di sepanjang jalan. Sewaktu melintasi Kutowinangun, Kebumen, mendadak seorang pengendara dengan alat pancing di pundaknya memberikan selembaran rupiah merah pada kami. Sontak saya terima, beliau berpesan untuk terus semangat sampai Jakarta.
Well, kalau dipikir-pikir dua belas jam sebelumnya kami berempat sempat mengurungkan niat ke Jakarta karena terjebak hujan. Pesan beliau membuat kami semangat meski jarak masih terpaut sangat jauh dengan ibukota.
 |
Melewati Jalan Lingkar Sumpiuh adalah ide buruk, Riko pun mengambil istirahat |
 |
Mas Muklis menemani kami dari Kebumen hingga Ajibarang |
***
Melawan diri sendiri...
Rasanya sudah tiga jam lebih mengayuh pedal sejak istirahat sejenak menyeruput dawet ireng di Sokaraja, saya tak kunjung melihat gapura perbatasan. Saya sebenarnya tidak heran kalau perjalanan di Kebumen dan Banyumas ini akan terasa lama karena kedua kabupaten ini sama-sama luas di Jawa Tengah: Banyumas nomor tujuh (1.335,30 km2) dan Kebumen nomor delapan (1.211,74 km2). Namun tidak kunjungnya kami melihat perbatasan menjadi beban mental tersendiri, belum lagi kondisi jalanan di Banyumas tidak lebar sehingga perjalanan makin terasa jauh.
Matahari kian turun. Meski beban yang dibawa bisa mencapai 30 kg, si Kromo tetap bisa dibawa melaju kencang. Berterimakasihlah saya pada peletakan beban yang seimbang antara keranjang depan dan rak belakang. Berbeda cerita dengan saya, ketiga rekan yang membawa sepeda tinggi sedikit kesusahan ketika menemui beberapa tanjakan di sepanjang perjalanan. Meski beban bawaan mereka relatif lebih ringan, sepeda dengan
fixed gear jenis
dualtrap jelas tidak bisa oper gigi dan benar-benar mengandalkan kekuatan otot paha dan kaki. Belum lagi sepeda tinggi juga mudah oleng apabila tertiup angin kencang termasuk sewaktu kendaraan besar melaju.
 |
Beberapa kali kami berpapasan dengan pesepeda yang mencoba menikmati jalanan di tengah marabahaya lalu lintas |
 |
Perjalanan sedikit memasuki Kabupaten Cilacap |
 |
Pemandangan yang disajikan Jawa Tengah bagian barat di sepanjang perjalanan |
Mental kami berempat sempat jatuh, namun kembali bangkit begitu melihat gapura Kabupaten Cilacap ada di ujung pandang. Dengan segera kami memacu roda-roda sepeda, dan lagi-lagi sepeda-sepeda tinggi ini memesona masyarakat yang 'beruntung' melihatnya. Memasuki Cilacap jalanan relatif lebih baik karena sudah dibeton meski tanpa dilapisi aspal di atasnya.
"
Mbengi iki dhewe kudu tekan Ajibarang, lanjut mbronjong ning Songgom njuk Brebes (Malam ini kita harus sampai Ajibarang, lalu menurun ke Songgom lalu Brebes)," jelas Jarpo. Ajibarang ini termasuk kota kecil yang terkenal akan pabrik Semen Bima. Karena cukup banyak industri berdiri di wilayah ini, banyak truk-truk dan bus besar melalui jalanan di daerah ini.
***
 |
Beristirahat di Wangon, Banyumas, sembari diwawancarai warga |
Satu botol teh pabrikan habis dalam setengah menit begitu azan maghrib berkumandang. Tidak, saya tidak berpuasa, hanya melepas dahaga. Kami baru tiba di Wangon pukul 6 sore. Bagi Riko dan Jarpo, ini waktunya rehat. Bagi Pepe, ini waktunya menjamak solat. Usai solat maghrib, tidak sedikit warga mendatangi kami—atau lebih tepatnya sepeda tinggi. Pertanyaan mereka selalu sama: bagaimana caranya naik dan caranya turun, lalu bagaimana kalau terjebak lampu merah. Saya sih bukan pemilik sepeda tinggi sehingga memilih menyingkir dari kerumunan orang-orang penasaran.
Bertaruh nyawa...
Bersepeda dilanjut. Kali ini jalanan sedikit menanjak ke arah Ajibarang. Kota kecil ini terletak di kaki Gunung Slamet, menjadi salah satu kota yang menghubungkan jalur selatan dengan jalur utara (Pantura). Satu yang menyebalkan dari rute ini adalah minimnya penerangan. Senter yang dibekali Suparlan dari Jogja ini mulai sekarat sehingga cahayanya begitu redup. Dari Wangon, Ajibarang hanya berjarak 14 km saja. Walau begitu, etape ini jadi salah satu yang paling berat bagi kami. Jalanan sempit dengan selokan di kiri-kanan jalan, truk-truk dan bus besar berlalu-lalang tanpa menurunkan kecepatan begitu berpapasan, debu-debu pertambangan beterbangan, hingga satu kilometer terakhir yang begitu curam. Memasuki ibukota kecamatan, saya menyerah dengan turun dari sepeda.
 |
Menanti hujan reda di Ajibarang |
"
Aku trimo nuntun tinimbang setor nyowo (Saya memilih menuntun sepeda daripada taruhan nyawa)," ujar saya pada Muklis. Ia pun setia menemani saya menuntun sepeda hingga ke SPBU Ajibarang. Iya, pada etape terakhir ini saya memilih turun karena jalanan
sangat berbahaya bahkan untuk sepeda bergigi seperti saya.
Setibanya kami berempat di SPBU Ajibarang, hujan deras pun turun. Aneh, seharusnya Juli waktunya musim kemarau. Di Ajibarang, satu-satunya pesepeda tinggi di Banyumas mendatangi kami yang sedang santai ngopi, menggunakan motor tua dari Purwokerto. Namanya Firli, biasa disapa Bokir (
bokong kirik/pantat anjing). Ekspresi kebahagiaan benar-benar terpancar dari wajahnya. Mungkin karena dia menemukan rekan sekomunitas sepeda tinggi yang jauh-jauh datang dari Jogja meski hanya transit di Ajibarang. Sebagai bentuk terima kasihnya, Ia berikan makan malam.
"
Iki simbok enyong masak gawe sampeyan (Ini emak saya masak untuk teman-teman)," sekantong plastik besar nasi bungkus berpindah tangan. Hujan sedikit reda, kami melanjutkan perjalanan. Tak lupa, Firli membekali kami jas hujan dari plastik, penting bagi saya yang membawa banyak piranti elektronik.
 |
Tiba di Brebes, kami segera menyambangi sekretariat Gebrak |
Jalanan dari Ajibarang menuju Brebes relatif menurun dengan sedikit tanjakan kecil. Kalau siang-siang, pemadangan di sini luar biasa cantik dan memanjakan mata, terutama di Waduk Penjalin. Sayang gelap. Etape terakhir kami tinggal mengikuti Kali Pemali untuk tiba di Brebes kota. Etape ini pun benar-benar tidak terasa, bahkan kami tidak sadar telah melewati gapura Kabupaten Tegal sebelum memasuki Songgom, dan berlanjut ke Brebes. Setibanya di Brebes, sudah ada rekan dari Gebrak (Gerakan Buruh Bersama Rakyat) yang menanti kedatangan kami. Pukul 2 pagi, lekas mandi dan menyantap sajian dari dapur rumah Firli, kami terlelap lagi.