Hari demi hari TPA Pasuruhan dan TPA Banyuurip semakin penuh dengan timbunan sampah. Setiap hari belasan truk pelat merah keluar-masuk guna membuang sampah di kedua tempat ini. Beruntung, Magelang Raya yang terdiri dari kabupaten dan kota memiliki tempat pembuangan yang terpisah, sehingga bagi peneliti cukup mudah guna menakar dan menghitung berapa produksi sampah harian di kedua TPA ini — TPA Pasuruhan milik Pemkab Magelang, dan TPA Banyuurip dikelola Pemkot, meski belum bisa spesifik per kategori.
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah (SIPS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebagian besar sampah baik yang diproduksi oleh masyarakat kota maupun kabupaten berupa sampah sisa makanan yang lalu diikuti oleh sampah plastik (lampiran). Kedua jenis sampah ini adalah yang terangkut ke TPA — masih banyak sampah di Magelang Raya dibuang sembarangan di sungai, lahan kosong, hingga pinggir jalan.
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah (SIPS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebagian besar sampah baik yang diproduksi oleh masyarakat kota maupun kabupaten berupa sampah sisa makanan yang lalu diikuti oleh sampah plastik (lampiran). Kedua jenis sampah ini adalah yang terangkut ke TPA — masih banyak sampah di Magelang Raya dibuang sembarangan di sungai, lahan kosong, hingga pinggir jalan.
Mengapa Sampah Industri Kuliner Mendominasi?
Jawaban singkatnya, saat ini industri kuliner di Magelang Raya sedang bergeliat. Mulai dari makanan cepat saji seperti ayam goreng, hingga minuman yang sedang ngetren boba atau teh Thailand, semuanya bisa didapatkan di Magelang. Untuk bisa mendapatkan ayam goreng atau teh Thailand ini, masyarakat memiliki tiga opsi: mengunjungi gerai dan makan di tempat, mendatangi gerai untuk dibawa pulang, atau memesan makanan melalui aplikasi daring. Sayangnya, semua dari ketiga cara tersebut tidak menjauhkan konsumen dari produksi sampah.
Sampah dari industri kuliner pun bisa diklasifikasi ke dalam dua jenis: sampah makanan (food waste); dan sampah kemasan alat-alat makan (food delivery kit waste). Khusus sampah bahan makanan (food loss) tidak diklasifikasikan sebagai sampah industri kuliner karena masih bahan mentah. Sampah kemasan biasanya dihasilkan ketika makanan pesanan dibawa pulang. Sayangnya — demi kemudahan dan kepraktisan — para pedagang kuliner pun menerapkan kemasan untuk makan di tempat. Hal ini terjadi karena dengan menggunakan kemasan sekali pakai tadi jauh lebih ekonomis daripada harus merekrut karyawan tambahan, atau mencuci ulang alat-alat makan. Alhasil, produksi sampah kian tak terelakkan.
(Foto oleh Unsplash/Christopher Williams) |
Beberapa dari komponen sampah kemasan dan alat makan dapat didaur ulang, dan beberapa sampah organik makanan dapat dijadikan kompos. Namun, sayangnya kebanyakan sampah-sampah dari industri kuliner ini berakhir begitu saja di TPA Pasuruhan atau TPA Banyuurip karena tidak lagi dapat didaur ulang menjadi bentuk lain. Misalnya untuk komponen sampah yang rusak seperti kertas pembungkus, saus sasetan, atau kardus kemasan tentu tidak akan didaur ulang — dan semua masalah persampahan ini tidak cukup diselesaikan hanya dengan cara daur ulang.
***
Ada Nggak sih Bahaya dari Sisa Makanan?
Meski terdengar sepele, rupanya sisa makanan cukup berbahaya bagi keberlangsungan iklim. Hal ini dikarenakan sisa makanan komponen organik yang dapat membusuk seiring dengan berjalannya waktu. Akan tetapi, timbunan sampah makanan dalam skala besar — yang tentu tercampur dengan komoditi sampah lainnya seperti yang terjadi di TPA Pasuruhan dan TPA Banyuurip, akan menghasilkan senyawa bernama gas metana yang jauh lebih buruk dampaknya bagi keberlangsungan iklim.
![]() |
Tren Dunia rata-rata konsentrasi gas metana (CH4) di atmosfer Bumi (Sumber: NOAA, Januari 2020) |
Secara alamiah, gas metana dihasilkan oleh aktivitas mikroorganisme yang mengurai sisa-sisa makanan dan kotoran. Setelah terbentuk, gas ini pun terbawa dan terkonsentrasi di lapisan stratosfer. Jenis gas ini sebenarnya hanya berumur 10 tahun saja sebelum berubah wujud menjadi karbon dioksida dan air. Akan tetapi, gas metana justru memiliki daya rusak 25 kali lipat dibanding karbon dioksida — yang berumur lebih panjang dengan daya rusak lebih kecil namun berkepanjangan. Penyebab utama mengapa konsentrasi gas ini kian banyak di angkasa tidak lain karena aktivitas peternakan massal dan sampah sisa makanan (food waste) serta buangan bahan makanan (food loss) yang tidak termanfaatkan. Bagaimana cara menghilangkan gas ini? Tidak ada. Gas ini terbentuk oleh aktivitas alamiah dan hanya dapat dikurangi saja produksinya melalui pemanfaatan ulang limbah peternakan, limbah rumah tangga, dan sampah organik.
***
Lalu, solusi atas permasalahan ini?
Ada banyak sekali solusi yang dapat diterapkan guna mereduksi produksi sampah makanan dan alat-kemasan makanan di Magelang Raya. Akan tetapi, solusi ini ada baiknya untuk diuji-cobakan dalam skala kecil (seperti lingkup Kota Magelang) terlebih dahulu sebelum benar-benar diterapkan dalam masyarakat luas supaya dapat melihat perubahan, dan aspek apa saja yang perlu diperbaiki guna dikembangkan.
a. Zero Waste Society: Kampanyekan gaya hidup bebas sampah
Solusi sederhana pertama adalah dengan mengampanyekan gaya hidup bebas sampah (Zero Waste Lifestyle). Pemerintah, komunitas, dan perangkat lingkungan setempat — secara intens — mengajak masyarakat guna memikirkan ulang darimana dan kemana sampah akan berakhir. Masyarakat perlu tahu bahwa setiap komponen yang dikonsumsi berasal dari sumber daya yang terbatas. Masyarakat pun juga perlu tahu kemana sampah-sampah yang mereka hasilkan akan berakhir, dan apakah akan jadi sampah permanen atau masih bisa diolah lagi jadi wujud lain.
Ada banyak opsi kemasan selain kantong plastik yang bisa digunakan ulang (Foto oleh Unsplash/Sylvie Tittel) |
Gaya hidup bebas sampah ini sebenarnya bukanlah hal yang baru — budaya Jawa kuno sudah mengajarkannya terlebih dahulu. Dalam aspek antropologis, ukiran-ukiran di dinding candi menggambarkan bagaimana keserasian manusia dengan lingkungan. Sayangnya, nilai-nilai ini tergeser oleh pola hidup kontemporer yang konsumtif dan serba instan sehingga tidak menghindarkan diri dari produksi sampah. Sebagai contoh, dibanding menggunakan kantong plastik, masyarakat Magelang dua dekade lalu lebih menggunakan tas anyaman yang meskipun juga dari plastik, namun digunakan ulang. Atau dalam membungkus bumbu dapur, masyarakat lebih menggunakan daun pisang atau kertas koran bekas yang mudah terurai. Namun semua nilai tersebut tergeserkan oleh nilai-nilai baru dengan anggapan bahwa plastik adalah bentuk modernitas. Padahal, kantong plastik pun penemuan usang hampir seabad lalu.
Zero Waste Society adalah konsep yang lebih realistis untuk diterapkan di Magelang. Meniru model yang diterapkan di Kamikatsu, Tokushima, Jepang, Pemerintah Daerah bersama Komunitas dan Masyarakat sama-sama membangun kesadaran dengan meminimalisir produksi sampah. Tak cukup di situ, infrastruktur dasar juga perlu disiapkan dalam menyongsong ZWS, diantaranya menyediakan layanan angkut reguler yang menjangkau hingga kawasan pelosok, kategorisasi sampah berdasarkan jenis, sifat, atau kondisi barang — di Tokushima bahkan mencapai 42 jenis, dan terapkan teknologi dengan mendayagunakan kemampuan kecerdasan buatan guna menghitung seberapa banyak produksi sampah per kategori secara langsung (jangka panjang menggunakan layanan Gettook + Govi). Sejatinya, program ini mendefinisikan kembali apa itu sampah, dan apa yang akan dilakukan kepada sampah. Definisi sampah tercipta ketika seseorang tidak lagi menganggap suatu barang memiliki nilai— yang mungkin justru masih bernilai di sisi lain. ZWS condong mengubah perspektif masyarakat supaya mengambil peran dalam penanganan masalah sampah sehingga dapat memaksimalkan penggunaan suatu alat/barang, dan menjadikannya kembali bernilai.
b. Meal-To-Go dan kampanye pengurangan — penggunaan ulang
Sudah seharusnya pengurangan (reduce) dan penggunaan ulang (reuse) kita kedepankan ketimbang daur ulang (recycle). Daur ulang adalah opsi yang tersedia ketika produk/sampah sudah ada di tangan kita. Namun 9 juta ton sampah plastik tahunan di Indonesia, hanya 9–10% yang benar-benar didaur ulang, 12%-nya habis dibakar, dan 79% sisanya berserakan atau berakhir di ekosistem laut dan TPA.
Lalu, seperti apa upaya pengurangan yang dapat dilakukan, dari pemerintah, untuk persoalan di hulu?
Pemerintah daerah dapat menerapkan kebijakan ukuran wadah makanan dan minuman untuk kemudian dijadikan sebagai standar medium tukar. Misal, untuk membeli satu porsi makanan, dibuat standar wadah makan dengan kapasitas 800gr dan terdiri dari tiga kompartemen. Atau untuk satu porsi minuman, standar yang digunakan adalah 800mL. Alhasil masyarakat dapat membawa sendiri botol minum ukuran 800mL kemana saja untuk membeli minuman dengan harga jual standar juga per 800mL. Selesai menggunakan, masyarakat cukup mencuci wadah makanan/minuman untuk digunakan kembali. Memang pada awal penerapan kebijakan, hal ini dirasa sulit karena masyarakat dan pelaku bisnis butuh adaptasi meninggalkan kebiasaan lama. Namun dalam jangka panjang, justru kebijakan ini akan menghemat banyak sekali pengeluaran untuk penyediaan gelas, sedotan, dan kantong plastik misalnya dari sisi pengusaha, dan konsumen mendapatkan produk makanan/minuman lebih banyak/murah.
Konsep Meal-To-Go mengikuti cara distribusi minuman dalam botol kaca (Foto oleh Unsplash/Tracey Hocking) |
Untuk institusi pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi, Pemkot dapat menerapkan kebijakan Meal-To-Go. Kebijakan ini secara khusus diberlakukan di sekolah baik yang telah atau belum memiliki kantin sendiri. Sekolah wajib menyediakan kotak makan dan wadah minum berstandar food grade. Untuk penyajian makanan, akan berbentuk laiknya kantin asrama atau kotak makan yang sudah diisi terlebih dahulu sebelum jam istirahat. Opsi pertama berbentuk prasmanan dapat meminimalisir sampah makanan (organik), dan opsi kedua lebih efisien dalam segi waktu. Tinggal ditentukan akan seperti apa kebijakan ini diterapkan. Ketika para pelajar selesai dengan santapan mereka, kotak makan cukup diletakkan di drop box yang tersedia di beberapa titik sekolah. Khusus untuk topping tambahan seperti saus dan kecap, cukup sediakan dalam wujud botol. Dengan cara ini produksi 359 sampah saset saus bisa dihindari dengan 1 botol saus kemasan 600mL.
Untuk minuman, sekolah cukup sediakan kontainer minuman atau memasang pancuran air (water fountain) di titik tertentu sekolah yang terintegrasi dengan saluran air minum perkotaan. Dengan cara ini, sampah botol dan gelas plastik dapat diminimalisir hingga 40%. Konsep serupa juga dapat diterapkan di setiap instansi dan fasilitas publik.
Bagaimana jika ada sampah makanan? Cukup pisahkan sampah makanan ke dalam wadah khusus untuk kemudian dikomposkan. Dalam kebudayaan Magelang, masyarakat zaman dahulu terbiasa membuang sampah organik ke dalam lubang yang digali sedalam 1 meter dengan diameter 1 meter. Lubang ini kemudian diisi dengan sampah makanan, ranting dahan, hingga sampah dedaunan lalu ditimbun kembali dengan tanah. Pembusukan secara alami akan menambah kesuburan tanah sekaligus memberi makan organisme renik di dalamnya.
When my friend asks me to grab them a drink pic.twitter.com/tbIgEewHYI— 9GAG (@9GAG) August 16, 2019
c. Ciptakan tren dan bantu para pelaku usaha untuk beralih
Menciptakan peraturan memang mudah, tapi peran pemerintah daerah tidak cukup sampai di situ. Pemerintah daerah perlu mengedukasi para pelaku usaha untuk tidak lagi menyediakan kemasan ketika sistem ekonomi sirkuler sudah mulai bergulir di Magelang Raya, khususnya Kota Magelang sebagai wilayah uji coba.
Insentif pajak atau subsidi usaha menjadi salah satu kebijakan yang diterapkan ketika mengupayakan tren minim sampah. Namun perlu ditinjau kembali apakah kebijakan seperti ini benar-benar efektif membuat para pengusaha beralih, dan dampaknya terhadap APBD kota.
d. KotakMakan (TM) — Kebijakan untuk Layanan Antar Makanan
Ada dua pemain besar dalam jasa antar makanan daring: GoFood dan GrabFood. Kedua pemain ini secara tidak langsung ikut berkontribusi dalam produksi sampah di Magelang Raya. Dalam setiap porsi paket pengantaran makanan, setidaknya akan menghasilkan tiga sampah: wadah makanan, gelas plastik, dan kantong plastik. Jumlah ini belum ditambah apabila nasi dan lauk ikut dikemas dalam kemasan kertas dan plastik. Oleh karena itu, kebijakan ramah lingkungan perlu diarahkan pada kedua layanan ini.
Perkenalkan, KotakMakan (TM). Kebijakan ini bisa diwujudkan dalam Badan Usaha Milik Daerah atau melalui berkolaborasi bersama Gojek dan Grab. Para vendor/mitra yang tergabung dalam layanan GoFood diwajibkan GrabFood untuk tidak lagi menggunakan sekali pakai melainkan dengan kemasan yang diatur dalam standar kebijakan KotakMakan. Kebijakan ini meminta Grab dan Gojek sebagai aplikator untuk menyediakan kotak-kotak makan dan botol minum berstandar sebagai objek yang akan berpindah tangan (moving object) dan disebar di semua mitra mereka. Selain itu, Grab dan Gojek wajib menambahkan ekstensi bagasi di motor para mitra pengendara khusus untuk pengantar makanan. Di sisi lain, Pemkot menyediakan drop box atau kotak besar yang akan diisi oleh para pelanggan GoFood dan GrabFood untuk mengembalikan botol dan kotak makan yang telah mereka gunakan. Syaratnya, kemasan makanan ini sudah dibersihkan/dicuci terlebih dahulu. Setiap hari akan ada petugas yang mengambil, kembali mencuci kotakmakan tersebut, guna diedarkan ke masing-masing vendor/mitra GrabFood dan GoFood. Dengan cara ini, sampah di Kota Magelang dapat dipangkas hingga 30%.
***
Persoalan sampah memang perlu diselesaikan dari hulu ke hilir. Semua upaya ini tidak hanya demi mengubah kondisi lingkungan, melainkan juga mengubah kebiasaan masyarakat untuk kembali pada fitrah ajaran tradisi Jawa: ramah lingkungan. Dan yang terpenting akan terjadi penghematan penggunaan sumber daya alam, penggunaan energi, pengurangan efek GRK, dan pengurangan sampah sekali pakai. Dengan slogan masyarakat Magelang Moncer Serius (Modern, Cerdas, Sejahtera, dan Religius), seharusnya langkah-langkah ini mudah diterapkan di kota dengan 120 ribu jiwa.
= + =
Lampiran
Komposisi Sampah Kota Magelang (2017–2018)
- 33,7% — sampah sisa makanan,
- 21,5% — sampah plastik,
- 18,8% — sampah kertas,
- 13,3% — sampah kayu, ranting, dan daun,
- 3,7% — sampah kaca,
- 5,9% — sampah dalam wujud lain-lain,
- 1,8% — sampah kain tekstil,
- 0,8% — sampah logam, dan
- 0,5% — sampah karet kulit.
Komposisi Sampah Kabupaten Magelang (2017–2018)
- 39,0% — sampah sisa makanan,
- 17,1% — sampah plastik,
- 15,3% — sampah kayu, ranting, dan daun,
- 12,3% — sampah kertas,
- 8,5% — sampah dalam wujud lain-lain,
- 2,6% — sampah kaca,
- 1,8% — sampah kain tekstil,
- 1,8% — sampah logam, dan
- 1,5% — sampah karet kulit.
= + =