'Papa Jo' katanya

Warga lokal melintas di depan SMPN 5 Samalantan, siang hari

Sabtu (23/6), kami tidak memiliki agenda. Ya, program-program yang kami canangkan rencananya akan dieksekusi mulai hari Senin (25/6) esok. Belum ada pembukaan program oleh Kepala Desa Pak Ardilala, juga belum bertemu para kepala dari 9 rukun tetangga yang ada. “Kita ketemu Pak Kades hari Senin ya,” jelas Yemima pada rapat Jumat malam sebelumnya. Dan saat ini, seperti biasa saya menghabiskan waktu dengan menulis cerita ini. Ingin hati memasak, tapi keterbatasan bahan membuat saya urung. 
Oiya, perkenalkan teman baru kami hari ini. Namanya Yayuk, ia adalah anak semata wayang dari ibu penjaga sekolah SMPN 5 Samalantan dan Kantor Desa Tumiang tempat kami menginap. Setiap hari—sebu saja ibunya Yayuk, berjaga di warung kecilnya. Tidak banyak yang dijual di warung ini, hanya ada beberapa jajanan, token listrik, dan bensin eceran. Meski warungnya tidak menjual banyak barang, banyak warga setempat singgah di warung ibu untuk sekadar mengesap kopi sasetan atau mengisi bahan bakar. Yayuk sendiri adalah anak periang. Ia sangat senang ketika ada masyarakat yang menyambangi kantor desa atau warung di rumahnya. Acapkali ada yang datang, Yayuk lantas merecoki orang itu, siapa pun dia.

Maklum bagi saya. Rumah Yayuk yang sedikit jauh dari rumah-rumah warga lainnya membuatnya tidak bisa jauh-jauh bermain. Sesekali memang ada anak-anak yang main sepakbola di lapangan sekolah seberang kantor desa, tapi sudah besar sekitar SD. Keberadaan kami di sini selama 50 hari ke depan mungkin akan membuatnya senang dan terkenang. Tapi, semoga ia juga rela melepas kepergian kami dikala program KKN berakhir. Semoga. 

Ladang jagung milik masyarakat Tumiang di belakang kantor desa
Hari ini, teman-teman saya diajak untuk pergi ke ladang jagung milik keluarga Yayuk. Letaknya jauh di pedalaman sih. Semula saya minat untuk ikut, tapi karena cuaca terlalu cerah, saya akan menyusul saja. Teman-teman saya terutama yang putri bergegas mengganti baju mereka. Rivy pun menggenggam tangan Yayuk yang begitu semangat ingin menunjukkan kebun milik keluarganya kepada kami.

Sebagai tipikal orang yang spaneng dalam hidup, saya memang tidak terbiasa untuk dekat dengan anak kecil. Siapa pun, anak-anak. Jenjang pendidikan PAUD – SD. Masalahnya sederhana: anak kecil punya karakter beragam dan saya tidak terbiasa menghadapi karakter anak-anak yang berbeda-beda. Sebenarnya itu adalah cara sang anak mengeksplorasi dunia yang mereka tinggali, jadi saya tidak ingin mengintervensi imajinasi anak kecil dengan topik obrolan harian saya yang terlalu berat: politik, masalah sosial, urban development, dsb.

Siang hari, Canting, Eka, dan Angga seperti biasa mengisi keluangan dengan bermain poker. Minus Hasniah, sang ‘ukhti bandar’ asal Medan. Permainan strategi ini memang bagus untuk mengasah otak, terutama kemampuan taktikal. Sedang saya, memandang bosan layar laptop, mungkin waktunya rehat sejenak dari menghadap layar, “Ting, anak-anak tadi ke arah mana ya?” tanya saya, sedikit menginterupsi permainan mereka. “Kayaknya tadi ke belakang kantor desa.”

Matahari bersinar terik keemasan. Saya menyusuri jalan setapak berpagar jagung ini. Beberapa petak ladang jagung ada yang sudah memasuki masa panen, ada juga yang baru berbuah. Ah, seharusnya tadi saya mengenakan kaos lengan panjang atau minimal memakai tabir surya.

Tak lama, saya mendengar sayup-sayup kebisingan dan suara gemericik air. Benar saja, saya berpapasan dengan teman-teman saya yang baru saja membantu ibunya Yayuk—anak balita dari tetangga pondokan kami, menanam biji jagung di ladangnya yang jauh. Saya tidak begitu paham bahasa yang diutarakan sang Ibu karena bercampur logat khas Kalimantan yang kental, tapi mungkin beliau mengajak teman-teman saya untuk turun ke sungai. 

Rivy Puspita, selebgram kenamaan UGM memandikan Yayuk
Jernih. Bebas sampah. Dua keunggulan sungai ini. Sudah sangat jarang sekali saya menemukan sungai seperti ini. Sekalinya ada sungai yang jernih, tetap masih ada sampah di dasar atau bantarannya. Ternyata ada anak-anak desa setempat yang sedang bermain di sungai. Tanpa ragu, tanpa malu mereka bertelanjang bulat dan berenang bebas di sisi terdalam sungai. “Namanya Bojang. Dia biasa tuh jalan-jalan jauh, kadang sampai desa sebelah,” jelas ibunda Yayuk. Melihat Bojang, saya jadi teringat salah satu program teve yang mengajak anak-anak balita dan usia dini untuk aktif bergerak, mengeksplorasi dunia mereka, dengan menjelajahi lingkungan tempat tinggal mereka. Sayangnya dewasa ini banyak orangtua baru yang gagap dalam mendidik anak mereka: memberikan gawai supaya anak tidak berisik tidaklah baik bagi perkembangan diri anak. 

Teman-teman saya yang mungkin di daerah mereka tidak pernah melihat sungai jernih pun langsung memasukkan kaki mereka ke dalam air, “Adem banget sumpah.” Wajah mereka sumringah. Yayuk, sang anak, sontak ingin berenang bersama teman-temannya. Ia melepas baju dan memberikannya pada Maya. Rivy yang disukai Yayuk pun kewalahan menangani anak ini. Saya hanya tersenyum melihat tingkah kawan-kawan saya yang direpotkan Yayuk. Menggemaskan.

Dua belas menit kami bermain air, ibunda Yayuk mengajak anak semata wayangnya itu untuk berlekas diri. Saat saya akan naik ke pematang sungai, tiba-tiba Yayuk meminta gendong ke saya. Jelas saya kewalahan karena tidak pernah menggendong balita sebelumnya. Kedunguan saya pun mendapat sorak dan tawa dari rekan saya. Jarang-jarang Yayuk mau digendong: Ia sempat menolak gendongan Rivy, “Punya kaki, bisa jalan.”

*** 

Sore hari, cuaca mulai mendung. Saya bolak-balik ke lapangan SMP 5 Samalantan untuk mendapatkan sinyal di ruang terbuka. Kecepatan transfer data memang meningkat meski masih dalam jaringan Edge. Lumayan untuk dapat pembaruan terkini dari teman-teman yang berbagi kisah di instastori.

Dari kejauhan, Rivy menyusul saya sembari menggandeng Yayuk. Tampaknya Yayuk sudah cukup merepotkan Rivy hari itu, dan agenda Rivy saat ini adalah memperbarui stori di akun Instagram-nya. Sebagai selebgram, Rivy memang orang yang gemar mengabdi tapi tidak kehilangan her social habit-nya memperbarui aktivitas di media sosial. “Itu ada om duyung,” Rivy menunjuk ke arah saya supaya Yayuk beralih untuk bermain dengan saya. Dan benar, Yayuk kini ‘mengganggu’ saya.

“Yayuk, dipakai sandalnya dulu dong,” saya menenteng sandal Yayuk. Kasihan saja kaki mungilnya menginjak aspal panas. Bukannya diterima, saya malah diminta balikin sandalnya ke kantor desa, “Belum kering ka.”

Lalu Yayuk mengajak saya untuk ke beranda sekolah. Dia membawa kartu remi dan mengajak saya main kartu. “Kaka bisa kocok? Kak kocok!”

Saya mengocok kartu. Begitu akan membagikannya, “Sini kak. Aku yang bagi.”

Iyasih, bagi kartu. Tapi kok Yayuk ambil 7 kartu buat dia, dan saya dikasih 14 kartu ya.

Lalu permainan dimulai. Yayuk mengeluarkan 5 hati, saya balas dengan 7 hati. Saya menang. Tapi tetap dia yang dapat giliran mengeluarkan kartu. Hadeeeh ~



Usai bermain kartu, Yayuk mengajak saya untuk merecoki Rivy yang sedari tadi asyik bernaung di bawah pohon jengkol. Sinyal XL di sini memang unik, kencang (H+) di bawah pohon jengkol. Saya heran.

Yayuk mencoba mendapat perhatian Rivy. Tapi gagal. Alhasil Ia pun mengajak saya untuk menaiki pagar sekolah. Sekali lagi, pagar sekolah. “Kaka, pegang,” Yayuk mengulurkan tangannya. “Kaka, panggul,” kali ini ia meminta saya menggendongnya di bahu. Ah, berat banget.

Selesai dengan pagar sekolah, saya berniat kembali ke kantor desa. Kebetulan di samping kantor desa ada pohon cherry—katanya, atau kersen, atau talok. Dan lagi, Yayuk merengek supaya saya mau menggendonya di pundak supaya dia bisa memetik buah, dan ... “Eeeeeh, dicuci dulu dong Yuk!”