Saya sungguh sangat bosan menunggu bus yang ditugasdinaskan oleh Pemda Bengkayang. Sebagai pejalan, saya memang tidak suka berdiam diri di tempat, apalagi untuk empat jam lamanya. Bus yang dikirim oleh Pemda Bengkayang untuk menjemput kami adalah bus sekolah bantuan Kementerian Perhubungan tahun 2011. Meski terbilang baru dengan rakitan karoseri lokal, kondisi bus kurang terawat hingga tampak tak layak pakai. Bukan mengeluh, tapi ini bentuk pemakluman saya terhadap kondisi di daerah terdepan, terluar, dan terbelakang (3T). Dari 29 anak, 14 putri naik ke dua mobil dinas, tiga sisanya naik ke dalam bus bersama 8 putra. Koper anak-anak bertumpuk serampangan di belakang. Semoga saja barang pecah belah dan terutama barang program baik-baik saja.
Antara Supadio hingga Pontianak Timur, jalanan relatif lengang. Tidak seperti di Jawa, jalur dengan dua ruas saja masih sangat cukup di sini. Di kiri-kanan jalan, perusahaan konstruksi banyak berdiri dengan bekhoe dan bulldozer di pekarangannya. Deretan pertokoan lama dan yang baru dibangun memagari jalanan. Jaraknya dari badan jalan cukup untuk parkir satu truk kontainer besar. Satu hal unik di sini, pertokoan tetap dibangun meski banyak diantaranya belum terbeli atau tutup, atau bahkan tampak rusak dari luar. Ada apa gerangan? Apakah sedang ada geliat pembangunan di Kalimantan Barat? Tapi kenapa banyak pertokoan tutup? Apakah kalah persaingan dengan dua minimarket yang tumbuh secara sporadis di sini?
Panas terik benar-benar membakar kulit. Bagi orang gunung seperti saya, kondisi ini jelas menyebalkan meski harus ditahan. Bus mencoba bergerak gesit melewati jalan Trans Borneo ini. Setidaknya ada tiga jembatan besar yang kami lewati sepanjang perjalanan. Bermodal angin sepoi-sepoi dari jendela yang terbuka, rupanya saya masih bisa tertidur lelap di sini.
Sepertiga perjalanan kemudian, bus berhenti di Sungai Inyuh. Saya terbangun. Di luar, ada iring-iringan kampanye pemilihan gubernur Kalimantan Barat. Oiya, tanggal 27 nanti, Kalimantan Barat merupakan salah satu daerah tingkat I yang merayakan pesta demokrasi 5 tahunan ini. Setidaknya ada 3 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperebutkan kursi Kalbar 1 dan 2. Siapa pun pemenangnya, semoga dapat amanah menjalankan amanat rakyat, membantu masyarakat dalam mencapai titik kesejahteraan, dan memajukan Kalimantan Barat tentunya.
“Nitip beli minuman dingin dong. Terserah,” rasanya beli minuman dingin di tengah siang terik saat ini sungguh menyegarkan. Saya cek indikator suhu udara di ponsel, meski kurang akurat, suhunya mencapai 34 C. Bus berhenti lumayan lama, membuat kaos saya benar-benar banjir keringat sekarang.
Nun jauh di utara, awan mendung datang. Kami melanjutkan perjalanan dengan harapan hujan terjadi di sepanjang perjalanan dan mendinginkan hawa di luar. Setiap kali melewati jembatan, bus tiga perempat ini berguncang—membuat saya sempat terbangun sebentar, mengecek kondisi kopor di belakang, lalu tertidur lagi karena lelah. Rupanya perjalanan jauh lebih panjang daripada yang saya kira.
Tak lama, bus tiba di Singkawang. Kota madya paling utara di Kalimantan Barat ini tampaknya sudah sedikit modern. Setidaknya ada bioskop dan mal di sini, berdiri beriringan bersama pertokoan dan pecinan. Di kota kecil ini juga saya menemukan keragaman: ketika Islam tidak lagi mayoritas, Konghucu dan Nasrani memiliki porsi yang sama. Di kota ini, keberagaman dijunjung tinggi. Para pendatang Jawa turut menyesuaikan diri dengan kultur Dayak – Melayu sebagai tuan rumah. Kelenteng-kelenteng bernuansa merah-kuning berdiri di mana-mana, tampak megah dan berwibawa.
Bus kini melaju kencang menuju Samalantan. Etape terakhir kini berupa jalanan berbukit dan berkelok, ditambah titik lubang di banyak tempat. Jauh di depan, bukit-bukit besar menjulang. Sepertinya Samalantan adalah daerah berbukit-bukit. Sejauh mata memandang, masih ada sawah terhampar yang diselingi lahan gambut, ladang jagung, dan kebun kelapa sawit. Kali ini saya duduk di depan supaya dapat jelas menerawang bagaimana Kalimantan khususnya Bengkayang berkembang.
"Ada SPBU situ, solar tak ada," maki pak supir. Wajar. Sebagai supir bus yang bertenaga solar, tidak adanya solar berarti mesin tidak mendapat ‘asupan’ yang sesuai. Keluhan mungkin juga datang dari para supir truk. “Di Samalantan ya dek, ada SPBU. Tapi tutup.”
Beliau bercerita soal SPBU di Bengkayang yang begitu jarang. Meski ada, biasanya satu-dua jenis BBM terutama premium dan solar, sedikit sukar ditemukan. Harga BBM memang sudah satu harga dengan Jawa, namun soal distribusinya yang digerakkan oleh swasta, sama sekali belum merata. “Kadang aku harus ke Singkawang buat isi bahan bakar.”
Selain soal SPBU, beliau juga mengeluhkan kondisi jalan kelas propinsi yang sedang kami lewati ini. “Kalau malam dek, tidak ada penerangan. Jalan sempit, rusak-rusak pun. Malas aku kalau berkendara malam-malam.” Memang, jalan kewenangan propinsi ini rusak parah. Kondisi jalanan amblas di beberapa titik mungkin karena tipikal tanah rawa yang tidak stabil untuk didirikan bangunan di atasnya. Sesekali bus ini hampir terguling melewati titik kerusakan, dan koper di belakang berjatuhan. Tapi, terlepas dari sulitnya medan untuk dibangun, penyediaan infrastuktur sarana dan prasarana harus tetap dilakukan karena berimplikasi langsung terhadap keberlangsungan hidup masyarakat.
Tak lama, kami tiba di Samalantan. Dua mobil pertama sudah tiba terlebih dahulu di kantor kecamatan. Kami bergegas turun. Pak Camat yang rupanya juga Kagama (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada) memberi sambutan hangat dalam bahasa Dayak: adil katalino bacuramin kasaruga basengat kajubata. “Dijawab ‘harus’ ya dek!” Sambutan dari Camat tidak berlangsung lama, agenda dilanjutkan makan malam bersama. “Nanti yang di desa Serayan, langsung ikut Pak Kades. Untuk Tumiang, karena Pak Kades berhalangan hadir, sampai besok tinggal di Wisma Camat dekat Tugu Perdamaian (Samalantan). Lalu besok ke Tumiang,” jelas Pak Camat.
Antara Supadio hingga Pontianak Timur, jalanan relatif lengang. Tidak seperti di Jawa, jalur dengan dua ruas saja masih sangat cukup di sini. Di kiri-kanan jalan, perusahaan konstruksi banyak berdiri dengan bekhoe dan bulldozer di pekarangannya. Deretan pertokoan lama dan yang baru dibangun memagari jalanan. Jaraknya dari badan jalan cukup untuk parkir satu truk kontainer besar. Satu hal unik di sini, pertokoan tetap dibangun meski banyak diantaranya belum terbeli atau tutup, atau bahkan tampak rusak dari luar. Ada apa gerangan? Apakah sedang ada geliat pembangunan di Kalimantan Barat? Tapi kenapa banyak pertokoan tutup? Apakah kalah persaingan dengan dua minimarket yang tumbuh secara sporadis di sini?
![]() |
Lanskap perbukitan menyapa kami |
Panas terik benar-benar membakar kulit. Bagi orang gunung seperti saya, kondisi ini jelas menyebalkan meski harus ditahan. Bus mencoba bergerak gesit melewati jalan Trans Borneo ini. Setidaknya ada tiga jembatan besar yang kami lewati sepanjang perjalanan. Bermodal angin sepoi-sepoi dari jendela yang terbuka, rupanya saya masih bisa tertidur lelap di sini.
Sepertiga perjalanan kemudian, bus berhenti di Sungai Inyuh. Saya terbangun. Di luar, ada iring-iringan kampanye pemilihan gubernur Kalimantan Barat. Oiya, tanggal 27 nanti, Kalimantan Barat merupakan salah satu daerah tingkat I yang merayakan pesta demokrasi 5 tahunan ini. Setidaknya ada 3 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperebutkan kursi Kalbar 1 dan 2. Siapa pun pemenangnya, semoga dapat amanah menjalankan amanat rakyat, membantu masyarakat dalam mencapai titik kesejahteraan, dan memajukan Kalimantan Barat tentunya.
“Nitip beli minuman dingin dong. Terserah,” rasanya beli minuman dingin di tengah siang terik saat ini sungguh menyegarkan. Saya cek indikator suhu udara di ponsel, meski kurang akurat, suhunya mencapai 34 C. Bus berhenti lumayan lama, membuat kaos saya benar-benar banjir keringat sekarang.
Nun jauh di utara, awan mendung datang. Kami melanjutkan perjalanan dengan harapan hujan terjadi di sepanjang perjalanan dan mendinginkan hawa di luar. Setiap kali melewati jembatan, bus tiga perempat ini berguncang—membuat saya sempat terbangun sebentar, mengecek kondisi kopor di belakang, lalu tertidur lagi karena lelah. Rupanya perjalanan jauh lebih panjang daripada yang saya kira.
Tak lama, bus tiba di Singkawang. Kota madya paling utara di Kalimantan Barat ini tampaknya sudah sedikit modern. Setidaknya ada bioskop dan mal di sini, berdiri beriringan bersama pertokoan dan pecinan. Di kota kecil ini juga saya menemukan keragaman: ketika Islam tidak lagi mayoritas, Konghucu dan Nasrani memiliki porsi yang sama. Di kota ini, keberagaman dijunjung tinggi. Para pendatang Jawa turut menyesuaikan diri dengan kultur Dayak – Melayu sebagai tuan rumah. Kelenteng-kelenteng bernuansa merah-kuning berdiri di mana-mana, tampak megah dan berwibawa.
Bus kini melaju kencang menuju Samalantan. Etape terakhir kini berupa jalanan berbukit dan berkelok, ditambah titik lubang di banyak tempat. Jauh di depan, bukit-bukit besar menjulang. Sepertinya Samalantan adalah daerah berbukit-bukit. Sejauh mata memandang, masih ada sawah terhampar yang diselingi lahan gambut, ladang jagung, dan kebun kelapa sawit. Kali ini saya duduk di depan supaya dapat jelas menerawang bagaimana Kalimantan khususnya Bengkayang berkembang.
"Ada SPBU situ, solar tak ada," maki pak supir. Wajar. Sebagai supir bus yang bertenaga solar, tidak adanya solar berarti mesin tidak mendapat ‘asupan’ yang sesuai. Keluhan mungkin juga datang dari para supir truk. “Di Samalantan ya dek, ada SPBU. Tapi tutup.”
Beliau bercerita soal SPBU di Bengkayang yang begitu jarang. Meski ada, biasanya satu-dua jenis BBM terutama premium dan solar, sedikit sukar ditemukan. Harga BBM memang sudah satu harga dengan Jawa, namun soal distribusinya yang digerakkan oleh swasta, sama sekali belum merata. “Kadang aku harus ke Singkawang buat isi bahan bakar.”
Selain soal SPBU, beliau juga mengeluhkan kondisi jalan kelas propinsi yang sedang kami lewati ini. “Kalau malam dek, tidak ada penerangan. Jalan sempit, rusak-rusak pun. Malas aku kalau berkendara malam-malam.” Memang, jalan kewenangan propinsi ini rusak parah. Kondisi jalanan amblas di beberapa titik mungkin karena tipikal tanah rawa yang tidak stabil untuk didirikan bangunan di atasnya. Sesekali bus ini hampir terguling melewati titik kerusakan, dan koper di belakang berjatuhan. Tapi, terlepas dari sulitnya medan untuk dibangun, penyediaan infrastuktur sarana dan prasarana harus tetap dilakukan karena berimplikasi langsung terhadap keberlangsungan hidup masyarakat.
Tak lama, kami tiba di Samalantan. Dua mobil pertama sudah tiba terlebih dahulu di kantor kecamatan. Kami bergegas turun. Pak Camat yang rupanya juga Kagama (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada) memberi sambutan hangat dalam bahasa Dayak: adil katalino bacuramin kasaruga basengat kajubata. “Dijawab ‘harus’ ya dek!” Sambutan dari Camat tidak berlangsung lama, agenda dilanjutkan makan malam bersama. “Nanti yang di desa Serayan, langsung ikut Pak Kades. Untuk Tumiang, karena Pak Kades berhalangan hadir, sampai besok tinggal di Wisma Camat dekat Tugu Perdamaian (Samalantan). Lalu besok ke Tumiang,” jelas Pak Camat.