Pada 2016 lalu Komnas Perempuan kembali melansir Catatan Tahunan (Catahu) mengenai fakta-data terkait kekerasan pada perempuan. Data-data tersebut dihimpun selama satu tahun lamanya, kemudian dibeberkan pada perayaan Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret. Kumpulan data yang dirilis sejak 2001 ini menghimpun seluruh data kasus riil yang ditangani oleh lembaga penegak hukum yang berwenang, maupun inisiatif laporan dari masyarakat. Dari data tahunan ini, penerima data bisa menerjemahkan kalkulasi data ke dalam penalaran ilmiah masing-masing berdasarkan trend dan bentuk kekerasan yang dipaparkan.
Sepanjang tahun 2015, terjadi 321.752 cacatan kekerasan terhadap perempuan (KTP). Jumlah ini diketahui dari jumlah perkara yang ditangani oleh Badan Peradilan Agama sejumlah 305.535 kasus, dan catatan Komnas Perempuan sebanyak 16.217 kasus. Apabila ditelaah lebih lanjut — berdasarkan data Pengadilan Agama, maka kekerasan di ranah personal atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menyumbang porsi terbesar dalam kasus KTP. Data ini sedikit berbeda dengan jumlah kasus yang dicatat Komnas Perempuan di mana kekerasan dalam ranah personal (KDRT) adalah sebesar 69%. Lebih spesifik lagi, kasus-kasus KDRT didominasi oleh kekerasan terhadap istri sebesar 6.725 kasus.
![]() | |
Bentuk KDRT tak sebatas intimidasi, tetapi kekerasan fisik |
Seputar Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Penyebabnya
Kasus KDRT di Indonesia sudah berlangsung sejak cukup lama dan terjadi di banyak tempat. Fenomena sosial ini disebabkan disharmonisme di dalam lingkungan keluarga, ketika masing-masing aktor dalam keluarga tidak dapat melakoni perannya dengan cukup baik, sehingga skenario keluarga sejahtera gagal terpenuhi.
Meski kasusnya sebenarnya terjadi di banyak tempat dan jumlahnya terlampau banyak, sedikit korban KDRT berani melaporkan kasus yang dialaminya kepada pihak berwenang maupun posko advokasi terkait. Hal ini dikarenakan kuatnya anggapan bahwa KDRT merupakan urusan domestik yang tabu untuk dibahas. Banyak korban KDRT merasa takut diintimidasi apabila ketahuan melapor. Tak sedikit bahkan kasus KDRT turut merenggut nyawa korbannya.
Istilah ‘kekerasan’ secara umum dapat didefinisikan sebagai tindakan yang disengaja dengan tujuan destruktif, baik melukai orang lain maupun merusak objek. Di dalamnya, intimidasi dengan bentuk ancaman, penghinaan, ucapan kata-kata kasar juga termasuk dalam bentuk kekerasan, tetapi secara verbal. Menurut Purnianti (1996), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik untuk melukai subjek maupun merusak objek, disertai ancaman dan paksaaan terhadap kebebasan individu. Untuk kasus KDRT, dapat dijabarkan sebagai tindak kekerasan antar internal anggota keluarga inti. Beberapa bentuk umum kekerasan di Indonesia diantaranya penganiayaan anak oleh orang tua, kekerasan terhadap istri, dan sedikit kasus penganiayaan terhadap suami. KDRT dapat terjadi oleh banyak faktor, yaitu gagalnya pemenuhan peran oleh masing-masing aktor, masalah keuangan, perebutan warisan, juga kecenderungan sadistik terhadap anggota keluarga.
Dalam ranah KDRT, kekerasan secara fisik masih menempati peringkat pertama sebagai ‘solusi’ atas permasalahan di dalam keluarga. Jumlahnya sebanyak 38%, atau sekitar 4.304 kasus. Kekerasan seksual menempati peringkat kedua dengan 3.325 kasus, naik satu peringkat dari tahun 2014. Bentuk kekerasan seksual ini pun bermacam-macam. Pemerkosaan menempati porsi terbesar dengan 72% keseluruhan kasus, lalu diikuti dengan pencabulan (601 kasus), dan pelecehan seksual (5% sisanya). Di peringkat ketiga, kekerasan psikis menyangkut mental sebanyak 2.607 kasus.
KDRT, Dampaknya Terhadap Kehidupan Berkeluarga
Dari kebanyakan kasus yang terjadi, umumnya korban KDRT mengalami beban psikis pasca kekerasan. Ada tekanan mental yang tersisa meskipun sejatinya kasus yang diperkarakan, masalah yang diutarakan sudah selesai. Tak jarang, tekanan ini terbawa hingga seumur hidup. Trauma yang tak terobati (bukan luka secara fisik) dan ketidakinginan korban untuk bersikap terbuka terhadap konselor/psikiater menyulitkan proses pemulihan pasca trauma. Terlebih lagi apabila luka traumatik tersebut membekas dan membebani mental. Trauma memang menjadi salah satu dampak utama KDRT. Tekanan mempengaruhi gaya hidup untuk hidup normal seperti sedia kala. Hal ini mampu mengubah ‘cara kerja’ serta merembet ke aspek-aspek lain, misalnya cara berhubungan dengan orang lain.
Selain trauma, korban KDRT cenderung menjadi lebih paranoid. Hal ini dikarenakan adanya sikap curiga yang diprasangkakan kepada pihak lain. Korban akan lebih berhati-hati dalam menjalin hubungan serta mengedepankan ego pribadi: mengkhawatirkan kondisi supaya tidak dianiaya secara berlebihan, serta menjaga jarak dengan orang-orang tertentu.
Apabila perseteruan KDRT terjadi di kalangan pasangan orang tua, anak-anak juga memiliki kerentanan apabila turut menjadi korban KDRT. Ketika anak menjadi korban, maka efek domino akan membebani perkembangan mental anak. Mengingat usia dan kedewasaan yang masih labil serta daya ingat yang kuat, maka akan sulit untuk menyembuhkan tekanan mental yang dialami anak semasa menjadi korban. Hal ini tidak jauh berbeda apabila anak hanya menjadi ‘saksi’ atas kasus KDRT yang terjadi di kalangan keluarganya sendiri. Anak akan dengan mudah menyimpan adegan kekerasan dalam memori kecilnya, menciptakan trauma berkepanjangan. Bahkan mungkin, sang anak akan mengulangi apa yang ia lihat di masa depan.
Perayaan Hari Perempuan Sedunia ini menjadi momentum penting di mana masyarakat Indonesia dapat mengukur seberapa timpang ketidakadilan gender di Indonesia. Isu KDRT dengan korban perempuan adalah salah satu isu sentral yang patut disoroti karena mencerminkan penindasan antar gender. Hingga kini, perempuan masih cukup jauh dengan kepastian payung hukum. Dominasi laki-laki membuat perempuan tampak lemah ketika menghadapi kekerasan. Ditambah minimnya perlindungan, perempuan rentan menjadi korban kekerasan berkelanjutan. Hari ini peringatan kali keseratus. Satu abad lamanya, dunia menggaungkan Hari Perempuan Sedunia. Sudah saatnya perempuan menyuarakan keadilan, menyetarakan kedudukan, dan ikut berdiri tegak meniti masa depan.
***
Referensi
- Komnas Perempuan. (2016, Maret). Lembar Fakta Catatan Tahunan (Catahu) 2016. Diambil kembali dari Komnas Perempuan: www.komnasperempuan.go.id
- Wahab, R. (2006, Maret 24). Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan Edukatif. Diambil kembali dari UNISIA: http://jurnal.uii.ac.id/index.php/Unisia/article/view/5488/4869