 |
Kereta Cepat Indonesia Cina sedang berhenti di peron 1 Stasiun KCIC Halim |
Adanya libur Natal yang jatuh pada hari Senin, lumayan membuat saya lega. Setidaknya ada satu hari tambahan bagi saya untuk rehat sejedag ketika memutuskan dua hari sebelumnya untuk menyambangi Bandung—kota tujuan sejuta manusia ibukota, saya salah satunya. Sudah lama saya tidak ke Bandung. Terakhir tahun 2020 itu pun kena pembatasan aktivitas sosial sehingga tidak bebas berkelana. Momen liburan Natal ini saya coba sempatkan untuk menjajal kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB), apakah Ia bisa diandalkan untuk bepergian di antara dua kota besar ini? Apakah harga tiket sebanding dengan fasilitas dan pelayanan yang diterima. Mari kita coba.
Pukul 9 pagi, saya berangkat dari hotel saya menginap. Di tiket, kereta dijadwalkan berangkat pukul 10:55 WIB dengan penutupan pintu 5 menit sebelum keberangkatan. Berarti saya hanya punya waktu 1 jam 35 menit untuk melakukan perjalanan dari Fatmawati ke Halim.
Tiket kereta cepat saya dapatkan melalui pembelian di aplikasi KAI Access, tepat 7 hari sebelumnya. Di beranda aplikasi, sudah tersedia pintasan ‘KCIC’ yang akan membuka in-app browser ke website pemesanan KCIC. Untungnya data dari KAI Access otomatis tersinkron sehingga saya tidak perlu mendaftar dan mengisi data pribadi dulu. Satu hal yang mengherankan—kenapa hingga saat postingan ini ditulis, PT KAI selaku induk perusahaan dari PT KCIC membatasi pemesanan tiket kereta cepat seminggu sebelumnya. Itu pun saya harus melek tengah malam karena di waktu inilah layanan pemesanan baru dibuka sedang animo pengguna kereta cepat tentu tinggi di akhir tahun. Pukul 00:05, jadwal keberangkatan hari ketujuh ke depan baru muncul, dan pemesanan hanya baru bisa dilakukan pada pukul 00:20 WIB. Sungguh momen menegangkan, berasa perang tiket konser idol kenamaan.
***
Dari Fatmawati, saya jalan kaki menuju Stasiun MRT Fatmawati. First mile yang sangat menyehatkan. Memasuki MRT, butuh waktu sekitar 35 menit hingga Ratangga tiba di Stasiun MRT Dukuh Atas. Dari sini, saya harus keluar, memasuki Stasiun KRL Sudirman dengan tap-in dan tap-out di peron arah Tanahabang, lalu jalan melalui JPO integrasi yang menghubungkan Stasiun LRT Dukuh Atas. Area ini konon jadi kawasan TOD paling integratif di Jakarta, tapi buat saya tidak begitu terintegasi. Jarak transit yang agak jauh, belum lagi area yang menyempit akibat adanya stan-stan UMKM, membuat transit di Dukuh Atas agak menyebalkan. Belum lagi jadwal antar moda tidak dibuat ‘terintegasi’ sehingga tidak membuat proses transfer antar moda terasa seamless.
Setidaknya butuh waktu 10 menitan—dengan ritme jalan tergesa-gesa, bagi saya untuk berpindah dari stasiun MRT ke Stasiun LRT Dukuh Atas.
Tiba di Stasiun LRT Dukuh Atas, momen menyebalkan kembali terjadi. Di timetable yang dibagikan akun humas LRT Jabodebek, disebutkan LRT berikutnya akan berangkat pukul 09:57. Nyatanya moda kebanggaan karya anak bangsa yang (sok-sokan mencoba) diotomatisasi ini berangkat cukup ngaret, pukul 10:03 WIB. Sebagai orang yang sedang mengejar waktu, tentu saya geram. Apalagi LRT Jabodebek ini belum bisa beroperasi normal sebagaimana yang direncanakan: headway cukup lama, kereta sangat lambat di tikungan akibat roda yang cepat aus oleh rel yang dibuat tidak sesuai standar teknis, mana jadwalnya pun ada setiap 15 menit sekali. Andai saya tertinggal kereta di jadwal ini, sudah barang tentu tiket kereta cepat saya senilai 250ribu hangus.
 |
Salah satu PR LRT Jabodebek adalah kurangnya rolling stock kereta yang berdampak pada jadwal, pun sistem otomatisasi yang belum sempurna |
Kereta LRT mulai bergerak, namun selalu melambat sebelum memasuki stasiun. Saya baca di Twitter, konon cara ini buat mengatasi keluhan para penumpang yang berpendapat kalau pengereman terlalu kasar—bagi saya juga demikian. Akan tetapi, sebelum memasuki Stasiun LRT Rasuna Said, kereta tak hanya melambat, namun berhenti kurang lebih selama 2-3 menit. Rasanya gemes pengen ambil kemudi otomatis buat saya operasikan manual hehehe.
Kereta kembali bergerak. Saya mencoba memenangkan diri sepanjang perjalanan. Tentu saja ini akan jadi bahan kritikan ketika Kereta Cepat Indonesia - China (KCIC) yang merupakan anak perusahaan PT KAI tidak mampu membuat sinkronisasi jadwal dan headway agar transfer antar moda ini terasa seamless melalui gapeka. Beruntung perjalanan berikutnya lancar meski tetep deg-degan sepanjang perjalanan. LRT tiba di Stasiun LRT Halim tepat pukul 10:25 WIB. Dengan sangat tergesa-gesa, saya lari-lari kecil menuju pintu keberangkatan Stasiun KCIC Hallim.
Jembatan penghubung antara stasiun LRT dengan Stasiun KCIC Halim ternyata sudah diisi beberapa tenan makanan. Tentu saja keberadaan tenan ini baik bagi UMKM, namun mengganggu mobilitas para pengguna moda. Tidak sampai semenit, saya tiba di main hal stasiun KCIC, dan…
‘Buset rame bener.’
 |
Para tenant di sepanjang jembatan penghubung Stasiun LRT Halim dengan Stasiun KCIC Halim |
 |
Para tenant di sepanjang jembatan penghubung Stasiun LRT Halim dengan Stasiun KCIC Halim |
Benar dugaan saya, animo penumpang kereta cepat meningkat pesat di akhir tahun. Baik gate kiri maupun kanan menuju peron penuh sesak penumpang. Beberapa ada yang membawa sehelai tiket cetak, sisanya mempersiakan tiket dari surel maupun KAI Access dengan menggeret kopor mereka. Beruntung baru pukul 10:32, masih ada waktu beberapa saat bagi saya untuk memotret situasi stasiun sebelum melesat cepat ke Bandung, eh, Padalarang.
 |
Antrean para penumpang di jam keberangkatan yang sama dengan saya |
Berhasil memindai etiket, saya bergegas naik tangga. Antrean ke peron ramai sesak oleh penumpang dengan memboyong barang dan kerabat, mayoritas memilih naik eskalator ketimbang sedikit berusaha memboyong koper lewat tangga. Sampai di peron, saya sedikit kaget, ternyata peron kereta cepat benar-benar besar, dan panjang.
 |
Semuanya tampak serba besar di Stasiun KCIC Halim |
 |
Si Komodo tampak elegan dari dekat |
 |
Tampak kepala sang Komodo Merah |
Saya membeli tiket kelas ekonomi di kereta paling depan, atau tepatnya di kepala sang komodo. Yap, kereta cepat ini kalau dilihat dari sisi depan memang terlihat mirip dengan kepala komodo, kadal terbesar di dunia yang bermukim di Nusa Tenggara itu. Baru masuk, saya terkagum-kagum dengan semua teknologi yang ada dalam kereta. Mulai dari pintu otomatis, toilet yang menyedot ekskresi penumpang, konfigurasi bangku 2-3, hingga interior kereta yang begitu mewah—meski hanya kelas ekonomi. Berhubung tergolong sebagai kereta jarak jauh, di kereta cepat tampaknya diperbolehkan makan selama menjaga kebersihan. Pun meja makan juga tersedia dengan membuka panel yang terkunci di bagian belakang bangku depan penumpang.
 |
Konfigurasi kelas ekonomi menggunakan 5 bangku di setiap barisnya |
 |
Kursi yang saya pesan rupanya sedikit terpotong jendelanya. Untung masih dapat jendela |
 |
Sebelum berangkat, saya sempatkan membaca artikel seputar transformasi transportasi |
Jam menunjukkan pukul 10:50. Melalui pengeras suara, pengumuman penutupan pintu kereta dikumandangkan. Semua penumpang duduk manis di bangku masing-masing. Saya menuntaskan bacaan saya mengenai transformasi transportasi publik yang akan menyusul bersamaaan dengan beroperasinya kereta cepat.
Tepat lima menit kemudian, kereta mulai bergerak. Saya melempar pandangan ke jendela, mencoba merekam momen LRT jalan berdampingan dengan Whoosh. Sayangnya LRT tak terlihat sama sekali.
 |
Sesekali ambil swafoto untuk momen pertama kali |
Kereta menambah kecepatan secara bertahap. Di bagian atas pintu masuk kabin kereta, LED running text menampilkan kecepatan Whoosh saat ini secara berkala. Dari 40, ke 60, 80, 120. Di kecepatan ini, saya sama sekali tidak merasakan hentakan akselerasi, benar-benar mulus. Bertambah 160, 180, 200, 240. Saya mencoba memperhatikan teks merah tersebut akan berhenti di angka berapa. Semakin cepat, 300, 320, 340. Ritme pertambahan semakin pendek. Di luar jendela, pemandangan tampak cepat sekali. Bahkan hanya dalam beberapa detik saja pemandangan apartemen langsung berganti dengan ruko. Akhirnya teks menunjukkan angka 351 km/jam. Tampaknya ini batas kecepatan operasional Whoosh untuk saat ini, dengan 3 stasiun pemberhentian.
Perjalanan sangat mulus, halus, tanpa gangguan. Dengung suara gesekan samar menggema namun tetap terdengar merdu. Panorama perkantoran berganti kawasan industri. Jalan tol menghilang bak ditelan Bumi. Stasiun Karawang yang notabene sudah jadi hanya berselang 8 detik sebelum berganti pemandangan pedesaan yang bertahan dengan hasil bumi. Beberapa kali pagar peredam suara menghalangi pandangan, terowongan demi terowongan menjadi atraksi sepanjang perjalanan. Padalarang pun sudah terlihat dengan ciri khas bukit-bukit yang dipangkas habis untuk pembangunan—terlihat kalau duduk di sisi kanan dari arah Halim.
 |
Lanskap demi lanskap hanya terlihat berselang dalam menit |
 |
Pemandangan bentang alam di dekat Padalarang, Bandung |
Kereta mulai melambat ketika melewati terowongan terakhir. Dari balik headphone, hingar-bingar penumpang mulai terlihat ketika satu per satu bergegas mengemas barang bawaan mereka. Saya dengan ransel @lbbjkt hanya perlu merangkul dan keluar. Jam tangan menunjukkan pukul 11:25 ketika kereta berhenti. Tidak saya sangka, perjalanan Halim → Padalarang benar-benar hanya 30 menit berselang. Benar, benar, cepat. Sangat. Kilat.
 |
Meski hanya ada beberapa kereta, ternyata kapasitasnya penumpang yang diangkut banyak juga |
 |
Petugas membantu penumpang mengeluarkan barang bawaan |
Rupanya banyak penumpang yang turun di Stasiun Padalarang. Mereka segera bergegas menuju gerbang keluar dan turun ke bawah. Yap, melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Bandung dengan kereta pengumpan (feeder) yang sudah disediakan—sepaket dengan pembelian tiket KCIC, tanpa biaya tambahan. Kerumunan penumpang yang transit begitu banyak. Dan sudah bisa ditebak, dengan kereta yang hanya berjumlah 4 dalam satu rangkaian, tidak semua penumpang Whoosh kebagian tempat duduk. Keos, ya walaupun hanya butuh waktu 20 menit kami tiba di Stasiun Bandung. Kereta feeder ini hanya berhenti 1 kali di Stasiun Cimahi, pun kembali berjalan setelah satu menit berselang. Di Stasiun Bandung, kepadatan penumpang kembali terjadi di skywalk penghubung antar peron. Butuh setidaknya 5 menit bagi saya untuk akhirnya benar-benar keluar dari stasiun ini, tepat pukul 10:50 WIB, perjalanan berakhir.
 |
Proses transfer dari Stasiun KCIC Padalarang ke Stasiun Padalarang, hanya menuruni eskalator |
 |
Sedikitnya jumlah kereta dalam satu rangkaian feeder membuat banyak penumpang tidak kebagian kursi selama perjalanan Stasiun Padalarang menuju Stasiun Bandung |
 |
Terasa downgrade, antrean penumpang KCIC memasuki feeder yang konon sering mogok, buatan INKA |
 |
Tiba di peron 7 Stasiun Bandung |
Kalau dihitung dari awal perjalanan saya dari Pondok Labu, butuh waktu 2 jam 50 menit untuk tiba di pusat kota Bandung. Apakah perjalanan ini dirasa worth it? Tunggu besok ketika saya kembali ke Jakarta dengan moda yang berbeda.
 |
Antrean penumpang menuju pintu keluar Stasiun Bandung melewati skybridge yang sempit, butuh waktu 5 menit hingga keluar stasiun |
 |
Baru tiba, ternyata saya disambut polusi yang tidak kalah parah dari Jakarta. Ya, banyak PLTU di Jawa Barat dan angin muson barat bertiup ke arah tenggara |
.png) |
Kereta feeder produksi INKA ini lebih dulu dipakai sebagai kereta Bandara Internasional Adi Sumarmo (BIAS) |