Injak Pedal ke Watu Kapal

Medan yang datar bikin sepedaan nyaman tanpa nafas tersengal.

Kring, kring...

Bel sepeda berdenting di sepanjang Jln. Wonosari. Barisan ibu-ibu bercaping dengan sepeda jengki itu mungkin tidak cepat, namun tidak banyak pengendara kesal karenanya. Mereka tetap bermasker dan tersenyum lebar saat saya sapa. Kata sakral 'kulanuwun' memang sakti untuk menyapa dan beramah-tamah sesama orang Jawa. Jalan Wonosari sebagai Jalan Nasional telah memiliki jalur sepeda di kedua sisi terkirinya, ya meski sebenarnya itu ruang berhenti darurat. Meski jalanan selalu ramai terutama di akhir pekan, beruntung ruang terkiri masih steril untuk bersepeda.

Tidak, hari ini (30/5) saya tidak berusaha melanjutkan penjelajahan tepi Jogja Lantai Dua seperti dua bulan lalu bersama Habib. Manajemen pernapasan saya masih sangat payah untuk menanjak Bukit Bintang, apalagi di tikungan Bokong Semar. Kali ini saya bersepeda sendiri (lagi) dan akan menyambangi tempat wisata baru di area Piyungan, Bantul, yang sebelumnya akan disambangi Habib. Dia berencana menjadikan ekowisata ini sebagai destinasi bersepeda bersama rekan kerjanya, sayang tertunda.

Dan sekarang saya menggantikannya menuju ke sana.

Si Kromo dengan latar Kali Opak yang tenang karena dibendung

***

Kali Opak tampak cantik di atas Jembatan Pasar Wage. Meski membelah daerah perumahan, sungai ini relatif bersih. Dulu sewaktu gowes sendiri di sore hari menuju Candi Abang, saya sempat mampir ke Teratai Biru Kali Opak. Di sana, saya hanya mampir makan mi sebelum akhirnya pulang ke peraduan. Saya pikir sebagai sungai yang melintasi daerah suburban, Kali Opak akan bernasib sama dengan kali-kali di Jogja pada umumnya: Selokan Mataram, Kali Gajah Wong, dan Kali Code. Nyatanya tidak begitu. Bahkan di Teratai Biru, ada wisata mengarungi sungai dengan perahu motor hingga ke Jembatan Wage. Ke selatan lagi ada bendungan, jadi rute perahu pun pendek.

Sepanjang gowes, pemandangan hijau memanjakan mata

Untuk tiba di Taman Wisata Watu Kapal, pesepeda bisa datang dari tiga arah: utara, timur, dan selatan. Dari selatan, umumnya pesepeda masuk melalui Jln. Klenggotan dengan patokan gapura timur Pasar Wage Piyungan. Dari utara, bisa dengan menyusuri jalan akses ke Gunung Wangi. Sedang dari timur, masuk melalui Jln. Pranti Mandungan. Dari kesemua arah, pemandangan yang disajikan sama: hamparan sawah luas yang sedang musim tanam, sehingga pandangan dimanjakan dengan warna hijau segar berpadu dengan langit biru muda dalam cuaca cerah.

Menuju Watu Kapal, jalan yang semula aspal menjelma jadi semen. Kondisi jalan yang kurang rata sempat bikin saya khawatir dengan kedua roda si Kromo karena berjenis 700c. Ban seramping ini sangat tidak cocok berlari di atas aspal rusak, apalagi ini semen.

Tampak depan Taman Wisata Watu Kapal

Kucing bersantai

Tempat para goweser beristirahat sembari mengisi ulang oksigen

Jajaran warung siap mengatasi perut keroncongan

Gorengan ini dihargai 3000 perak saja

Satu jam perjalanan dari kosan, saya tiba di Watu Kapal. Tempat wisata baru dengan tiket masuk seikhlasnya ini hanya berupa deretan warung dan spot foto yang sangat teduh karena dipayungi pohon bambu nan rimbun. Rupanya saya tidak sendiri, sudah banyak goweser yang lebih dulu datang. Mereka asyik melahap gorengan sembari berembug bebas. Dari banyaknya goweser di sini, mungkin hanya saya yang datang sendiri dan tidak mengenakan jersey komunitas.

***

"Tiga ribu mas," mbak-mbak berkaos merah jambu itu berulang kali mengibaskan rambut di depan saya. Antara ingin menggoda, atau sengaja menaburkan ketombe di atas gorengan buatannya, entah yang mana. Mungkin Ia tersipu malu dengan paras saya yang lebih ganteng kalau pakai masker, heuheu.

Sudah pukul 8 pagi, saya segera beranjak pergi. Habis ini, kemana ya? Gunung Wangi? Wah menanjak. Lava Bantal? Kayaknya gitu doang nggak menarik. Mungkin kedua destinasi itu buat lain waktu. Kebiasaan saya memang tidak menyambangi beberapa tempat wisata sekaligus, supaya lain waktu ada tempat yang bisa dikunjungi bila sedang bosan atau among tamu.

Plang nama Watu Kapal yang sayangnya tidak berlatar bebatuan sungai yang tergerus air sungai

Biasanya para pengunjung akan berswafoto dengan latar sisi ini

Sayang sekali tidak ada rekan yang bersedia memotret saya di sini

Kali Opak menyempit di wilayah ini

Si Kromo saya tidurkan dengan latar Kali Opak yang menyempit, membelah bebatuan

Tiba-tiba hasrat ingin pe(m)pek memuncak. Beberapa waktu lalu, teman saya titip icip pempek yang ada di Mandala Krida. Di Google Maps, warung kaki lima ini memiliki lebih dari 150 ulasan dengan total bintang empat. Apakah benar senikmat itu?

Supaya tidak bosan, rute pulang saya melalui Berbah. Kawasan yang tidak begitu populer di Sleman ini memiliki jalan aspal yang mulus, enak untuk sepeda ban tipis seperti Kromo. Sepanjang jalan, saya berpapasan dengan goweser yang dominan bersepeda MTB. Mereka mungkin baru saja pulang dari trek menanjak sekitaran Berbah dan Prambanan. Warung soto yang sempat saya ulas masih ramai dengan goweser, syukurlah. Memang enak makanannya meski tersembunyi lokasinya.

Erosi oleh arus sungai membuat potongan bebatuan ini tampak ciamik

Dulu mestinya ada bangunan di sini, yang akhirnya 'diambil alih' oleh alam

Jalan Berbah begitu teduh, begitu tenang


Di tengah perjalanan, saya memutuskan untuk mampir ke Situs Goa Seluman. Situs yang terletak di area permukiman ini konon adalah pesanggrahan peninggalan Sultan Hamengku Buwono II. Situs ini sangat identik dengan Tamansari dan Warungboto. Hingga saat ini tempat ini masih digunakan masyarakat untuk bertapa meski sebenarnya kawasan situs ini tergenang oleh air selokan (pembuangan) yang kotor dan berbau. Sayang banget sih memang.

Pintu masuk Goa Seluman di Banguntapan, Bantul

Pelataran Situs Goa Seluman

Tempat ini masih aktif digunakan warga untuk bertapa, sayang banyak sampahnya

Rute sepeda saya lanjutkan melalui Blok O, Simpang SGM berbelok ke Simpang Balaikota hingga tiba di lokasi. Beberapa kali saya berpapasan dengan pesepeda roadbike dan mereka memang menyebalkan. Bahkan tidak satu pun dari mereka saya lihat mau berhenti atau memelankan kecepatan sepeda mereka begitu melintasi persimpangan dengan lampu APILL. Arogan sekali. Mungkin stereotip masyarakat pada mereka ada benarnya juga.

Lima belas menit kemudian, dengan peluh yang terus membasahi tubuh, saya sampai juga di warung kaki lima sederhana ini.