Rela Antre Lama Demi Leker Legenda

Sensasi kenikmatan tiada duanya!

Seusai bersantai di tepi danau BSB City, saya melanjutkan agenda berikutnya: berburu leker. Kalau tidak salah medio 2019, bestie saya Hilda merekomendasikan Leker Paimo sebagai destinasi kuliner ketika menyambangi Semarang. Sayangnya, tahun-tahun setelah 2019 sungguh menyebalkan. Pada 2020, pandemi Covid-19 dimulai dan aturan pembatasan sosial dari PSBB hingga PPKM diberlakukan. Varian alpha, delta, hingga omicron melanda. Dan di 2022, invasi militer oleh salah satu negara bisa memicu konflik besar bertajuk Perang Dunia Ketiga. Menghadeh.

Sebenarnya saya beberapa kali main ke Semarang, namun selalu lupa untuk datang ke outlet leker ini. Sekarang, waktunya pembalasan, hehe.

Dari BSB City, saya membelah koridor barat laut, utara, tengah kota. Jalanan dipenuhi kendaraan berat, khas kota Pantura. Kawasan industri memang bertebaran di Semarang. Saya pun kudu hati-hati di jalan. Selain jalan kelewat ramai oleh pelat H, kondisi jalan tidak begitu mulus. Khawatir nasib tidak beruntung jadi korban kecelakaan, saya terapkan prinsip 'alon-alon asal kelakon'. Toh saya sedang berwisata, tidak ada yang membuat terburu-buru.

Memasuki kawasan pusat pemerintahan Kota Semarang dan provinsi Jawa Tengah, saya sedikit bingung dengan aturan lalu lintas searah. Belum lagi narator Google Maps telah memberi tahu saya untuk berbelok. Bablas, saya harus cari jalan untuk balik arah, hadeh. Namun di sela-sela momen nyasar itu, saya jadi tahu atmosfer kawasan kota tua Semarang.

Ruko-ruko berjejeran. Bangunan dengan lantai 1 adalah toko dan lantai 2 rumah empunya toko sudah jamak di sini. Namun banyak yang tutup. Antara memang hari Sabtu libur atau belum sepenuhnya ekonomi pulih bisa terlihat di sini. Jalanan macet, debu bertebaran, saya melewati himpitan truk-truk logistik dan mobil-mobil mewah di kawasan Pecinan. Banyaknya jalan searah makin membuat saya bingung. Ketiadaan rambu-rambu yang jelas dan garis pembatas hanya menambah keruwetan lalu lintas.

Semarang Utara bersolek

Beberapa kali saya melihat pemandangan yang tak umum di sini. Biasanya, orang Indonesia cukup sensi dengan etnis Tionghoa. Maklum, penjajah Belanda menggunakan taktik pemisahan rasial supaya kecemburuan sosial terbentuk (dengan sengaja). Taktik ini terwujud dalam aturan Indische Staatsregeling yang merupakan aturan dan tata negara Hindia Belanda yang berlaku sejak 1 Januari 1926. Dalam pasal 163, masyarakat Hindia Belanda dibagi ke dalam 3 golongan di hadapan hukum: golongan I adalah bangsa Eropa, golongan II adalah orang-orang Timur Asing dan oriental (bangsa Arab, Cina, dan India), serta golongan III (kalangan bumiputera). Etnis Tionghoa adalah warga negara kelas dua dan (so called) pribumi di kelas tiga. Jauh sebelum itu, pejabat VOC menjadikan orang Tionghoa sebagai kaki tangan dalam pemungutan pajak. Alhasil kecemburuan sosial terjadi.

Namun atmosfer tersebut tampak tidak berlaku di Semarang.

Masyarakat antar etnis dan kelas sosial hidup dalam harmonis. Satu dengan yang lain saling bahu-membahu. Bahkan gesekan antar etnis cenderung jarang terjadi. Mungkin, mungkin saja karena Semarang telah menjadi salah satu kota perdagangan sejak zaman lampau, sehingga masyarakat relatif majemuk dan menerima perbedaan yang ada. Keserasian ini yang jadi salah satu hal yang terasa khas di Semarang. 

***

Leker Paimo dengan empat orang penjualnya

Baru tiba, antusiasme penikmat kuliner jalanan cukup tinggi juga

Lama antrean berkisar antara 30 hingga 50 menit

Para pembeli dengan sabar menanti

Saya tiba di Leker Paimo. Dengan segera, saya diminta penjaja untuk menuliskan pesanan. Rata-rata orang di sini membeli leker dalam jumlah besar dan banyak, alhasil harus menunggu lama karena pesanan dibuat ketika dipesan. Berhubung saya hanya sendiri dan ini camilan sore hari, cukup 2 porsi leker cokelat pisang keju, dan 1 leker sosis keju tuna. Cukup lah untuk ganjal perut sampai malam nanti. 

Daftar menu Leker Paimo per Februari 2022

Leker dan crepes sebenarnya adalah kuliner yang mirip. Apabila leker dibuat dari wajan kecil cekung, crepes dibuat dengan wajar datar dan lebar. Di Indonesia sendiri, leker dikenal sebagai jajanan khas Solo. Dulu orang Belanda menyebut panganan ini dengan sebutan 'lekker' yang berarti enak. Namun seiring berjalannya waktu, leker dikenal banyak kalangan. Dan di Semarang, Leker Paimo adalah salah satu legendanya.

"Masih antre berapa bu?" seorang pelanggan bertanya. Ia datang rombongan dan lebih dulu dari saya, mungkin Ia sudah tidak sabar mencicipi kenikmatan duniawi yang satu ini.

Meski tersedia tempat duduk, para pelanggan antusias (sambil ngiler kali yah) melihat satu per satu leker dibuat

Sembari memutar tuas, penjaja beratraksi mencampur adonan leker

Si Ibu interaktif, Ia bercerita soal perjuangan menjajakan leker sejak dulu hingga sekarang, trik supaya pengunjung tidak bosan dan sabar menanti

Meski antre banyak, penjaja dengan cakap membuat antrean pesanan menjadi teratur. Sobekan kertas bekas itu ditumpuk supaya urut. Ketika pesanan akan dibuat, kertas pesanan dilipat dan dijadikan lap untuk membersihkan wajan kecil dari sisa adonan yang menempel dan kering. 

Adonan leker dituang memutar. Panas tungku api yang tidak seberapa membuatnya tidak cepat matang. Penjaja memutar wajar dengan tangan, menuang susu, menabur meses cokelat, memarut keju, dan memotong pisang. Untuk pesanan tuna dan leker tidak lazim lainnya, adonan dibuat ganda supaya lapisan lebih tebal. Beberapa menu yang menggunakan telur pun dibubuhi daun bawang sembari diacak-acak menggunakan garpu supaya telur menjadi orak-arik. Akan tetapi garpu digaruk tidak mengenai dasar adonan. Dengan cekatan, penjaja juga memotongi sosis, menambahkan daging, dan menyematkan isian lain pada menu pesanan berbeda. Tentu saja isian daging menggunakan makanan kalengan.

Menggunakan garpu dan pisau, berbagai bahan dasar dicampur dalam wajan kecil

Leker bisa dimakan di tempat

Makanan kalengan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan leker ini

Empat puluh menit berselang, pesanan saya akhirnya selesai. Meski baru menulis nama di kertas, penjaja langsung hafal siapa dan memesan apa. Dua puluh tujuh ribu berpindah tangan, waktunya mencari tempat yang nyaman untuk menyantap kudapan.

***

Saya memilih Alun-aliun Masjid Agung Semarang untuk bersantai di sore hari. Cuaca mendung memang, namun keriaan anak-anak yang hilir mudik bermain di area alun-alun tetap mengembang.

Tiga pesanan saya untuk santap sore hari ini

Ngiler bener

Kenikmatan tak tertahankan dari seporsi leker telur keju sosis tuna

Leker pisang cokelat kejunya juga mantap

Kemasan mika dibuka, sepuluh menit berlalu namun leker-leker ini masih tetap hangat. Pesanan pertama, telur sosis keju tuna, enaknya nggak ngotak. Kulit adonan yang mengering tetap renyah meski isiannya relatif basah. Telur yang dimasak belum benar-benar matang dan ini favorit saya. Telur yang belum matang membaluti tuna dan sosis, bercampur keju dalam porsi yang pas sehingga tidak terasa eneg. Perpaduan porsi tuna dan sosis yang berimbang juga melengkapi gizi dalam seporsi leker ini. Lanjut ke pesanan kedua, cokelat pisang keju dua porsi, rasanya satu tingkat di atas leker-leker yang biasa dijajakan di depan sekolah. Berasa premium. Rasa manisnya pun tidak berlebihan, kematangan pisang juga pas sehingga rasanya membaur dengan keju yang juga meleleh.

Rekomendasi Hilda memang juara. Bahkan setelah saya memosting foto leker ini di WhatsApp, Ia pun ingin kembali ke Semarang untuk bernostalgia.