Sehari, Nge-Laju Tiga Kali

Ngelaju pertama motoran, ngelaju kedua dan ketiga kopi-kopian. Hehe.

"Wah ora ono e Ndik, hmm," Andika pun segera menebar pandangan ke arah rak besi dengan tumpukan koran itu. Rak ini sudah cukup tua, namun arsip koran yang ada masih di tahun-tahun muda.

"Hmm, jajal sebelah kono, mungkin ono tumpukan sing lawas(?)" saya memilah satu per satu eksemplar koran. Lengkap, dari koran lokal Jawa Tengah hingga harian Maluku tersedia di sini. Namun tujuan saya belum juga tercapai. Ingin meminta bantuan petugas, sayang hanya ada dua anak magang dari kampus telur asin yang baru 3 hari ini bekerja di Unit Pelayanan Arsip, Museum Pers Nasional.

Andika membantu saya memilah arsip untuk menemukan koran yang diinginkan

Oh ya, kebetulan hari di mana kami mendatangi museum ini adalah Hari Pers Nasional. Tujuan saya jauh-jauh menyempatkan diri datang dari Magelang hanya untuk mencari arsip koran Suara Merdeka, tepatnya di rubrik Kedu. Kalau saya tidak salah ingat, pada tahun 2005 sekitaran bulan kelima, surat kabar terbesar di Jawa Tengah ini memuat berita soal kali pertama Jogjakarta melakukan impor air dari Magelang. Ya, impor air. Meski kampanye #JogjaAsat baru populer di era 2013 hingga saat ini, sebenarnya Jogja sudah alami krisis air sejak dua puluh tahun lalu. Sayang sekali, dulu saya membaca potongan arsip ini sewaktu menemani kawan SMA mahasiswa Unpad yang menyelami berita soal pilkada pertama di daerahnya, Pemalang. 

Lagi-lagi menjelajahi tumpukan kertas koran yang telah menguning itu tak membuahkan hasil. 😒

Sayang sekali saya tidak menemukan arsip yang saya inginkan

Tumpukan koran Suara Merdeka tahun 2008 yang belum juga didigitalisasi

***

Nge-Laju 1: Jogja - Magelang Sudah Biasa

'Aku rencana sesuk ameh nggolek arsip koran sih. Tenan kowe arep melu?' tanya saya ragu pada Andik. Saya tahu, sebagai karyawan perusahaan instalasi listrik, jadwal libur Ia sedikit berbeda dengan yang lain. Tapi keputusan saya esok tetap berangkat, dengan maupun tanpa teman.

Rabu (9/2) pagi, rupanya Andik menyanggupi. Okelah, kami berdua jalan ke Solo.

Dari Magelang, kami berangkat cukup kesiangan. Pukul 9 pagi dengan durasi perjalanan ke Jogja selama 1 jam 15 menit, kami tiba di Stasiun Tugu pukul 10:25. Maklum, motor saya baru ganti v-belt, jok, dan roller sehingga butuh adaptasi mesin dulu. Dulu sewaktu masih bekerja dengan kantor di Jogja, saya biasa ngelaju dua kali per minggu. Berangkat paling pagi pukul 06:30 supaya tidak telat di kantor pukul 8. Rajin memang, padahal pekerjaan saya bisa dilakukan daring hingga pada akhirnya motor turun mesin karena rusak berat akibat kebijakan kantor ini.

Tiba jelang siang, tentu saja kami ketinggalan banyak jadwal keberangkatan sebelumnya. Sayangnya KRL berikutnya akan berangkat satu setengah jam dari sekarang. Saya cek jadwal KRL Jogja - Solo pada aplikasi KRL Access. Baiklah, mungkin kami hanya butuh tempat melipir sebentar sembari saya mencicil pekerjaan yang bisa dikerjakan dari mana saja (WFA, work from anywhere).

Nge-Laju 2: Laju Malioboro, Nongki Cantik di Pinggir Emplasemen

Slasar Malioboro adalah satu dari sekian banyak tempat nongkrong terbuka di Jogja. Terletak tepat di sisi selatan rel, sebelah timur stasiun, Slasar Malioboro kini terisi beberapa tenan dengan beragam jualan. Ada minimarket, tempat penitipan barang dan kamar mandi (Shower & Locker), angkringan, hingga kedai kopi. Karena masih cukup ngantuk, kami putuskan ngopi dulu.

Laju Kopi namanya. Kedai mungil ini sebelumnya hanya berlokasi di Jalan Kaliurang, lalu buka cabang baru di Mrican. Kafe dengan motto "Kecepatan itu baik, ketepatan adalah tujuan" ini mengusung tema minimalis dengan warna aksen merah. Saya suka brandingnya. Di Slasar Malioboro, konsep minimalisme ini berhasil menyatu padu secara harmonis dengan desain bangunan para tenan. Penggunaan warna merah membuatnya lebih mencolok ketimbang tenan yang lainnya.

Laju Kopi di Slasar Malioboro

Laju Kopi Malioboro dengan konter mungil dan ruang nongkrong di belakang

Usai memesan Akar Keju seharga Rp25.000, saya melipir ke area belakang Slasar. Beberapa set meja dan kursi sudah disediakan pengelola Slasar, namun Laju Kopi tetap menyediakan set perabot mereka sendiri. Di bawah bayangan pohon, saya mulai membuka laptop sembari mengesap perlahan minuman non kopi yang saya pesan. Tethering dinyalakan mengingat lokasi ini bukan ruang kerja melainkan tempat nongkrong, "Oke, tugas opo kanggo dino iki yo?"

Saya memang biasa memesan minuman non-kopi di setiap kafe. Biasanya, jika ada saya akan membeli red velvet. Sayang sekali Laju Kopi tidak menyediakan menu ini. Akar Keju yang saya pesan adalah minuman taro alias talas yang dicampur dengan saus keju buatan Laju. Rasanya creamy, tidak begitu manis dan tidak seret. Lidah saya ketagihan dengan rasa taronya. Bagi saya dengan harga segitu, menu ini tidak begitu worth it alias relatif mahal karena ukuran per porsinya yang mungil sehingga cepat habis. Belum lagi saya adalah tipe orang yang pesan satu minuman, tapi nongkrong atau nugas bisa berjam-jam, hehe. Tapi berhubung minuman ini hanya selingan menunggu kereta, aman lah.

Akar Keju pesanan saya dan Ais Kopi Susu Nira pesanan Andika

Keuntungan dari kerja digital adalah bisa digarap dari mana saja

***

"Lain kali..." saya terengah-engah,"...kalau naik kereta... mending 15 menit sebelum berangkat... udah siap di peron." Tidak, kami hampir telat bukan karena salah satu dari kami sebat dulu. Tapi karena terlalu santai dan tidak tahu menahu kalau untuk bisa naik KRL di era omicron, harus dobel dengan masker medis. Sialnya saya baru ingat dulu ada aturan ini sewaktu 7 menit sebelum keberangkatan ngecek suhu badan. Dalam waktu 5 menit pun saya langsung berlari ke minimarket, bilang ke kasir untuk "Langsung aja mas!", mendobel masker, tap-in masuk stasiun, dan berlari ke peron 1 lalu memasuki gerbong yang kosong.

Psssssyuh...

Pintu kereta menutup. Untung saja berangkat dari Stasiun Tugu, jadi masih kebagian tempat duduk.

Gara-gara lupa aturan double masker, hampir tertinggal kereta

Situasi di dalam KRL Jogja - Solo dengan protokol kesehatan diperketat

***

"Tenan iki raono yo?" gerutu saya pada Andika. Di sudut ruangan, koran Suara Merdeka tertumpuk di atas troli. Kertasnya kuning kusam dengan debu di penjuru lembar.

"Tahun 2008 iki Jo," Andika menyematkan jari di antara eksemplar korang, "... tapi ora tekan 2005."

Saya menghela nafas, ya sudah perburuan kali ini belum berhasil. Tampaknya saya memang harus ke depo arsip Suara Merdeka, atau setidaknya ke perpustakaan provinsi di Semarang sana. Entah kapan akan terlaksana, belum lagi Covid-19 varian omicron sedang menuju puncaknya.

Patung wajah para punggawa pers Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan


Lagi-lagi Teman Bus Solo (Batik Solo Trans) jadi penyelamat dompet untuk jalan-jalan

Daripada bete, kami memutuskan menikmati suasana sore di hari kerja ala Surakarta. Lagi-lagi Teman Bus jadi solusi. Walau hujan deras menderu, kami aman dari basah karena halte-halte di Kota Solo mulai diperbarui menjadi halte dek rendah dengan atap. Adanya plang nama halte tidak membuat kami bingung dalam bernavigasi.

Kami turun di halte Kasih Ibu. Dari halte ini, kami berjalan kaki sembari menikmati trotoar lebar Slamet Riyadi. Di kiri-kanan jajaran gedung perkantoran mulai memulangkan karyawan. Sayang sekali, tidak banyak kedai kopi di jalan ini.

*** 

Nge-Laju 3: Spot Baru di Slamet Riyadi

Sebuah kedai kopi belum lama buka di Slamet Riyadi. Tentu saja kedai itu Laju Kopi. Hanya berselang sepuluh meter, kedai kopi yang lain sudah buka meski beberapa tukang ada di sana. Tampaknya keberadaan Laju Kopi turut merangsang budaya nongki di Kota Solo. Tentu saya memilih kedai yang familiar secara menu dan harga.

Laju Kopi menghadap Jln. Slamet Riyadi, Solo
Konter Laju Kopi Solo

Penggunaan warna merah menjadi ciri khas tersendiri untuk Laju Kopi

Suasana ruang tengah Laju Kopi Solo

Kedai pertama Laju Kopi di Solo ini tempatnya relatif lebih luas dari Jogja. Tak hanya Laju Kopi, Kalis Donut juga hadir di sini, lalu stan foto mandiri untuk para bestie tersedia di ruang tengah. Secara eksterior, bangunan Laju Kopi Solo masih senada dengan Laju Kopi di Jogja. Minimalistik dengan warna merah sebagai aksen perabot dan dekorasi dinding membuat pengunjung tahu ciri khas merek ini. Di bagian dalam, warna aksen merah kian mendominasi, namun sebatas pada warna bangku saja. Di ruang belakang tersedia tempat terbuka untuk para perokok dan vapers, begitu pula di beranda yang teduh oleh pepohonan pedestrian Slamet Riyadi. Satu yang unik, di ruang belakang terdapat bingkai estetik yang jadi incaran para generasi fotogenik. Ruang diskusi di tengah pun cocok buat pekerja lepas yang gemar WFA (work from anywhere). Koneksi internet di kafe ini masih terhitung cepat.

Rombongan anak motor, antara kaos hitam dan jaket sukajan

Stan Kalis Donut bersebelahan dengan konter Laju Kopi

PPKM di Kota Solo masih di level 2. Kafe pun ramai pengunjung. Muda-mudi dari berbagai kalangan turut presen di sini. Umumnya anak muda yang nongki Laju Kopi adalah anak-anak motor, khususnya Vespa matik. Ya maklum, penampilan anak-anak Vespa cukup mencolok dengan kalung rantai, sepatu Ventela, dan kaos hitam polos Deus Ex Machina. Perna ada meme Laju Kopi erat kaitannya sama anak Vespa matik. Padahal enggak gitu juga sih. 😅

Di Laju Kopi Solo, saya memesan Ais Kopi Susu Gula Alpen. Rasanya pas, tidak terlalu asam dan tidak cukup manis. Meski menggunakan salted caramel yang notabene gula yang dimasak dengan mentega dan sedikit garam, sensasi asin tidak mendominasi sehingga kopi tetap nikmat di lidah. Es kopi susu dari Laju Kopi memang yang paling jadi omongan di kalangan pemuda gemar nongkrong sih. Ya moga saja dengan absennya menu red velvet, asam lambung saya tidak melonjak. 

Donat yang saya pesan, ide bisnis yang cocok untuk saling mengisi

Beranda Laju Kopi, cocok untuk perokok dan vapers

***

Eksplorasi perayaan Hari Pers Nasional 2022 kami pun terpaksa berakhir dengan tangan kosong. Saya masih memburu arsip koran terbitan 2005 itu, dan mungkin episode berikutnya saya akan ke Semarang. Semoga.