Saya terkesima begitu menemukan danau yang sempat viral di TikTok itu. Bagai bersantai di Eropa, saya duduk-duduk manja di dipan kayu yang disediakan pengelola kafe. Desir angin di antara pohon trembesi membuat bunyi desis tampak merdu. Belum lagi kicauan burung hilir mudik mencari rumput kering untuk pondasi sarang menjadikannya syahdu. Hanya plang informasi pemberlakuan PPKM level 3 dan kesiagaan satpam yang membuat saya urung mengitari danau untuk menyambangi kandang rusa jauh di sisi seberang. Ya, saya sedang berada di danau BSB City Semarang. Meski ciamik dengan panorama ala kawasan suburban Eropa, teriknya sinar mentari dan kelembaban yang tinggi membuat fantasi saya buyar, kembali pada suasana iklim tropis.
Meski sudah beberapa kali ke Semarang, baru kali ini saya ke wilayah Semarang barat daya. Kecamatan Mijen dan Gunungpati memang terletak sangat jauh dari pusat kota, namun masih wilayah Kota Semarang. Bayangkan saja, dari Mijen untuk bisa main ke kawasan Titik Nol Kota Semarang harus melakukan perjalanan sejauh 22 kilometer dari Terminal Cangkiran, salah satu terminal bus paling ujung di kota. Kota Semarang memang kurang menarik bagi saya, tapi semua itu berubah ketika rekan saya di GP memosting video kawasan asri komplek perumahan bandar (town house) di wilayah Semarang atas. Ya itu, BSB City. Mungkin saya hanya kurang eksplorasi.
 |
Saya masuk BSB City dari arah Gunungpati |
 |
Danau BSB City dilihat dari sisi tenggara |
 |
Denah kawasan Danau BSB, lengkap dengan kode QR untuk presensi di Peduli Lindungi |
 |
Pemandangan sisi selatan Danau BSB City |
 |
Anjungan Plaza Danau BSB |
 |
Danau BSB tampak sisi utara |
BSB City ini dikembangkan oleh pengembang kota mandiri ternama di Indonesia. Namun satu hal yang membuat saya heran, kenapa kota ini dikembangkan di daerah Mijen yah. Selain infrastruktur dasar seperti jalan raya yang masih sangat kurang, kawasan Mijen yang merupakan wilayah Semarang atas sehingga konturnya perbukitan, BSB City tampak kurang strategis karena jauh dari jalur rel kereta dan jalan tol. Maklum, pembangunan kota mandiri di wilayah Jabodetabek biasanya bersisian langsung dengan jalan tol karena pembangunannya memang berorientasi mobil (car oriented development). Jalan-jalan lebar bahkan untuk akses utama klaster perumahan jadi buktinya.
Oke, kembali lagi ke danau. Beberapa pengunjung kena peluit satpam begitu terlalu dekat dengan danau. Bahkan untuk sekadar duduk-duduk di Plasa Danau pun kena omel. Menghadeh. Tampaknya petugas satpam benar-benar serius dengan tupoksinya.
Segelas red velvet latte menemani istirahat saya siang ini. Esnya tentu dibuat menggunakan air matang sehingga tidak cepat mencair dan tidak berbuih. Rasanya seperti lebih condong ke arah cokelat samar-samar bagi saya. Meski harganya umum di minuman kelas menengah, porsi red velvet di Origo kafe cukup kecil. Namun okelah, toh ini bukan minuman untuk diminum berlama-lama sembari bekerja. Beruntung pemandangan indah memudarkan kekecewaan saya pada porsi minuman ini. Saya memang (hampir selalu) membawa laptop, tapi melihat kondisi kafe ini lebih untuk nongkrong dengan panorama bukit rerumputan cantik ala Eropa dan absennya colokan serta koneksi wifi, saya tidak jadi melanjutkan tulisan tertunda di blog.
 |
Harga standar kafe Rp25.000, sayang dengan ukuran relatif lebih kecil |
 |
Red velvet latte, lagi dan lagi |
 |
Kandang rusa terletak di seberang danau, dan sayangnya tidak boleh diakses selama PPKM Level 3 Kota Semarang |
 |
Satu-satunya hal yang menghalangi saya nekat mengitari danau |
 |
Terlihat para petugas kebun sedang merawat taman |
 |
Muda mudi tampak menikmati rindangnya pepohonan |
 |
Suasana Origo Coffee Danau BSB City Semarang |
 |
Toiletnya estetik, ya walau sedikit sempit |
Sejauh edaran pandangan, terlihat beberapa petugas kebun merapikan rumput. Ada yang memotongi rumput, menata tanaman dekoratif, sisanya menyapu latar dengan sapu lidi. 'Uh, andai pemandangan seperti ini ada di Magelang,' batin saya lagi-lagi menggerutu. Kota kecil itu memang tidak punya tempat atraksi menarik selain menjadi kota pensiunan membosankan.
Belum genap enam puluh menit, tibalah saya pada seruputan terakhir. Agenda dadakan berikutnya adalah berburu leker, kuliner khas Semarang. Hilda, bestie saya sudah merekomendasikan tempat yang tepat untuk mencicipi kudapan ringan ini.
Posting Komentar