Blog ini sedang dalam masa pemeliharaan.

Hidden Gems: Penyetan TER-ENAK Se-Joglosemar Ada di Magelang!!!

POKOKNYA. WAJIB. DICOBA! Dijamin tidak menyesal.

Sore itu hujan mengguyur deras Kota Magelang. Saya yang sudah kelaparan pun terpaksa menyusuri jalanan kota dengan jas ujan yang... sudah berat, masih bisa rembes pula. Seperti biasa, kota kecil ini memang tidak atraktif. Tidak banyak orang yang membuka usaha di kota ini karena daya beli masyarakatnya terlalu rendah. Lha untuk memenuhi kebutuhan harian saja masih sulit, apalagi buang-buang uang hanya untuk jajan di pinggir jalan. Maka wajar kalau ada spot kuliner baru, usianya hanya berselang beberapa bulan saja sebelum pindah lokasi atau gulung tikar. Setengah jam saya ngalor, ngidul, ngetan, ngulon, tidak ada kuliner yang tampak unik dan mencolok.

Sebagai warlok alias 'warga lokal' pun saya bingung untuk merekomendasikan makanan apa di kota ini. Eksplorasi saya pun terbatas. Karena daya beli masyarakat yang rendah, kuliner kreatif pun tidak banyak tumbuh di kota ini. Paling mentok, orang-orang yang ingin berdagang makanan hanya menjual salah satu di antara soto, bakso, mi ayam, roti bakar, dan martabak. Hanya berkutat di situ-situ saja. Belum lagi covid memukul ekonomi masyarakat.

Untungnya, untuk kuliner malam, sekarang saya sudah punya rekomendasi. Namanya: Penyetan Kobis Pak Guru.

Beranda warung Penyetan Kobis Pak Guru di dekat Universitas Tidar

Pemuda ini justru adalah empunya warung, yang telah mempekerjakan beberapa orang

***

Kedai kecil di area komplek militer, tepatnya di barat Sekolah Calon Bintara (Secaba) Kota Magelang ini menempati bangunan pondokan militer. Alhasil warna hijau tua dominan dari luar bangunan. Di dalamnya, lampu temaram warna kuning membuat kedai terasa hangat. Hujan deras di luar jelang petang membuat suasana kian menghanyutkan.

"Pesan apa mas?" pemuda cungkring itu sudah siap dengan capit di tangannya. Tampaknya Ia juga sedang bersiap menggoreng pesanan antar: beberapa styrofoam terbuka dengan segempal nasi yang baru dicetak mangkuk kecil.

"Hmm, ayam bagian... ini deh mas," tunjuk saya pada dada. "Terus tambah lagi terong goreng, tempe, dan kobis ya mas," anak muda itu tersenyum tipis, memindahkan lauk pilihan saya pada piring oval.

"Maaf kobisnya habis e mas. Kalau minum?"

Pilihan lauk memang standar warung penyetan, namun cita rasa yang membuatnya menang

"Teh hangat aja. Standar, gula setengah," saya memang mengurangi asupan gula. Takut diabetes, ya walau terakhir pengecekan gula darah, statusnya normal.

Saya kembali duduk, membuka laptop sembari mengecek draft tulisan saya di blog. Sebagai blogger, saya berutang 50 lebih tulisan di blog sendiri. Maklum, ide demi ide tulisan terus bermunculan, sedang niatan dan waktu untuk menulis tidak ada. Tenaga seharian sudah kandas untuk bekerja, sisanya paling leveling karakter Genshin Impact.

Meski hanya kedai mungil dengan 4 meja formasi 2 orang, warung ini memiliki dekorasi ciamik laiknya kafe. Foto-foto Kota Magelang zaman Hindia Belanda terpatri di dinding kayu. Ada pula foto-foto musisi dan poster-poster lawas tematik makanan yang dipasang berjejer di area ventilasi. Langit-langit pun tidak menggunakan ternit biasa melainkan tirai bambu. Penggunaan lampu neon naming 'Penyetan Pak Guru' menambah cantik tempat ini, tampak seperti kafe yang mencoba modern tematik lawas. Ya, tampaknya kedai ini pun menempati bangunan lawas yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Hanya ada 8 kursi tersedia di tempat ini, dengan dekorasi yang membuat nyaman

Makanan belum kunjung tiba. Memang saya baca ulasan di Google Maps, kekurangan tempat ini adalah penyajian makanan yang relatif lama. Saya sih memaklumi, mungkin proses memasak menggunakan teknik khusus sehingga perlu menunggu. Sekitar 10 menit berselang, seporsi makanan yang saya pesan dihidangkan.

Meski lauk-lauk dalam makanan ini adalah penyetan standar yang bisa ditemui di mana saja, namun rasanya jauh berbeda. Ayam goreng dimasak matang dengan bumbu kuning yang meresap hingga dalam. Dagingnya sangat empuk, kulit yang ikut tergoreng pun jadi renyah. Tak hanya itu, kremesan yang ikut terangkat pun membuat ayam goreng makin nikmat dimakan dengan nasi hangat. Tempe goreng yang saya pesan pun ikut dibumbu kuning. Setelah dimasak, rasa kedelai sedikit memudar tergantikan asin bawang yang gurih. Setiap porsi terong yang dipesan akan mendapat 5 potong siung. Terongnya pun relatif lebih tebal dari warung penyetan pinggir jalan. Digoreng dengan kematangan sempurna, makan malam saya jadi berselera. Apalagi hujan di luar membuat saya betah berlama-lama di dalam warung.

Satu hal yang paling mencolok dari warung ini terletak di sambalnya. "Ada sambal bawang dan sambal terasi. Tapi di keduanya kami pakai campuran mete mas biar lebih gurih dengan cabe setan," terang pemuda yang konon jadi pemilik warung ini. Kini Ia sedikit terburu-buru mengenakan jas hujan, pergi menuju rumah sakit swasta kota. "Mas-e nerusin usaha bapaknya mas. Bapak-e meninggal 2020 lalu karena covid," terang ibu yang mungkin adalah kerabat dekatnya.

Saya salut. Rupanya resep sambal senikmat dengan lauk yang dimasak serenyah itu adalah cita rasa yang diturunkan oleh almarhum bapak. Meski sang bapak telah tiada, anaknya dengan telaten mempertahankan kualitas yang sudah ada sejak 2019.

"Dari banyak tempat makan yang udah saya kunjungi ya bu di Semarang, Solo, dan Jogja, penyetan di sini yang paling enak, jujur!" saya biasa berterus terang meski pada orang yang baru kenal.

"Masa sih mas?"

Porsi pembelian pertama saya di warung ini

Pembelian kedua saya di warung ini

Pembelian ketiga saya di warung ini

"Nggih bu, saya biasa kesana kemari nyobain kuliner. Cuma untuk penyetan, tempat ini yang terbaik. Sambalnya, tingkat kematangan pas masak lauknya, juara. Semoga kualitasnya tetap terjaga ya bu," senyum mengembang di wajah ibu itu. Tentu saja saya sungguh-sungguh dalam berpesan, karena tempat ini akan saya rekomendasikan pada banyak orang. Termasuk melalui pos blog ini.

Pembelian keempat saya di warung ini

Pembelian kelima dan seterusnya akan memesan menu lauk ini

***

Tidak terasa sudah dua jam saya berteduh di warung. Membayar makanan, seporsi pesanan saya dihargai Rp18.000 saja. Sangat murah.

Hujan malam itu masih mengguyur, namun sudah cukup reda. Waktunya saya pulang, kembali ke singgasana mungil di utara kota. Saya pun yakin akan kembali ke kedai kecil ini, karena kualitas cita rasanya.


Cuma seorang pejalan yang gemar memaknai hubungan sosial.

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.