Waroeng Klangenan Cocok Buat yang Mau Kangen-kangenan

Sambil bercerita, mengenang kembali masa perkuliahan medio 2015 - 2019.

'Ini agendanya buat kapan?' tanya saya di grup mengenai rencana makan-makan. Anin yang menginisiasi acara ini. Semula Ia menyarankan untuk makan di Golden Geisha. Berhubung kedai sushi ini sedang hits dan harus reservasi terlebih dahulu, belum lagi adanya pembatasan durasi makan, kami lewati tempat ini.

'Hari ini Jun, habis maghrib,' waduh. Memang sudah jadi kebiasaan saya melewatkan percakaapan di grup. Selain biasanya diisi guyon-guyonan, saya adalah orang dengan kepribadian lebih suka ngobrol tatap muka ketimbang panjang lebar di grup. Maklum, kalau di hari kerja saya lebih suka mantengin grup kantor, konsentrasi pun terpecah, hehe.

Okedeh, berhubung kantor saya di 2022 ini lebih fleksibel, saya turun gunung ke lokasi sehabis ashar.

Enam puluh menit berselang, saya tiba di Jogja. Sebelum ke lokasi, saya berkeliling kota, nostalgia bersama kawan-kawan lama. Jogja memang sudah jadi saksi bisu jatuh bangun hidup saya selama 7 tahun.

Sanela menikmati kudapannya yang kedua

Agustus 2015 tepatnya, pertama kali saya menapaki kota ini sebagai pendatang. Mengenyam pendidikan di kampus biru, banyak sekali kisah terukir antara saya, kawan-kawan, dan kota ini. Dari pertama kali adaptasi dengan kuliner lokal, hidup terhimpit ekonomi yang memaksa saya harus pintar-pintar mencari uang, sampai pelesir kesana-kemari walau bujet pas-pasan. Kota ini juga jadi tempat saya bahagia dan sedih bersamaan. Kota yang bagi banyak orang romantis, dan bagi saya juga.

Sayang sekali, tahun 2022, mungkin adalah waktunya saya mengucap 'sayonara'. Dunia kerja memang memang salah satu hal yang memengaruhi keputusan hidup banyak orang. Sekarang saya bekerja pada salah satu perusahaan media di Jakarta. Meski kantor masih menerapkan WFA, ada masanya saya jenuh dengan Jogja. Apalagi kalau bukan karena kawan-kawan yang lebih dulu meninggalkan kota ini. Yang tersisa dari mereka hanyalah kenangan yang terus terukir dalam memori. 

Waroeng Klangenan Banyuraden, Gamping

Beragam panganan dari nasi-nasian, sate-satean, hingga gorengan dan sayur tersedia

***

"Parkirnya di sini mas," juru parkir mengarahkan saya untuk parkir di seberang warung. Warung dengan beranda pendopo ini menarik, di depannya terdapat taman terbuka kecil dengan susunan bangku muat 4 orang. Di belakang pendopo terdapat bangunan utama dengan beberapa set meja kursi untuk 4 hingga 8 orang. Pada bangunan utama, terdapat etalase makanan ala-ala angkringan yang dijejer berdasarkan jenisnya di atas panci tanah liat beralas daun pisang. Ada nasi-nasian, sate-satean, gorengan baru matang di gerobak seberang, dan kopi-kopian di gerobak sebelah. Konsep angkringan seperti ini ada di jejeran angkringan di timur Alun-alun Utara Yogyakarta.

"Gimana, Bowo udah dateng belum?"

Lapak gorengan terletak di seberang etalase lauk pauk

Sebenarnya warung ini berkonsep angkringan meski aslinya tidak benar-benar angkringan, seharusnya ada dipan panjang dan makanan dipajang di atas gerobak

Jejeran tungku tanah liat yang sudah disiapkan untuk diantar ke meja pelanggan

Total makanan yang saya beli seharga Rp 26000, lebih murah dari angkringan di area tempat wisata seperti Malioboro dan Alun-alun Utara

Agenda saya turun dari Magelang memang untuk bertemu 'bocah' yang satu itu. Kawan yang sudah menemani masa-masa kuliah yang kini harus merantau jauh ke Tanggamus, Lampung. Pilihan hidup yang membuat saya kembali berjarak dengan kawan-kawan saya.

"Belum datang dia. Malah dia ngiranya enggak hari ini kok," keluh Sanel sembari membalik nasi jamur yang dipanggang.

Salah satu keunikan di Waroeng Klangenan adalah adanya panggangan di atas meja. Memang warung ini mengusung konsep prasmanan, dimana pengunjung mengambil lauk-pauk terlebih dahulu, membayar makanan dan minuman yang dipesan, lalu pelayanan akan membawakan pemanggang dari tanah liat ke atas meja. Tiap panggangan disertai semangkuk bumbu oles dan kuas untuk memanggang lauk. Tentu saja saya segera menyambangi konter makanan, rasanya tidak sabar merasakan sensasi jadi bakul angkringan.

Menjajal sensasi menjadi bakul angkringan

Meski hanya ada 5 bara arang di bawah penjepit, makanan tetap matang

***

Satu per satu teman datang, ikut duduk lesehan mengitari panggangan dengan membawa lauk bawaan masing-masing. Di tengah perbincangan, kami mengenang kembali momen perkuliahan: dari saya yang biasa tidur di kantor sekretariat demi koneksi wifi, ke kampus dengan sarung karena celana basah, Bowo yang knalpot vespanya jatuh di tengah jalan, sampai masa-masa dimana kami makan bareng-bareng di Angkringan Pak Panut. Angkringan di Foodcourt GOR Klebengan ini legendaris di kalangan mahasiswa UGM. Selain harganya yang kelewat murah, makanan di sini tetap enak. Pertolongan pertama pada mahasiswa miskin seperti saya. Angkringan-angkringan ini telah membantu kami melakukan pengiritan keuangan sehingga menabung demi masa depan. Meski Pak Panut telah tiada, setidaknya jasa beliau tetap terkenang, bahkan bagi para alumni seperti kami.

Senang bertemu kembali