Kofibru Buat Saya Tak Terburu-buru
![]() |
Agenda sepedaan di Minggu siang itu terhenti sejenak. Saya sengaja ingin menikmati atmosfer kota, apalagi saat ini saya resmi tinggal dan bekerja dari kota sendiri. Sesekali dua kali berhenti, saya memotret lanskap dengan ponsel. Menangkap imaji soal kota sendiri yang jarang saya eksplorasi. Agenda bersepeda mengikuti progo sempat terhenti begitu saya menyadari betapa bersihnya kota ini. Sungai hampir sama sekali tidak menghanyutkan sampah, setidaknya yang tampak terapung. Pipa-pipa limbah rumah tangga sedikit yang dibuang ke kanal. Mungkin program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh) yang diselenggarakan di kota ini relatif berhasil menyingkirkan persoalan limbah yang mencemari sungai. Padahal sungai yang sama juga menjadi sumber air minum untuk pelayanan PDAM kota.
![]() |
Konon Pemkot Magelang bekerjasama sister city dengan salah satu kota di Belanda untuk pengembangan kanal, apakah berhasil |
![]() |
Sub-terminal Kebonpolo alias eks Stasiun Magelang dan area emplasemennya yang cukup luas |
Bersepeda kembali dilanjutkan. Kali ini saya berhenti di Sub-terminal Kebonpolo yang notabene dulu adalah Stasiun Magelang Kota (MG). Kalau dilihat dari luasnya area terminal, kemungkinan stasiun ini tidak hanya melayani pengangkutan penumpang dan barang, ada beberapa jalur rel di emplasemen yang digunakan untuk area stabling kereta. Sayangnya, semua kenangan itu lenyap ketika angkutan ban karet mendominasi jalanan di Magelang. Yah, sangat disayangkan.
Perjalanan berlanjut. Kali ini saya melintasi kawasan Jln. Ahmad Yani yang sudah memiliki dedicated bike lane alias jalur sepeda terproteksi. Berterima kasihlah pada jalur kereta api yang terpendam 20 centimeter di bawahnya. Sembari gowes, saya menyadari bahwa kota ini sangat miskin konektivitas atau alternatif moda transportasi khususnya antar kota. Wajar saja kalau perekonomiannya tidak begitu tumbuh, banyak ruko-ruko terpasang plang 'disewakan', dan bahkan baru masuk petang hari sudah terlampau sepi. Kotanya sangat tidak menarik, perekonomian tidak bergairah, pemerintah daerah resmi gagal.
![]() |
Jajaran pertokoan di Magelang dengan arsitektur lawas justru yang membuat kota ini makin otentik |
***
Memasuki kawasan Pecinan, saya melihat satu kedai kopi di sisi kanan jalan. Kedainya kecil memang, namun tampak anggun untuk disinggahi. Dengan segera saya memarkirkan si Kromo di beranda kafe, bergegas masuk memesan red velvet andalan saya.
![]() |
Kemungkinan banyak pengendara yang tidak menyadari keberadaan kafe ini di sisi barat Jln. Pahlawan karena terbatasnya pandangan |
Kofibru namanya. Kalau dilihat dari akun Instagram mereka, kafe ini belum genap satu tahun buka. Meski belum lama, semua bangku terisi. Rata-rata pelanggan yang datang sibuk dengan laptop di depan mereka, menggulir satu demi satu informasi untuk memenuhi tugas maupun melengkapi data skripsi.
![]() |
Parkir motor untuk pelanggan ada di seberang jalan, tidak tersedia parkir sepeda |
Sebelum masuk, tiap pengunjung diwajibkan mengecek suhu tubuh. Tentu saja saya menggunakan thermometer digital itu di dahi, tidak bodoh seperti orang kebanyakan yang mengira kalau demam, yang dikompres pergelangan tangan. Angka 36,3 muncul di indikator, segera saya memesan minuman saya.
"Red velvet mbak, di-upsize ya," mbak-mbak kasir pun segera mencatat pesanan saya.
"Mau bikin member sekalian mas? Nanti akan ada promo setiap kali pembelian berikutnya, cuma 50 ribu saja."
![]() |
Kafe dengan konsep minimalis yang saya suka akhirnya muncul di tengah kota saya |
![]() |
Daftar menu, harga upsize serta diskon untuk member |
Penawaran menarik sebenarnya. Sayangnya saya belum tahu si Kofibru akan berkembang atau tidak. Maksudnya, untuk apa membuat kartu anggota pelanggan kalau kedai ini pun belum punya cabang. Selain itu, karena kafe ini ada di sudut Pecinan, areanya pun tidak luas. Hanya ada beberapa set meja-kursi dan ruang boleh merokok di belakang. Sangat tidak efisien. Belum lagi budaya nongkrong di Magelang juga belum setinggi Jogja (yang lebih diakibatkan minimnya ruang publik sih, hehe). Jadi,
"Maaf lain kali aja mbak," begitulah.
Sembari diracik, saya melempar pandangan ke penjuru interior kafe. Konsepnya minimalis, serba putih. Salah satu konsep favorit saya memang. Sebagai desainer perwajahan dan pengalaman pengguna (UI/UX Designer), saya memang suka memperhatikan detail dan estetika bahkan pada kehidupan sehari-hari.
![]() |
Area kafe yang sayangnya tidak seberapa luasnya |
![]() |
Kawula muda sibuk berbincang mengenai tugas dan pencapaian hidup |
Saya sadari, kelima barista di belakang konter kesemuanya adalah wanita. Dari sekian banyak kedai kopi yang pernah saya kunjungi, hanya Kofibru yang saya lihat mempekerjakan barista perempuan semuanya. Atau mungkin barista pria belum masuk jam kerja aja.
Karena berkeringat, saya memilih menyeruput red velvet di beranda kafe. Menurut saya, red velvet di Kofibru adalah yang paling enak di antara semua kedai kopi yang pernah saya sanggahi (setidaknya sampai tulisan ini tayang). Tidak terlalu manis, dengan larutan red velvet yang tidak terlalu pekat. Minuman dalam kategori non-coffee ini pun berasa sempurna.
@johanfjr Kofibru ##coffee
♬ suara asli - Johan Ferdian Juno R
Tak lupa saya mencoba jaringan wifi di sini, itung-itung buat mencadangkan foto ke Google Photos. Menggunakan wifi.id, jaringannya seharusnya cepat sih. Tapi entah mengapa berulang kali konektivitasnya tidak stabil. Wifi berulang kali terputus dari ponsel saya. Entah masalah pada routernya atau memang kesalahan teknis dari ISP (internet service provider) di bawah bendera BUMN itu.
![]() |
Para barista yang kesemuanya wanita |
Bulir-bulir embun masih membasahi dinding gelas, namun saya segera bergegas. Satu gelas ukuran besar red velvet yang saya beli seharga Rp. 27.000,- ini tidak untuk diseruput habis layaknya es degan. Untung si Kromo sudah punya tempat untuk botol. Tinggal dibawa muterin kota deh.
![]() |
Red velvet di Kofibru adalah paling nikmat dari semua kafe yang telah saya singgahi selama ini (hingga pos ini ditulis) |
![]() |
Karena belum habis, saya bawa red velvet ini keliling kota |
Posting Komentar