![]() |
HARI 1
Mata saya memerah begitu dipaksa untuk tetap siaga demi menjaga barang-barang bawaan travelmate saya. Kencangnya hembusan angin malam tidak jua mengusir nyamuk-nyamuk pesisir nan ganas. Saya kembali mengoleskan losion anti-nyamuk, dan berjalan-jalan di sekitaran dermaga Pelabuhan Jepara.
Sepi. Belum banyak penyeberang yang berdatangan ke pelabuhan ini meskipun loket akan dibuka dua jam lagi. Yang sudah presen hanyalah kami: lima mahasiswa asal Jogja dengan bujet pas-pasan, sepasang bule asal Jerman yang rupanya tidak fasih berbahasa Inggris dan sedari tadi tidak tenang mengunyah biskuit, juga sekelompok backpacker muda dari Jakarta yang bergumul di warung penyedia colokan.
![]() |
Antrean calon penumpang kapal menuju Karimun Jawa |
Ponsel bergetar begitu jam menunjuk pukul 04.30 WIB. “Her, bangun. Sekarang giliran kamu yang jaga.” Kami memang sengaja membuat shift tidur supaya ada yang menjaga barang bawaan kami. Terlebih, Bowo membawa kamera EOS 700D andalannya, dan saya ikut memboyong laptop supaya dapat mencicil tugas kantor di pulau nanti. “Kalau misal loketnya udah mau buka, antre aja. Nanti kamu bangunin Lintang buat jaga barang-barang yak.” Tapi sebenarnya shift ini tidak juga efektif. Lelah perjalanan dari Jogjakarta menuju Jepara rupanya membuat kawan seperjalanan tertidur lelap meski diserang nyamuk dari pelbagai penjuru.
***
Lima Belas Jam Sebelumnya.
Bus berbodi kelabu itu keluar-masuk terminal dengan keadaan setengah terisi. Tak lama setelah kedatangan bus, para pengasong, pengamen, dan pengemis berlarian menuju pintu bus. ‘Sudah sampai dimana?’ tanya saya di percakapan setelah menunggu kurang-lebih satu jam. Ya, kami berlima berencana menyambangi Karimun Jawa dengan bujet pas-pasan. Berhubung gaji kantor belum kunjung turun, lengkap sudah alasan low budget traveling kali ini.
Kali ini travelmate saya ada Hilda Rahmasari, Arif Wahyu Wibowo, juga Wildan Hero yang membawa pacarnya, Lintang.
Tak lama, bus kelabu itu tiba di Terminal Tidar, Magelang. Semua penumpang dari Jogjakarta dengan tujuan Semarang umumnya dioper ke bus yang sama, dengan secarik tiket dari bus sebelumnya seharga IDR 30.000. Sedangkan saya yang memulai dari Magelang cukup membayar IDR 20.000 hingga Terminal Terboyo, Semarang.
Sepanjang perjalanan, bus melaju dengan kencangnya bagai sedang menaiki rollercoaster. Jalanan beton Bawen — Ungaran membuat bus dengan pegas keras ini berguncang layaknya sedang berada di dalam mesin cuci. Dua jam perjalanan, kami tiba di Terminal Terboyo yang mirip dengan kehancuran Chernobyl karena saking buruknya terminal ini. Genangan berbau busuk kehijauan, bangunan terminal yang reot penuh lubang, dan jalanan rusak membuat saya heran, ‘Kenapa Terboyo masih jadi terminal utama di Semarang?’
![]() |
Kondisi Terminal Terboyo sangat jauh dari kata layak, bahkan terburuk yang pernah saya singgahi |
Makan siang ‘terpaksa’ kami langsungkan di Terminal Terboyo karena Bowo dan Hilda juga belum sarapan sejak berangkat dari Jombor. Warung-warung berdebu (dan hampir gulung tikar) membuat kami sedikit tidak nafsu. Apalagi banyak lalat beterbangan di sekitarnya. Akhirnya, pilihan jatuh ke rumah makan yang sudah mencantumkan harga. “Inget, kita pasang tantangan bujet hanya 500 ribu,” ingat saya kepada teman-teman.
Usai makan dengan lauk sayur gudeg dan es teh seharga IDR 13.000, kami segera mencari bus tujuan Jepara. Umumnya bus tujuan Jepara berukuran 3/4 dengan dua pintu di sebelah kiri. Berdasarkan informasi yang kami dapat dari penumpang, trayek Semarang — Jepara hanya IDR 15.000 saja. Namun begitu kami menaiki bus reyot ini, sang kondektur rupanya aji mumpung dengan menarik IDR 25.000 kepada masing-masing kami. SIAL! Saya melawan, lha wong 15 ribu doang kok. Tapi sang kondektur tetap memaksa. Asyudahlah.
Rupanya, kondektur melihat penampilan kami yang rapih, apalagi saya membawa tas backpack Palazzo yang cukup besar, juga pertanyaan Bowo yang memancing, “Pak, bus ini nanti ke dermaga enggak?” Tentu dijawab tidak. Logika kondektur pun berjalan: penampilan rapih, nanya ke dermaga, mau ke Karimun Jawa, horang kaya! Ndasmu!
Selama perjalanan, bus ini berjalan dengan sangat lambat sembari memuat penumpang–para buruh garmen di sepanjang Genuk hingga Demak. Kami tertidur karena saking lamanya perjalanan hingga memasuki kawasan Jepara kota. “Udah jam 6 lewat nih,” lama perjalanan mencapai tiga jam. GILAK!
Tak lama, bus mencapai kawasan alun-alun. Dengan alasan ingin segera menuju Bangsri, “Mas, Jepara-nya sudah sampai. Turun disini.” Apa? Dua puluh lima ribu yang setara Semarang — Muntilan, cuma sampai di alun-alun yang berjarak dua kilometer menuju terminal. Kami pun kesal, dan terpaksa melanjutkan jalan kaki sejauh tiga kilometer menuju dermaga Pelabuhan Jepara.
Sial.
***
Mentari pagi mulai merangkak ke permukaan. Antrean loket KMP Siginjai mengular. Penduduk setempat, wisatawan lokal, hingga turis mancanegara berada dalam satu barisan. Ada juga baris di sebelahnya untuk membeli tiket penyeberangan kendaraan bermotor, tetapi kosong. Kebanyakan wisatawan lokal mewakilkan namanya untuk dicatat pada tiket penyeberangan, berbeda dengan turis mancanegara yang kesemuanya ikut masuk dalam barisan.
![]() |
Selamat pagi dari dek KMP Siginjai |
Hero berhasil mengambilkan tiket kami. Kali ini masing-masing memegang tiket kapal Siginjai (IDR 74.000) dan retribusi memasuki kawasan Karimun Jawa (IDR 2.000).
“Mau cari sarapan dulu nggak nih? Soalnya kita bakalan empat jam di dalam kapal?”
Sebuah warung tak jauh dari loket menjual aneka lauk dan sayur. Setelah bertanya pada pemilik warung, rupanya harganya murah-murah. Seporsi nasi dengan sayur buncis dan lauk tempe dihargai IDR 5.000. Padahal, ada banyak sekali turis mancanegara nongkrong di warung ini.
Berbeda dengan empat jam sebelumnya, kali ini pelabuhan Jepara ramai penyeberang. Kami segera memasuki kapal yang direncanakan menarik jangkar pada pukul 07.30 pagi ini. Kapal motor penyeberangan atau KMP Siginjai tidak terlalu besar. Kapal ini setiap pagi (kecuali hari Sabtu) mengangkut truk-truk dengan bahan material, aneka bahan makanan, mobil-motor, juga wisatawan dan para pekerja.
Usai menaruh tas di lantai 2, kami segera menuju geladak kapal untuk menyapa fajar yang menyembul dari balik Muria. Indah. Warna kuning-oranye keemasan mengubah cakrawala. Hawa angin darat menghangat. Satu jam kamu mengelilingi isi kapal, dari anjungan hingga buritan, akhirnya kapal mulai melaut.
Bersambung ke bagian 2...
***
Originally published at www.tengara.co on December 10, 2017.