Sudah Waktunya Magelang Menuju Energi Terbarukan!

Menjadikan Magelang sebagai kota pionir transisi energi terbarukan di Jawa Tengah

Tak dapat dipungkiri bahwa penggunaan energi fossil secara berlebihan telah mengakibatkan konsentrasi karbon dioksida (CO2) menjadi sangat tinggi — terutama di langit belahan bumi bagian utara. Sebenarnya selain CO2 masih ada banyak emisi gas rumah kaca yang ikut menyumbang pemanasan global, seperti metana, dinitro dioksida, hidrofluokarbon, dan lain sebagainya. Akibat tingginya konsentrasi karbon, terjadilah pemanasan global yang berimplikasi langsung pada perubahan iklim. Lapis demi lapis es di kutub mencair, gletser Himalaya yang menghidupi ratusan juta jiwa di Tiongkok dan India pun perlahan lenyap, gagal panen karena kekeringan panjang di Afrika, dan kebakaran hutan di California semakin menggila.

Perubahan iklim mungkin istilah yang cukup asing di telinga kita. Namun tahukah kamu bahwa perubahan iklim merupakan salah satu faktor terbesar penyebab banyak terjadinya bencana alam? Mulai dari hujan berangin kencang, gangguan musim, puting beliung, kekeringan yang menyebabkan kebakaran hutan, hujan es, dan banjir bandang. Semua bencana itu merupakan dampak dari cuaca ekstrem oleh akibat perubahan iklim. Perlu adanya kebijakan radikal dalam mengatasi dan menanggulangi dampak bencana akibat perubahan iklim. Salah satunya, pengurangan emisi karbon di angkasa.

Sebagai salah satu daerah administratif terkecil di Indonesia, Magelang dapat mulai membuat program kebijakan di tingkat kota untuk transisi energi. Beberapa diantaranya:

A. Transfer Ilmu Pengetahuan Energi Terbarukan

Hal pertama yang perlu dilakukan tentu saja belajar. Untuk mempelajari hal-hal terkait energi terbarukan, bisa dilakukan dengan melakukan kerjasama riset dengan institusi riset dalam negeri seperti perguruan tinggi. Di sisi lain, internet juga telah menjadi portal informasi terbesar untuk belajar. Jurnal, riset, video penjelasan ahli, dan berbagai konten pendukung proses pembelajaran serta penggodokan kebijakan tersedia secara luas, dan banyak diantaranya bebas diakses.

Panel surya juga dapat diaplikasikan sebagai atap peneduh pada ruang pedestrian atau halte bus Trans Magelang nantinya (Foto: Asia Chang/Unsplash)

Ada banyak sekali sumber-sumber energi terbarukan di Indonesia. Khusus untuk wilayah Magelang Raya, potensi sumber energi alternatif — yang mungkin saja bisa menjadi sumber utama di masa depan, diantaranya tenaga angin di wilayah kaki Sumbing, hidroelektrik di sepanjang sungai dengan aliran deras, tenaga matahari yang sangat melimpah, dan energi yang juga bisa diperoleh dari hasil komposisi sampah organik (waste-to-energy). Potensi ini ada dan bisa dikembangkan melalui riset mendalam serta transfer pengetahuan mengenai manajemen energi terbarukan. Saat ini terjadi pertukaran ilmu pengetahuan terutama antara negara maju ke negara berkembang. Pemerintah Kota bisa mengirimkan delegasi ke daerah lain atau bekerjasama dengan instansi pendidikan/perguruan tinggi riset guna mengembangkan sumber energi alternatif di Magelang Raya. Pemerintah Kota memang tidak boleh menjalankan bisnis, namun bisa membentuk BUMD untuk mengelola ketersediaan energi terbarukan.

B. Penggunaan Atap Surya pada Instansi Publik

Salah satu solusi termudah untuk transisi menuju energi terbarukan adalah dengan atap surya (solar roof). Matahari merupakan salah satu sumber daya energi tak terbatas terutama bagi negara-negara dengan dua musim seperti Indonesia. Pada tahun 2016, setidaknya Kota Magelang mengalami hujan selama 219 hari, atau 18,25 hari di setiap bulannya — menurut stasiun CBS 90. Itu berarti ada 147 hari dimana Kota Magelang memiliki hari dengan cuaca cerah pada tahun yang sama. Alhasil Magelang memiliki potensi energi cadangan dari surya yang cukup melimpah.

Menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), rata-rata radiasi harian matahari di Indonesia mencapai 4,8 kWh/m2. Potensi energi surya belum tereksplorasi dengan baik di Kota Magelang. Padahal meskipun dikelilingi lima pegunungan, Kota Magelang tetap mendapatkan pancaran sinar matahari sepanjang tahun. Oleh karenanya, Pemerintah Kota dapat mengampanyekan energi alternatif guna mendorong Warga Kota untuk memiliki panel maupun atap surya. Caranya, tentu dimulai dari Pemkot sendiri. Pemasangan panel surya dan baterai pada atap-atap gedung pemerintah bisa jadi salah satu cara untuk menstimulasi kepemilikan panel surya oleh masyarakat kalangan atas di Kota Magelang.

Panel dan atap surya adalah dua hal yang berbeda meski keduanya sama-sama memiliki sel surya (photovoltaic, vc) yang berguna mengubah sinar matahari menjadi energi listrik. Apabila panel surya umumnya adalah bidang datar yang juga memantulkan sinar matahari, atap surya adalah mirip dengan genting konvensional pada umumnya namun menggunakan ubin kaca dengan sel surya yang transparan sehingga dapat beradaptasi dengan desain bangunan.

Proses konversi energi panas cahaya matahari menjadi listrik (Animasi: Tesla)

Selama ini penggunaan energi terbarukan dari tenaga surya masih sangat minim, khususnya di Kota Magelang. Tidak semua masyarakat mampu mengakses kepemilikan atap maupun panel surya untuk dipasang di atap bangunan mereka. Padahal, ke depannya tren energi terbarukan akan terus meningkat menjadi gaya hidup baru sehingga ketika permintaan pasar cukup besar untuk panel surya, maka harga jualnya pun menurun.

Harga panel surya di Indonesia saat ini berada di kisaran US$ 1/Watt peak (Wp) atau US$ 1.000/kilowatt peak (kWp). Tiga tahun lalu, harga solar panel masih sekitar US$ 1.500/kWp, jadi sudah menurun sekitar 30% dalam 3 tahun.

Untuk saat ini harga panel surya untuk kapasitas 250 WP berkisar di harga 2–3 jutaan. Guna mewujudkan swasembada energi bersih di kalangan Warga Kota, Pemerintah Kota dapat memberikan subsidi (melalui PLN, tentunya) atau potongan pajak bagi masyarakat yang memasang instalasi panel surya di rumahnya.

C. Perbanyak Instalasi SPLU

Saat ini Perusahaan Listrik Negara (PLN) memang telah menyediakan fasilitas Stasiun Penyedia Listrik Umum (SPLU) yang terletak di beberapa titik di Kota Magelang dan Kota Muntilan. Sayangnya, daya suplai SPLU sangat kecil sehingga tidak mampu digunakan untuk mengisi baterai dengan kapasitas besar seperti mobil listrik. Alhasil, apabila digunakan untuk mengisi daya baterai berkapasitas besar, butuh waktu yang sangat lama.

Salah satu SPLU milik PLN di sudut Kota Jakarta (Foto: PLN)

Selain itu, penulis mendapati posisi SPLU ini benar-benar tidak sesuai pada tempatnya: menempel pada tiang listrik yang menancap di tengah trotoar dan menghalangi jalur difabel. Alhasil, SPLU ini menyalahi aturan tata ruang jalan dan pedestrian.

Transportasi publik bertenaga listrik akan menjadi solusi paling ramah iklim di masa sekarang (Foto Heliox Energy)

Untuk penyediaan SPLU, Pemerintah Kota tidak perlu bergantung pada PLN selaku BUMN penyedia energi. Pemerintah Kota bisa berinisiatif membangun SPLU yang sesuai dengan standar mutu dan keamanan, menyerahkan pengadaannya pada pihak swasta atau BUMD, maupun dengan melalui para pengusaha SPBU. Di masa depan, penggunaan energi fossil akan ditekan seminimal mungkin sehingga memungkinkan para pengusaha SPBU terkena disrupsi oleh perubahan tren kebijakan ini. Mungkin saja SPBU akan berubah menjadi SPLU kemudian.

Spesifikasi SPLU Beji Lintar (Sumber: PLN Distribusi Jakarta Raya)


D. Memulai Mikrohidro

Ada banyak sekali sungai mengalir di Kota Magelang. Beberapa diantaranya masih cukup bersih, sisanya dipenuhi sampah. Masalah ini menjadi PR besar bagi Pemerintah Kota sekaligus Pemerintah Kabupaten Magelang. Tentu saja karena sungai di Magelang sebagian besar sudah dipenuhi sampah sejak dari hulu di wilayah kabupaten. Tidak adanya sistem pengangkutan sampah yang baik di kedua wilayah juga menjadi alasan mengapa kebiasaan buang sampah di kali membudaya dalam masyarakat. Padahal, ketika sungai-sungai dan parit bersih, aliran sungai dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga mikrohidro.

Mikrohidro bukanlah sesuatu yang asing dan baru. Di beberapa daerah di Indonesia ada yang sukses menerapkannya. Salah satunya adalah Kasepuhan Ciptagelar di kaki Gunung Halimun. Sebagai desa adat, masyarakat Ciptagelar mengutamakan kemandirian, dalam pangan dan sekarang dalam energi. Dengan memanfaatkan sungai-sungai yang berhulu ke Halimun, ditambah sedikit mekanisme fisika, energi listrik dari 10 turbin tercipta untuk menghidupi 1.500 rumah, atau seperempat total permukiman di sana.

Pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Kasepuhan Ciptagelar (Foto: Ekspedisi Indonesia Biru, Watchdoc Image - Energi dari Gunung Halimun)

Selain mikrohidro, Kasepuhan Ciptagelar juga menggunakan panel surya sebagai alternatif sumber energi (Foto: Ekspedisi Indonesia Biru, Watchdoc Image -Watchdoc Image - Energi dari Gunung Halimun)

Tentu saja mikrohidro juga sangat potensial diterapkan di Kota Magelang, khususnya permukiman yang dialiri kali seperti Kali Bening dan Progo. Beberapa parit pun ada yang bercabang dan menuju ke Progo, dan alirannya cukup untuk memutar turbin. Tantangannya, selain adanya sampah di kali, sedimentasi yang dibawa arus juga berpotensi merusak turbin. Maka, harus dilakukan riset model turbin dahulu dengan tingkat durabilitas yang tinggi.

E. Pemetaan dan Penataan Arus Angin

Tiap tahun, Pulau Jawa mengalami dua musim: musim hujan dan kemarau. Kedua musim ini sebenarnya hanyalah fenomena iklim tahunan yang ditandai dengan adanya panca katiga atau era pancaroba. Angin dari kedua musim datang dari sisi tenggara - selatan dan utara - barat laut. Apabila diteliti lebih lanjut, arah gerakan angin selalu sama di tiap tahunnya. Maka dari itu, ada potensi penggunaan energi angin di sini. Tentu dengan riset lebih lanjut seberapa kuat angin berhembus dan apakah benar-benar bisa didayagunakan sebagai pembangkit listrik.

Dengan permodelan komputer, Singapore menangani masalah pemanasan pulau (Foto National Geographic - Singapore, City of The Future)

Apabila potensi ditemukan dan memadai, maka hal berikutnya yang perlu dilakukan adalah membuat regulasi terkait perubahan tata ruang. Regulasi ini nantinya akan mengatur siapa saja dalam memanfaatkan ruang kota, termasuk mengatur bagaimana bangunan didirikan, apakah akan mengganggu arus angin ini atau tidak. Cara ini sebenarnya sudah lama digunakan Singapura untuk mengatasi persoalan pulau kota itu yang kian memanas. Tak mengherankan bila pendirian gedung pencakar langit diatur ketat. Mungkin saja pada AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) mereka disertakan bagaimana desain arsitektur gedung berdampak pada arus angin tahunan.

***

Setidaknya kelima ide di atas adalah hal yang masih relatif bisa dilakukan Pemerintah Daerah Magelang Raya untuk mendayagunakan energi terbarukan. Potensi energi alternatif sangat melimpah, dan ide-ide di atas hanya sebagian kecil yang tersedia. Belum lagi ada biogas yang bisa digunakan untuk bahan bakar dapur, dsb. Jadi, apakah Pemda sudah siap melakukan transisi pada sumber energi berkelanjutan?

Artikel ini pertama kali tayang di www.magelang2030.id pada 17 Maret 2019