Akhirnya Gue Divaksin: And Confession of My Sin(s)

Sedikit egois dengan menyela antrean vaksin, padahal jadwal vaksinasi udah dapat 2 minggu lebih lambat

Dosa-dosa Saya di Gelombang Kedua

Mood saya sedikit rusak begitu tahu hanya saya yang tak kunjung mendapat surel pemberitahuan untuk jadwal vaksinasi. Maklum, grup kantor kian riuh dengan informasi orang-orang yang lebih dulu beruntung mendapat surel dari Polda DIY untuk ikut kegiatan vaksin akbar—yang notabene saya adalah informan mereka. Duh, padahal saya sedang menikmati liburan terakhir sebelum akhirnya PPKM diberlakukan. Perayaan usia ke-24 yang sederhana: hanya menyambangi kota dambaan saja.

Juni 27, angka kasus positif memang kian menanjak. Saya yang semula akan divaksin pada 12 Juli pun jadi tergesa-gesa mencari informasi vaksinasi tercepat. Tentu saja ini artinya berebut booking dengan orang lain. Saya tidak ingin keburu terinfeksi Covid-19 varian delta meski dalam asumsi, sebenarnya saya sempat sakit sepulang dari Wonosobo. Lalu di hari-hari berikutnya, ibu dan adik saya juga sakit. Setelah membaca gejala, kemungkinan kemarin saya terpapar varian delta, namun tidak menyadarinya karena tidak melakukan tes. Satu hal yang saya lakukan adalah segera mengisolasi diri di kamar kos 3x3 itu. Sedang melarat menjadi alasan saya tidak mau ambil tes. Bisa saja ambil tes, tapi besok makan gimana? 🙃

Kenaikan kasus gelombang kedua makin ekstrem karena varian delta (Sumber: Google dari John Hopkins University)

Keburu memaki, rupanya surel untuk saya masuk folder spam dan terlambat 7 jam dari kolega yang lain. Hehe, maklum. Ketika dalam kondisi fit, saya memang ingin menyegerakan diri untuk segera divaksin. Divaksin bukan karena saya ingin segera bebas keluyuran, melainkan menggandakan proteksi diri selain karena ketaatan prokes.

Mungkin saja saya pernah positif, mungkin...

Itu asumsi saya, tepatnya setelah 4 hari tumbang pasca pulang dari Dieng. Waktu itu Minggu petang, usai memotret Dimas yang potensial jadi model kawakan, saya merasa lunglai. Tubuh terasa lemas walau tidak sedang demam. Memang saya jadi flu, berulang kali bersin bahkan hampir tanpa jeda. Kedua bola mata terasa lelah untuk terjaga. Apakah ini adalah gejala Covid-19? Tapi saya tidak demam. Setelah membaca soal varian baru, mungkin gejala saya adalah bukti terpapar varian delta. Varian baru yang ditengarai berasal dari India itu memang sempat menghebohkan Kudus pasca Lebaran. Di Wonosobo ketika saya berkunjung pun varian delta juga tengah meningkat. Meski masker selalu terpakai ketika di luar, mungkin saya terpapar.

Kenapa tidak ikut tes?

Biaya tentu jadi alasan utama. Keuangan saya sedang surut-surutnya dengan rupiah 15 juta menguap begitu saja. Maklum, dana darurat yang tengah ditabung itu ludes oleh kebutuhan keluarga. Tak apalah, toh mudah bagi saya untuk memutar otak mencari pemasukan meski diupah tak jauh dari UMR Jogja—dikenal terendah di Indonesia. Tapi dengan tabungan tersisa, saya bisa saja ambil tes covid. Tapi bagaimana dengan kelanjutan kehidupan di perantauan? Menggelandang?

Apakah saya super spreader?

Pertanyaan ini mencuat setelah kolega kerja saya satu per satu positif dan tumbang. Di hari kelima (yang sebenarnya belum fit), saya diminta untuk menghadap kolega untuk berdiskusi soal desain yang dikerjakan. Walau sudah beralasan kalau saya belum benar-benar sehat, tapi tetap diminta hadir fisik di kantor. Akibatnya, di minggu berikutnya kawan-kawan pada sakit. Apakah saya menularkan pada mereka? Mungkin saja.

Maka dari itu, ketika sudah sehat saya menyegerakan diri untuk divaksin. Tidak peduli vaksin apa yang akan diterima, saya harus tetap melanjutkan hidup. Pada titik ini, rasanya menjadi egois untuk kesehatan diri adalah sah-sah saja. Meski sebenarnya vaksin baru akan efektif ketika setidaknya 80% populasi sudah mendapat dosis kedua mereka.

***

Vaksinasi, tidak sengeri katanya...

"Nanti fotokopi KTP dulu ya mas," arah polisi muda itu pada mesin fotokopi tinta milik koperasi kepolisian. Booth dadakan ini tentu ada untuk memfasilitasi peserta vaksin yang belum sempat memfotokopi KTP dan mencetak formulir isian. Setelah semua dokumen lengkap, para peserta diarahkan ke lantai atas. Alur jalan pun sudah ditentukan: pintu masuk dan keluar tidak sama.

Di lantai atas, puluhan kursi tunggu masih kosong. Pengaturan jadwal tampaknya memang berhasil mencegah adanya kerumunan di lokasi vaksinasi. Jadwal vaksin saya pada Selasa, 29 Juni pukul 10:00 hingga 11:00 relatif lengang. Atau mungkin karena belum jam makan siang saja makanya lowong.

Program vaksinasi dari Polda DIY sekaligus merayakan Hari Bhayangkara Nasional

Antrean para peserta vaksinasi yang belum mencetak formulir dan memfotokopi e-KTP

Setelah naik ke lantai atas, saya menyerahkan dokumen pendaftaran. Nomor KTP tentu diserahkan, beserta nomor telepon, nama, dan asal domisili. Kesemuanya guna memvalidasi data keikutsertaan vaksinasi pada Kementerian Kesehatan yang kemudian bisa dicek pada aplikasi Peduli Lindungi.

Berikutnya, screening awal. Pengukuran denyut nadi, pertanyaan lisan soal kesiapan vaksinasi, dan pengecekan suhu tubuh dilakukan. Sayangnya, dari banyak dokter Kepolisian, hanya dokter saya yang melakukan cek suhu di pergelangan tangan. Mau minta dicek di dahi tapi hasil pengecekan dengan termometer inframerah itu terlanjur ditulis: 35,6 derajat katanya. Ya gila aja, dikira saya mayat hidup dengan suhu serendah itu. 😅

Rute dibuat agar menghindari varian delta menyebar lewat papasan

Setiap sudut alur vaksinasi dijaga petugas, sangat ketat

Praktek mengecek suhu di lengan ini tampaknya sudah salah kaprah se-Nasional. Disinformasi dan hoaks pada masyarakat jadi penyebabnya. Maka wajar kalau kasus meningkat, dikira kalau demam yang dikompres lengan tangan. Bodoh. Sangat.

Setelah dari meja 2, di meja 3 antrean cukup mengular. Rupanya di meja ini para peserta vaksin akan diyakinkan lagi soal kesiapannya untuk diinjeksi Astra Zeneca. Saya sih tentu siap. Mau ngapain lagi kalau menunda divaksin?

Meja keempat, peserta hanya menyerahkan semua dokumen yang sudah ditandai dari meja pertama hingga ketiga. Saya berlalu ke meja vaksinasi. Di meja ini, saya duduk, menarik lengan baju. Belum sampai lima detik duduk, sang dokter langsung menusukkan jarum ke lengan kiri saya. "Eh, udahan dok?" tanya saya keheranan. Rupanya divaksin sama sekali tidak berasa karena ukuran jarum yang sangat kecil. Malah lebih sakit digigit nyamuk. 😅

Kondisi area vaksinasi relatif lengang karena tiap peserta sudah mendapatkan jadwal yang dikirim melalui surel

Alur yang dibuat sudah jelas dan mudah dipahami

Terakhir, saya menuju ballroom Sleman City Hall guna bersantai selama 15 menit. Ngapain? Untuk memastikan bahwa tidak ada gejala serius yang saya hadapi. Di ruang observasi ini, orang-orang asyik berswafoto dengan properti 'Saya sudah divaksin'. 

Lima belas menit berlalu, saya tidak merasakan gejala serius. Hanya saja pegal memang sangat terasa karena suntikan jarum tentu menembus jaringan otot saya. Keluar, mal, saya merasa sangat lapar. Padahal pukul 9 pagi saya baru selesai sarapan. Saking laparnya, saya terpaksa berhenti di warung langganan saya untuk makan porsi ganda di tempat (PPKM belum berlaku).

Screening pertama, para peserta vaksinasi dicek tensi, suhu, dsb

Para peserta diberikan wejangan guna memperkuat mental, saya sih siap

Meja vaksinasi dengan 2 petugas kesehatan

Aksi, reaksi...

Lekas maghrib, saya mendadak demam. Semula saya pikir vaksin bekerja tanpa membawa saya pada kondisi yang dialami orang kebanyakan: demam adalah reaksi umum setelah injeksi vaksin Astra Zeneca. Dengan segera saya mengecek pakai termometer organisasi. Wow, suhu tubuh saya meningkat drastis dari 36,3 menjadi 38,2 dalam 30 menit saja. Segera saya tenggak sebutir pil Paracetamol yang dibeli sore tadi. Otomatis tubuh saya langsung berkeringat hebat bagai habis melakukan puntir Rusia. Sekitar satu jam setelah minum obat, suhu tubuh berangsur normal. Saya pun memilih tidur lebih awal supaya tubuh tetap bugar menjaga kondisi pasca vaksinasi.

Dini hari, saya merasa demam lagi. Benar, suhu tubuh kini di angka 37,8 derajat. Satu pil tambahan untuk meredakan demam. Entah mengapa kalau biasanya habis terbangun saya sulit tidur, kali ini saya cepat terlelap kembali. Bangun pagi, tubuh saya terasa benar-benar segar meski sebenarnya jam tangan menunjukkan waktu tidur optimal hanya 5 jam. Bahkan statusnya 'tidur lelap'. Wow, jarang begini.

Ruang observasi, dimana reaksi vaksin ditinjau pada 15 menit pertama

Seperti biasa, saya melakukan aktivitas pagi: menyeduh teh, beli roti untuk snek kerja, dan sarapan bubur. Ketika pukul 9 pagi, tubuh kembali demam. Kali ini suhu di angkat 37,3 derajat. Langsung saja saya tebus dengan sebutir lagi paracetamol. Suhu tubuh pun berangsur normal. Hingga 24 jam pertama suntikan dilakukan, kondisi tubuh saya sudah kembali bugar untuk kembali bekerja.

Apa yang saya lakukan hanyalah reaksi dari vaksin yang tengah beraksi. Ketika tubuh bergejala setelah divaksin, artinya vaksin memang benar-benar bekerja. Jangan panik, jangan bimbang, asal sudah tahu apa yang harus dilakukan pasca vaksinasi, maka semua akan aman.

***

Selama vaksinasi dan gelombang kedua memuncak, saya pun sedikit mengoreksi gaya hidup. Setiap hari setidaknya saya harus terhidrasi hingga 1,5 liter. Tiap pagi dimanfaatkan untuk olahraga ringan: bersepeda bisa jadi opsi ketimbang jogging karena bisa tetap mengenakan masker di luar ruangan. Berjemur selama 15 menit juga perlu dan mudah dilakukan karena saya bekerja dari kosan (WFH). Makanan ringan seperti makaroni pedas saya kurangi dan digantikan buah-buahan segar. Yap, ketika metabolisme lancar, artinya tubuh saya sedang sehat.

Kartu vaksinasi saya, Astra Zeneca, dan akan menerima dosis kedua pada paruh akhir September 2021

Ketika pos ini ditulis, sayangnya laju vaksinasi di Indonesia masih sangat lambat, padahal virus terus menyebar luas sedang angka tes terus dikurangi. Padahal vaksin baru benar-benar efektif ketika setidaknya 80% populasi sudah divaksin. Dengan kondisi saat ini, semoga saja tiap orang punya imunitas diri yang kuat karena pelacakan virus sudah tidak lagi optimal. Dan semoga saja tiap-tiap keluarga tetap bisa makan meski tahun ini dan nanti, harapan mereka cuma satu: tetap bisa hidup bertahan saja sudah cukup.

Jadi gimana, kamu masih ragu divaksin?