Blog ini sedang dalam masa pemeliharaan.

Senja Kopi: Sebuah Pelarian di Sore Hari

Dengan segelas red velvet latte yang setia menemani jari-jemari menari.

Saya mencoba duduk santai dengan bersila kaki. Dari tadi mbak-mbak di kiri saya heboh dengan sobat karibnya. Berulang kali Ia melakukan panggilan video menjawab ucapan selamat dari kawan di balik layar. Maklum, hari ini adalah hari ulang tahunnya. Semangatnya menggebu-gebu ketika segerombol teman cowoknya membawa beberapa kentang goreng dan minuman bersoda dari gerai restoran terkemuka di Jakal itu. Perayaan meriah, di sudut kafe yang wah.

Hmm, membawa makanan dari luar.

Tampak luar bangunan Senja Coffee and Memories

Lantai dasar bangunan terdapat pusat oleh-oleh khas Jogja dan warung makan kuliner khas Nusa Tenggara

'Otw Jun,' japri Sanel yang baru selesai bertransaksi dengan Ifan: mengantar buah tangan oleh-oleh dari Malang. Saya juga dapat. Mungkin nominalnya tidak seberapa, namun memberi kawan hadiah ketika sedang asyik pelesir, berarti kamu ada dalam posisi istimewa dalam hidupnya. Kami bersahabat sejak 2015 silam, dan syukurlah masih ayem hingga sekarang.

Dari banyak bangku tersedia, saya pilih duduk di sofa dengan meja yang mengingatkan saya pada masa  akhir perkuliahan. Meja model seperti ini memanggil kembali memori tahun 2018 dimana saya dan sahabat saya Dwi mengerjakan skripsi. Kami memang telah berjanji untuk menyelesaikan skripsi dari bimbingan bersama hingga berencana wisuda bareng. Dan untuk mengejar bab demi bab skripsi, kami saling berkompetisi meski bahasan tugas akhir kami jauh berbeda. Ia membahas seputar pemberdayaan sosial sedang saya menilik aspek kebijakan program ekonomi seorang kepala daerah. Huft, andai saja waktu bisa kembali diputar, mungkin saya akan memaksimalkan waktu dengannya.

Begitu naik ke lantai 2, pengunjung disambut dekorasi ciamik ala toko perabot IKEA

Tumbler dan aneka aksesoris dijual oleh kedai kopi ini

Aneka menu kopi hingga kukis tersedia

Dari ujung pandang, wanita perpakaian serba gelap itu datang. Meski bermasker, senyum tampak terpancar dari gestur kedua matanya.

"Elu udah pesen Jyun?"

Seperti biasa, saya pesan red velvet latte. Maklum, raga ini bukan pecandu kafein sehingga lambungnya sensitif terhadap kopi. Karena saya pindah lokasi kerja, "Gue cari aman ambil opsi milk-based Nel," sembari menunjuk pada gelas 

"Oke, gue juga pesen varian susu deh," ujarnya. Lima menit kemudian, namanya dipanggil barista berambut blonde dikucir itu. Segelas susu matcha latte hadir di hadapan.

Minuman tersaji, tentu saya tidak hanya akan menyeruput habis latte ini begitu saja. Perabot di kafe ini sangat ciamik dan perfect untuk berfoto-foto bersama kawan, atau sekadar membuat pembaruan 'sedang nongki' di media sosial.

Red velvet adalah menu favorit saya, kapanpun, di kafe manapun

Gelas ini saya pakai ulang karena keren dan fungsional

Tisu khusus dengan merek Senja, menambah kesan premium kedai kopi ini

***

Senja Coffee and Memories di Jakal adalah tempat yang cozy buat nugas meski relatif masih baru. Saking barunya tempat ini, lantai 3 bangunan yang konon akan ada ruang kerja terbuka dan musola masih dalam tahap pembangunan. Ruang kerja utama kafe ini sih ada di lantai 2 dengan ruang perokok di area balkon. Lantai dasar bangunan terdapat gerai oleh-oleh bakpia dan warung kuliner masakan Nusa Tenggara Timur. Area belakang gedung sedang dalam pembangunan. Mungkin akan ada auditorium terbuka nantinya.

***

'Gimana progresnya?' tanya atasan lewat Slack. Karena kerja dari rumah (work from home/WFH), saya harus melaporkan progres setiap kali ditanya. WFH memang membuat manajer proyek ketar-ketir kalau tugas yang diberikan pada kolega tidak dikerjakan. Dampaknya lumayan, akan mengacaukan linimasa pengerjaan proyek yang dibuat dan mengganggu kinerja rekan kerja yang lain.

Sesekali manajer proyek kantor saya berkeluh soal WFH membuat kinerja sebagian anggota tim tidak efektif karena banyaknya distraksi: mengasuh anak, ada kucing, atau disambi mencuci baju misalnya. Alih-alih mengikuti cara kerja karyawan lain yang mudah diinterupsi, justru WFH membuat saya lebih konsen dan nyaman bekerja karena tidak ada tekanan. Sebagai desainer, saya butuh 'angin segar' untuk menstimulasi kerja otak agar lebih kreatif dalam berkarya. Dan WFH benar-benar jadi jawaban yang walau muncul di tengah pandemi. Semoga saja kebijakan WFH tidak dihapus hanya karena sebagian rekan kerja saya tidak dapat menjaga performa kinerja mereka.

Pramusaji sigap melayani Sanel yang baru memilih menu

Ragam menu makanan disajikan dalam etalase kaca

Menjadi orang yang bekerja di sektor TI, kami memang biasa bekerja dikejar waktu. Setiap tahapan pembangunan aplikasi atau web, tiap minggunya akan ada push live sistem yang dikerjakan, berarti sistem sudah dapat diakses pengguna. Ketika terjadi galat, akan ada penarikan fitur dan perbaikan fungsi disesuaikan pada skema kebutuhan klien. Mungkin terdengar repot, tapi semua tantangan dunia kerja ini berhasil saya hadapi. Iyalah, wong saya cuma desainer kok. Figma menjadi aplikasi dimana saya sudah profesional di bidang UI. Ketika sektor TI belakangan ini banyak yang runtuh karena pandemi, beruntung saya tetap bisa sedikit tenang bekerja karena kantor saya sudah cukup mapan dalam memanajemen proyek yang masuk. Maka dari itu, saya harus tetap menjaga performa kerja.

Ada kalanya saya suntuk karena bekerja di sektor ini. Menatap layar nonstop selama 8 jam konstan membuat penglihatan lelah, energi cepat terkuras, serta risiko terkena penyakit juga banyak karena jarang bergerak. Ada masanya saya ingin keluar dari sektor ini, menjajal profesi baru yang sesuai dengan gelar sarjana saya. Atau mungkin saya hanya butuh rekreasi semata.

Tersedianya colokan di lantai menjadikan kafe ini cocok untuk pelarian para pekerja profesional

Suasana lantai 2 ruang kerja

Ruang khusus perokok ada di luar, menghadap Jalan Kaliurang

Bagian selatan ruang perokok berbentuk auditorium mini

Pandemi memang akan berlangsung lama, tapi tidak ada salahnya saya mencari suasana baru dengan mencicipi red velvet dari kedai kopi berbeda. Semua pelarian yang takkan sia-sia.

***

"Makan malam dimana Nel?" tanya saya. Sanel segera melepas bud kanan, menariknya ke bawah dari celah kerudung, "Ke penyetan 4T lagi?" 

"Janganlah. Cobain yang baru dong," sanggahnya. Tentu saja Ia ingin mencoba kuliner baru yang belum pernah Ia coba dan saya tahu. Sebaliknya, saya ingin mengecap makanan yang pernah dicobanya.

"Gimana kalo ke tong seng ayam yang kemarin tutup?"

"Boleh," Ia segera berkemas, menutup serangkaian tugas dari pelatihan daring yang Ia ikuti.

Tidak disadari saya telah berada di kafe ini dari siang hingga petang
Cuma seorang pejalan yang gemar memaknai hubungan sosial.

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.