Blog ini sedang dalam masa pemeliharaan.

Diantara Gema Jangkrik Kaliangkrik

Kembali menghayati eksistensi diri di Dunia ini.

Entah apa yang membuat saya mendadak ingin berada di antara orang-orang ini. Padahal, delapan belas jam yang lalu saya sedang bermalas-malasan, membalas japri seorang komandan organisasi dengan beragam alasan. Bagaimana tidak, saya diberi undangan untuk menghadiri acara sarasehan organisasi yang sudah dua tahun lebih tidak saya ikuti. Maklum saja, dulu saya bergabung ke organisasi untuk menghabiskan waktu luang di sela-sela menunggu panggilan kerja, medio Februari 2019. Sejak merantau karena harus memenuhi nafkah pribadi, aktivitas saya di organisasi berkurang dan finalnya pada pertengahan 2019 saya pamit undur diri. Sayang sekali memang, tapi mau gimana lagi. Putra-putri daerah Magelang banyak yang merantau karena taraf ekonomi akan cukup sulit meningkat bila terus-menerus tetap tinggal di kota pensiun ini.

Menuju Magelang barat nan gelap gulita

"Piye Mas Jo? Sehat?" sapa Mas Irul. Dia adalah salah satu orang yang bikin saya betah di organisasi ini selain Komandan Udin karena sifatnya yang ngemong (mengayomi). Baru disalami, saya kikuk. Dua tahun tidak bertemu rasanya canggung tiba-tiba muncul di tengah keramaian.

Melebur dalam kehangatan malam

Karaoke karokoe sembari membaca lirik dari tablet

"Kae-kae, ono Erma. Isih kenal to (Itu-itu, ada Erma. Masih kenal kan)?" Mas Irul menunjuk gadis kecil berkerudung hitam dengan jaket tipis itu.

Jujur, saya bukan tipe orang yang mudah mengingat nama orang kalau jarang bertemu apalagi interaksi. Apalagi daya mengingat saya semakin berkurang ketika banyak informasi baru saya serap untuk diingat. Mungkin mirip dengan amnesia infantil.

Saya pun bergabung ke sudut kerumunan, menyanyikan mars organisasi. "Lah kowe Jo?" Erma menyapa keheranan. Tak perlu waktu lama sampai Ia mengayunkan telapak berbalut sarung tangan itu pada saya. Hangat. Di sudut lain, ada Mbak Atik yang sebenarnya kakak sepupu saya. Namun di organisasi ini, Ia menganggap saya keponakan ketimbang sepupu. Ya sudahlah, tidak masalah juga bermain peran.

"Lha kowe seko Jogja?" tanyanya keheranan, mungkin kaget saya datang ke organisasi yang sudah dua tahun ditinggal.

Galaksi Bima Sakti (Milky Way) di ujung lain horizon

"Iyo e mbak," jawab saya lugas. Sebenarnya tadi sempat mampir pulang ke rumah sebelum mampir. Biar terkesan heroik, anggap saja saya datang langsung, hehe.

Usai menyanyikan mars, para peserta dibuat aktif bergerak dengan sesi karaoke karokoe. Para ibu dan bapak asik bergoyang meski harus tetap berjarak dengan masker terpasang. Unik sih. Apa enggak pengap pas nyanyi tuh? Deretan lagu yang dibawakan Nella Kharisma hingga Via Vallen dinyanyikan. Sebagai bukan penggemar lagu dangdut, bisa dibilang saya terasingkan dalam acara malam ini. Mungkin lebih baik, mundur pelan-pelan, hehe.

Dermaga kayu ini benar-benar sederhana. Berpagar balok kayu yang belum diklir dengan lantai seng atap bangunan di bawahnya. Saya mencoba menerawang langit. Beberapa kali angin dingin berhembus, membawa kabut-kabut putih dari lereng menuju puncak. Nun jauh di dekat puncak, saya melihat sorot senter putih samar-samar menembus awan. Tampaknya beberapa rombongan pendaki mencoba menaklukkan Puncak Sejati.

"Jo, kowe nandi wae e (Jo, kamu dari mana saja)?" tanya Erma. Saya sibuk mempersiapkan tripod Xiaomi untuk mengambil potret langit. Memang ada mode foto langit di ponsel saya, tapi mesti hasilnya apa adanya.

Sebagai anggota di organisasi yang sama, kami memiliki latar yang mirip pula. Erma adalah perantau asal Wonogiri yang kebetulan saat ini merantau ke Magelang, sedang saya dari Magelang mengais rupiah di Jogja. Tinggal di kota sendiri memang biasanya akan berakhir dengan diupah rendah oleh pihak yang mempekerjakan. Biasanya alasan mengapa upahnya standar UMR adalah adanya tempat tinggal sehingga tidak perlu ngekos/ngontrak. Maka para perantau di kota orang umumnya akan diupah sedikit lebih tinggi daripada pekerja dari kota yang sama. Erma selama bertahun-tahun membantu warung bakso khas Wonogiri yang dikelola keluarganya. "Seko Juni tekan Desember mengko aku ning Palembang Jo (Dari Juni sampai Desember aku merantau ke Palembang)," Ia akan bekerja di cabang kedai baksonya yang ada di sana. Wah, berani juga dia merantau mencoba lingkungan baru, gumam saya. Sedang saya, untuk merantau jauh ke Jakarta masih pikir-pikir. Jakarta memang menjanjikan untuk upahnya, namun lingkungannya tidak saya banget. Masih banyak pertimbangan, bagaimana caranya saya bisa kerja di Jogja tapi upah ibukota.

Di tengah hening jeda pembicaraan, kami sama-sama menatap langit. Dalam sepersekian detik, saya melihat ada bintang bergerak. Ia hanya nampak tak sampai satu detik, sebelum akhirnya habis menjadi debu.

"WEH! Kowe ndelok ra e Ma?" seru saya pada Erma. Dia bengong, sedikit tidak percaya atas apa yang kami saksikan barusan. Sebuah meteor mungkin sedang meluncur sangat cepat menuju permukaan Bumi. Untungnya atmosfer Bumi terdiri dari beberapa lapisan, dari eksosfer hingga mesosfer berperan penting dalam menghalau batu-batu angkasa jatuh ke planet biru ini. Seumur hidup, baru kali ini saya melihat meteor jatuh secara langsung. Betapa beruntungnya diri ini.

***

Dalam suasana riang dan bahagia melihat bintang jatuh, saya berniat untuk tetap terjaga hingga pagi hari. Beruntung cuaca malam ini cerah, saya bergegas mencari titik terbaik untuk memotret bintang. Ketika yang lain menikmati sejuknya malam dengan karaoke bersama, saya menjauhi area perkemahan untuk mencari area gelap. Lampu kilat ponsel menjadi senter, begitu pula jam tangan saya. Meski dengan celana putih, bodo amat deh kotor yang penting momen ini harus terkenang dalam lensa.

Di sisi timur perkemahan, saya bisa memotret milky way, namun terhalang pohon dan cahaya perkemahan

Gubuk penyimpanan bahan pertanian dengan latar langit temaram

Saya membelah area perkebunan dengan hati-hati. Jalan setapak ini terbuat dari susunan batu cadas dengan kolong selokan di kedua sisinya. Di areal perkebunan, tanah sangat lembek dan berongga. Kalau-kalau saya menapak di atas tanah, bisa jadi kaki terhisap tanah karena saking gemburnya lahan.

Ponsel siap. Daya baterai masih sangat cukup. Bank daya hadiah pembelian ponsel juga sudah siaga dengan daya penuh. Saya menjepit ponsel pada penjepit tripod kecil itu. Bluetooth menyala, saya bisa kendalikan rana dari jam tangan maupun clicker yang ada pada tripod. Paling susah dari memotret bintang di daerah ini adalah medan yang tidak cukup datar untuk menempatkan tripod. Sesekali tripod oleng dan ponsel terbanting, untuk tanahnya lembek. Agar tegak, saya tancapkan tripod pada gundukan tanah, bersebelahan dengan sayur yang sedang ditanam warga.

'Oke, kita atur pengambilannya selama lima menit,' saya mengatur timer 5 menit pada jam tangan. Ponsel merekam gambar dalam waktu selama itu.

Salah satu metode saya melihat posisi galaksi Bima Sakti (Milky Way)

Ada triliuan bintang menjadi bukti nyata ke-Esa-an Tuhan

Potret langit sebelum saya mencocokkan lokasi galaksi Bima Sakti dengan aplikasi Stellarium

Di tengah proses pengambilan gambar, tak banyak yang bisa saya lakukan selain bengong melihat angkasa. Angin berhembus disambut suara jangkrik dan serangga malam lainnya. Ketika manusia banyak terlelap dalam peraduan, mereka justru bangun menghidupkan suasana malam. Membuat saya yang sedang berdiri sendiri di tengah antah berantah Magelang barat tidak begitu kesepian. Meski mata manusia tak bisa secanggih lensa dalam menangkap cahaya bintang, jutaan bahkan miliaran titik-titik cahaya masih bisa terlihat. Di sisi barat, sabuk galaksi Bima Sakti terlihat bagai gumpalan busa yang menyelimuti angkasa. Ya, gugusan bintang ini melingkar dari ufuk barat ke timur, dari ujung cakrawala ke ujung cakrawala lainnya. Indah sekali.

Melihat angkasan menjadi ajang saya memvalidasi eksistensi diri ini di Dunia

Sayang sekali tidak semua orang terbiasa termenung sembari menikmati ciptaan Tuhan

Cekrek...

Ponsel memroses gambar yang diambil dalam 5 menit. Di sela-sela pemotretan, sesekali saya melihat aplikasi Stellarium guna melihat posisi pasti letak bintang-bintang. Saya juga mencocokkan gugus bintang yang terlihat dengan rasi bintang yang tertera pada layar. Bisa dibayangkan bagaimana manusia masa lalu dalam melakukan navigasi di malam hari: bermodal bintang dan penerawangan angkasa.

Gubuk tempat saya singgah selama dua jam lebih

Untuk mengetahui bahwa pemotretan telah selesai, saya gunakan timer. Suara rana ponsel kadang tidak begitu terdengar oleh saya

Sebuah gubuk dengan sumur di sebelahnya tampak ngeri. Saya jadi terbayang salah satu film horor Indonesia dimana kepala mayat menyembul dari sumur. Tapi demi foto langit nan epik, saya abaikan fantasi horor itu. Atap gubuk ini menggunakan mika, cocok untuk memotret angkasa. Saya letakkan ponsel di antara sekat genteng, tepat menghadap Bima Sakti. Pemotretan dimulai lagi.

Bisa dibayangkan betapa hebatnya penciptaan alam semesta. Saya bukanlah orang yang suka mendalami ilmu kosmologi, namun saya tetap mengagumi ciptaan Yang Maha Esa. Dari ledakan besar, debu kosmik memadat membentuk planet. Selama jutaan tahun Bumi yang semula bola panas membuat uap dan menghasilkan air, membanjiri setiap dataran rendah dengan air. Lalu di sebagian dataran yang lebih tinggi menghijau, pepohonan tumbuh. Kehidupan dimulai ketika ekosistem penyangga kehidupan sudah siap: air, sorot matahari, dan udara. Selama jutaan tahun pula kehidupan di Dunia sangat seimbang, hingga akhirnya homo sapiens sebagai salah satu spesies mendominasi Dunia, merusak alam demi keuntungan semata. Lingkungan kita memang sedang sakit, sangat sakit. Lebih menyakitkan lagi saya hanya jadi penonton karena tidak mampu berbuat apa-apa dengan kapasitas saat ini. Hufft...

Cekrek...

Gambar baru tertangkap. Sangat indah. Mengingat ada jutaan bintang dan planet di luar sana membuat saya merinding di tengah serbuan hawa dingin. Betapa hebatnya penciptaan alam semesta meski ini hanyalah satu dari sekian ciptaan Tuhan yang perlu disadari untuk dikagumi. Dari hal yang kecil seperti DNA, RNA, bagian-bagian tubuh makhluk hidup, hingga objek langit seperti debu kosmik dan protoplanet. Sangat mindblowing. Malam ini saya habiskan waktu untuk berkontemplasi soal eksistensi saya di Dunia. Di sisi lain, saya menyadari bahwa masalah hidup yang saya alami hanyalah satu dari sekian triliun cerita kompleks yang ada di Dunia. Masalah hidup saya sepele, dan Tuhan telah merangkai cerita saya bersisian dengan ribuan cerita lainnya.

Duh Gusti, tolong bantu Hamba untuk senantiasa menyadari ke-Esa-an-Mu.

Hasil pemotretan dengan mode Pro cenderung berwana keunguan

Debu kosmik, bintang, planet, dan objek antariksa lainnya bikin saya kagum atas penciptaan Dunia

Dipotret menggunakan mode Pro, ISO 50, dan pengambilan selama 32 detik

Komandan Udin membagikan potret karyanya pada saya yang notabene tidak terpikir untuk foto begini, hehe

Potret galaksi dari ponsel Redmi Note 8

Pemotretan menggunakan mode Pro pada ponsel Xiaomi

Kalau tidak berguncang, tentu hasil foto ini akan jauh lebih epik

Dini hari, para peserta acara sudah terlelap di dalam tenda

Kesalahan saya sewaktu kemari adalah lupa bawa kantong tidur

Masih pagi dan para petani sudah siap menggarap kebun mereka

Area lereng Sumbing terdiri dari punuk dipisah jurang

Lanskap perkebunan arah pandang ke timur

Lanskap perkebunan sayur khas Magelang barat

Muka bantal, namun saya tetap coba mandiri memotret diri sendiri berlatar Gunung Sumbing

Saya pulang meninggalkan acara organisasi lebih awal, disambut kabut tebal sepanjang perjalanan

Selamat tinggal Magelang barat. Lain kali kita bertemu lagi!

Cuma seorang pejalan yang gemar memaknai hubungan sosial.

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.