Couvee: Buat Nongki atau Nugas, Sama-sama Oke

Suasananya kondusif untuk mengejar progres studi atau sekadar sosialisasi.

"Tinggalin aja, jangan dikunci stang ya mas," saya memarkirkan motor di trotoar. Tidak patut memang, tapi mau bagaimana lagi. Kedai ini tidak memiliki ruang parkir mesti tentu tahu kalau pelanggannya akan membawa kendaraan pribadi.

Meski sempat merasakan rintik hujan, rupanya Jogja tidak jadi hujan. Belakangan ini langit mendung menghiasi angkasa hampir dua puluh empat jam. Setidaknya hanya di pagi hari saja saya bisa melihat di mana posisi matahari berada. Pembentukan double vortex di wilayah timur Samudera Hindia menjadi sebab mengapa tiap hari cuaca kelabu sepanjang hari belakangan ini.

Kascring...

Lonceng pintu berbunyi, namun tidak ada satu pun pelanggan menatap saya. Barista pun sedang sibuk-sibuknya meracik kopi pesanan daring dan minum di tempat. Kafe tempat saya berdiri kali ini merupakan kedai favorit rekan saya semasa kuliah, Mas Elvan namanya. Baginya, dekorasi kafe yang minimalis membuatnya bias fokus mengerjakan tugas perkuliahan. Belum lagi beragam sajian kopi lengkap terpajang di menu.

Tidak sedikit pelanggan yang pesan bungkus dari Couvee

Saya mengecek lantai 2, sama penuhnya dengan lantai dasar. Setiap sudut kafe dipenuhi muda-mudi yang sibuk memelototi laptop mereka. Beberapa ada yang membawa buku catatan atau lembar fotokopi dengan coretan pulpen. Mungkin bimbingan skripsi. Biasanya kafe-kafe di Jogja memang dipenuhi oleh mahasiswa tingkat akhir yang mencoba tidak putus asa dengan progres mereka.

Hanya ada beberapa bangku tersisa di meja tinggi ruangan yang langsung menghadap jalanan.

"Eh Jun, dah sampe aja," Ifan datang dengan kaos krem yang tidak asing. Oh biasa dikenakan Giant pada kartun Doraemon. "Kesel banget gue sama Trans Solo, muternya jauh," sambungnya.

Dengan memandangi dekorasi, kadang ide terlintas dalam pikiran

Deretan bangku yang sama sekali tidak mengalami perubahan di kala pandemi

"Kenapa emang?" sebagai orang yang mengajaknya city sightseeing dengan bus, saya perlu tahu keluhannya meski bukan CS Teman Bus.

"Gue naik bus koridor 2 ngarahnya ke bandara. Padahal udah naik dari Halte Kasih Ibu," saya mengangguk setengah paham. Mungkin Ifan salah naik trayek yang dimaksud karena di Solo, halte biasanya dibikin berpasangan untuk dua arah. Misal Halte Kasih Ibu, ada Kasih Ibu 1 dan Kasih Ibu 2. Apalagi Ia tidak menggunakan aplikasi resmi sewaktu navigasi. Hmm, entahlah.

Muffin panas dan segelas red velvet

Necta hot pesanan Idan

"Tapi wajar sih kalo elu bingung Fan, aplikasi Teman Bus jelek banget sekarang UInya. Mungkin pengembang sama sekali enggak mikirin dampaknya ke para pengguna," timpal saya kesal sembari menunjukkan perombakan drastis pada UI aplikasi buatan Kemenhub itu.

Di Couvee, saya memesan menu yang sama: red velvet latte. Mau bagaimana lagi, saya ditakdirkan tidak kuat ngopi. Sedikit lapar, kue muffin juga saya pesan dan masih dalam keadaan panas baru keluar dari oven.

"Gimana, jadi ke Jakarta?" saya meletakkan gelas kopi di samping nampan kertas, menatanya dengan dekorasi kafe yang tersedia. Boro-boro terlihat ciamik, justru terkesan norak.

Setiap meja penuh dengan pelanggan dan gawai mereka

Setelah enam tahun merantau ke Jogja, tampaknya saya perlu mengakhiri petualangan saya di kota ini. Keputusan ini mungkin terasa berat, tapi bekerja di kota yang UMRnya segitu-gitu aja juga tidak mampu mengangkat taraf kesejahteraan diri sendiri. Apadaya. Untungnya tidak hanya saya yang ingin merantau ke Jakarta, ada Ifan juga. Beberapa kawan lain juga sudah di Jakarta, mungkin kami bisa bertemu di sana. Ya walau Jakarta itu bukan kota yang bisa dijangkau satu - dua jam saja.

Tamu utama yang ditunggu-tunggu datang: Hilda, sahabat kami yang memilih mengadu nasib di Jakarta. Setelah sekian lama tidak ke Jogja, Ia singgah walau hanya tiga hari. Tentu saja kami juga akan menyempatkan diri untuk bertemu dengannya walau satu dua jam saja. Malam ini kami saling bertukar cerita, menanyakan kabar meski bisa dilihat dari pembaruan Instagram. Tapi rasanya selalu beda antara berkabar via gawai dengan obrolan langsung. Gestur dan intonasi menghangatkan suasana. Haru dan gelak tawa tak henti-hentinya bergema. Untung saja pelanggan lain tidak terganggu suara kami.

Sayang sekali tawa ceria harus berakhir.

"Gue duluan ya gengs, udah ditungguin ojol nih," Hilda menjinjing oleh-oleh di kedua tangannya. Ditambah ransel di belakang, mesti repot untuk membawanya kesana-kemari.

Sadar kamera bagian 1

Sadar kamera bagian 2

Di luar, pandemi makin menggila. Angka kasus positif tes yang ditemukan meningkat drastis dalam hitungan minggu saja. Varian delta dituding jadi penyebabnya. Oleh karenanya, kami sepakat memperketat protokol kesehatan selagi bertemu. Tidak ada lagi momen melepas masker ketika bicara, atau duduk terlalu dekat meski kami bersahabat. Memang benar pandemi mengubah kebiasaan kita, dan semoga kami bertahan hingga semuanya mereda.