Menyapa BRT Pertama di Magelang Raya
"Parkir mriki mawon. Mboten enten sing nagih arta (Parkir di sini aja. Nggak ada yang menagih uang parkir)," Bapak pun pelan-pelan memundurkan gerobak ini di bawah pohon. Gerobak adalah sebutan kami untuk mobil era-80an yang dimiliki Bapak. Sederhana memang, tapi ya sudahlah yang penting fungsinya bisa memindahkan kami sekeluarga ke tempat lain.
![]() |
Omong-omong soal gerobak, mobil ini cukup berkesan pada Februari 2019 lalu. Waktu itu perayaan wisuda saya. Berhubung sudah tidak ngekos di Jogja, kami sekeluarga berangkat dari rumah hingga masuk ke wilayah UGM. Di tengah lapangan Grha Sabha Pramana, gerobak ini parkir. Dan sejauh mata memandang, mobil-mobil mewah terparkir. Dari Avanza, Ertiga, Livina, sampai Pajero. Sejenak mental saya ciut karena merasa jadi satu-satunya mahasiswa kelas bawah di UGM. Bahkan sebelumnya saya memang sudah menduga akan begini, "Nyarter mobil mawon po? Kula gadhah arta kok, asal Bapak saget nyupire (Menyewa mobil saja gimana? Saya punya uangnya kok, asal Bapak bisa menyetirnya)," dan tentu saja mungkin pernyataan ini menyakitkan bagi beliau. 🙃
"Rapopo kok Han. Kabeh mobil ning kene yo paling kreditan (Nggak papa kok Han. Semua mobil di sini paling kreditan)," semangat Budhe pada Ibu saya. Ya sudahlah. Toh kenyataannya saya memang mahasiswa miskin di UGM. Kalau tidak ada subsidi lewat beasiswa, mungkin saja saya tak menyandang gelar S.Sos. 😂
Malah curhat. 🙄
![]() |
Terminal Borobudur pada tengah hari |
![]() |
Angkutan kota milik swasta beroperasi antara Salaman - Borobudur - Muntilan PP |
![]() |
Halte Terminal Borobudur dipakai sesi foto para kawula muda |
***
Tiga bus dengan livery merah cerah itu terparkir sejajar menyerong. Terminal Borobudur adalah tempat kami berada saat ini. Pada terminal usang inilah, perjalanan kami menjajal BRT Trans Jateng koridor 5 akan dimulai. Layanan bus rapid transit (BRT) pertama di Magelang Raya ini melayani lintas Borobudur - Kutoarjo. Dengan jarak tempuh 53 kilometer, untuk sekali perjalanan dengan BRT ini hanya seharga Rp. 4.000,- saja. Murah banget bukan? Untuk saat ini pembelian tiket hanya dilayani di dalam bus (saat bergerak) dan tunai saja. Walau menggunakan aplikasi serupa layanan Trans Jogja, BRT Trans Jateng melayani trayek dengan jarak menengah dan melewati berbagai kondisi medan. Ketiadaan sinyal untuk membaca kartu e-money jadi kendala bila melewati Menoreh.
Dan kali ini saya mengajak kedua orang tua yang kebetulan juga tidak ada agenda di akhir pekan. Tumben. Biasanya ibu saya akan ikut rapat organisasi dan bapak ikut kegiatan di kampung. Karena tiket yang juga murah, mari boyong orang tua menjajal BRT. Supaya nanti muncul percakapan dari mulut ke mulut soal pengalaman naik BRT ini. Siapa tahu pemangku kebijakan akan menambah rute lagi di Magelang Raya. Siapa tahu.
![]() |
Tiga bus harus selalu terparkir di Terminal Borobudur dan Terminal Kutoarjo (siaga), sedang delapan lainnya bergerak |
![]() |
Halte Terminal Borobudur. Seadanya namun aksesibel |
"Berangkat 10 menit lagi mas, jam 11:20," jawab kondektur yang sedang berbincang dengan penjaga terminal. Okelah, ada waktu untuk memotret kondisi terminal usang ini.
Beberapa muda-mudi dengan pakaian fancy berfoto di halte dengan membawa besek. Entah konsep foto aneh macam apa yang mereka pakai. Ibu saya ajak untuk berfoto. Untung saja beliau mau.
Beberapa angkutan umum dengan jurusan Terminal Borobudur datang dan pergi. Ada yang menuju ke Salaman atau Muntilan (warna putih biru), ada pula yang ke Kota (warna merah biru) baik melalui Blondo maupun Kalinegoro. Sebenarnya saya sendiri sudah memetakan beberapa rute angkot di Magelang Raya. Sayangnya belum semua terdata. Rute ini ke depannya jadi salah satu acuan untuk pengembangan transportasi umum di Magelang, ya misal saya jadi orang pentingnya, hehe.
Bus yang sedari tadi mesinnya menyala pun segera bergerak mundur. Kami tetap menunggu di halte sampai bus berhenti sempurna di ruang petak pemberhentian. Sebelum masuk, pramugari lebih dulu mengecek suhu tubuh saya. Bila lolos, cairan gel pembersih tangan disemprotkan. "Di dahi aja mbak," sahut saya. Ibu dan Bapak saya pun juga meminta dicek di dahi karena memang begitu seharusnya, bukan di tangan.
![]() |
Para penumpang dicek suhu tubuh dan diberikan cairan penyanitasi tangan |
![]() |
Ibu saya duduk di belakang |
![]() |
Informasi rute dan halte yang dilewati, seadanya namun cukup informatif dan akan dikembangkan seiring bertambahnya halte baru |
"Silakan duduk. Untuk pria duduk di barisan depan, wanita di belakang ya," arah pramugari. Yah, saya dan ibu duduk terpisah. Padahal pengen banyak ngobrol selama perjalanan.
Bus berangkat tepat pukul 11:20 dari Terminal Borobudur. Cuaca sangat cerah menemani perjalanan kami. Pemberhentian pertama, Halte Koramil Borobudur. Meski disebut 'halte', sebenarnya bus stop yang satu ini hanya plang pemberhentian di trotoar saja. Belum ada halte fisik dibangun karena kawasan Borobudur baru dipermak dengan trotoar baru.
Bus melaju konstan dengan kecepatan 60 kilometer per jam. Kenapa tidak lebih cepat lagi? Karena ini BRT, waktu adalah komponen penting dalam perjalanan. Headway dan timetable BRT sudah jelas, sudah baku sehingga memang harus berangkat dan tiba pada waktu tertentu, meski sebenarnya banyak faktor yang bisa berpengaruh di jalan. Seperti di tanjakan Salaman ini. Truk-truk besar pembawa material dari jenis truk bak hingga kontainer silih berganti melalui jalan propinsi lintas Magelang - Purworejo. Dan di depan bus ini, sebuah truk mengalami pecah ban. Alhasil lalu lintas bergantian dari kedua arah. Meski sedikit terhambat, bus kemudian dipacu dengan kecepatan 65 km/jam.
![]() |
Bapak menikmati lanskap pemandangan alam di sepanjang jalan yang sangat memanjakan mata, termasuk upaya reboisasi di Magelang ini |
Pip, pipip. Pip, pipip.
Alarm tanda bus melewati batas kecepatan berbunyi. Kecepatan yang dipacu sang supir di angka 70 km/jam. Ia pun segera memelankan bus di angka 65 km/jam. Alarm berhenti berbunyi.
Sepanjang perjalanan, lanskap alam meneduhkan pandangan. Di Salaman, sawah dan kebun sayur berlatar Menoreh memanjakan mata. Belum lagi birunya langit, membuat perjalanan komuter dengan BRT bak naik bus rekreasi. Sungai Tangsi di sisi kanan membuat jarak pandang terbuka lebar. Memasuki Purworejo, jalanan mulai naik-turun meliuk-liuk. Jalan antar kabupaten ini memang membelah perbukitan Menoreh. Sesekali bus berpapasan dengan unit Trans Jateng lain dari arah berlawanan. Ketimbang membunyikan klakson, sang supir lebih memilih menunjukkan jari hati ala Korea (손가락 하트). Buset. Ada 14 bus yang beroperasi di koridor ini.
![]() |
Terdengar bunyi otomatis (robot) begitu akan memasuki halte |
![]() |
Jalanan naik-turun meliuk di sepanjang trayek ketika membelah Menoreh |
Bus berhenti. Seorang penumpang pelajar hanya diminta membayar Rp. 2.000,- saja, turun di Purworejo kota katanya. Ada pula penumpang lain di belakangnya, "Turun dimana bu?" tutur pramugari dengan sangat santun. Di depan bus, terlihat para pekerja sibuk membangun halte permanen sederhana untuk BRT koridor 5 ini. Saat ini jarak antar halte memang relatif jauh sehingga okupansi penumpangnya kurang. Maka keputusannya supaya trayek ini makin ramai pengguna, dibangun halte baru. Bus stop yang sudah ada pun di-upgrade supaya memiliki halte. Agar penumpang teduh dan nyaman sewaktu menunggu bus. Namun sepertinya, okupansi bus ini akan maksimal ketika aturan protokol kesehatan semasa pandemi dilonggarkan, atau musim para pelajar boleh bersekolah lagi.
![]() |
Penumpang pelajar dikenakan tarif Rp. 2.000,- saja |
![]() |
Pembangunan halte baru dan peningkatan bus stop yang ada terlihat di sepanjang perjalanan |
Ohiya, sewaktu bus berjalan, sesekali saya cek aplikasi Si Anteng. Aplikasi yang dikembangkan Dishub Jateng ini dapat melacak posisi bus secara realtime. Memang dalam sistem BRT Trans Jateng, posisi bus dapat dipantau secara langsung dan diawasi oleh Dishub Jateng di Semarang. Rupanya akurat. Tiap dua - lima detik, posisi bus berubah tergantung sinyal. Begitu pula posisi bus lain yang berpapasan. Menarik. Di aplikasi Si Anteng juga terdapat fitur jarak kita ke bus terdekat, posisi halte terdekat, estimasi waktu bus berangkat dan tiba di halte, juga AR untuk mengarahkan pengguna pada halte terdekat. Menarik untuk layanan BRT kelas provinsi.
![]() |
Informasi bus terdekat secara waktu nyata |
![]() |
Posisi bus ditunjukkan pada peta secara akurat |
Saat melewati Jalan Nasional 3, saya membayangkan bagaimana kalau rel kereta api lintas Kutoarjo - Purworejo kembali diaktifkan sembari dielektrifikasi. Ya, ini untuk menyambut proses elektrifikasi petak Yogyakarta (YK) - Kutoarjo (KTA) yang akan menggantikan Prambanan Ekspres (Prameks) dengan KRL. Supaya ke depannya warga Purworejo kota jikalau ingin keluar kota cukup naik kereta pengumpan ke stasiun utama Kutoarjo. Moga saja terjadi.
Bus memasuki Terminal Tipe C Kutoarjo. Jam menunjukkan pukul 12:45, durasi perjalanan benar-benar dijaga 85 menit rupanya. Total ada 13 penumpang naik - turun selama perjalanan. Saya yakin sih hanya kami bertiga yang benar-benar lakukan perjalanan penuh dari Borobudur ke Kutoarjo. Kami turun, segera mencari masjid.
![]() |
Dua menit sebelum bus memasuki Halte Terminal Kutoarjo (cek jam di kiri atas) |
![]() |
Begitu tiba di Terminal Kutoarjo, bus segera bersiaga |
![]() |
Kondisi Terminal Tipe C Kutoarjo dengan Halte Trans Jateng di sisi utara |
***
Sayang sekali tidak ada penjual dawet ireng di Kutoarjo. Kami yang sebelumnya tidak berencana belanja apapun mendadak ingin menyantap kuliner khas Purworejo ini. "Nek mau ning dalan akeh Jo (Kalau tadi di sepanjang jalan banyak Jo)," tampaknya Ibu saya jeli melihat penjaja dawet ireng selama duduk di belakang, sayangnya jauh dari halte. Ya sudah, kami urung membeli dawet ireng meski sudah berjalan 900 meteran dari halte ke pasar setempat.
Untuk perjalanan pulang, kami ambil bus keberangkatan pukul 14:40. Dengan estimasi 85 menit, harusnya kami tiba di Terminal Borobudur pada pukul 16:05 WIB. Di waktu ini, cukuplah untuk mencari takjil berbuka. Bus bernagkat rupanya melewati jalan belakang Pasar Kutoarjo. Saya pikir akan melewati rute reverse dengan tetap menuju Stasiun Kutoarjo. Tapi ya buat apa juga wong jarak ke stasiun cuma sepelemparan kolor. 😂
![]() |
Halte Trans Jateng distandarkan untuk dibuat seperti ini |
![]() |
Pramugara bus sigap membantu para penumpang |
![]() |
Tiketnya sangat murah untuk perjalanan sejauh 53 kilometer |
![]() |
Catatan keberangkatan dan waktu tiba yang dibuat supir di dasbor kemudi |
![]() |
Identitas pengemudi tercantum jelas, warga Purworejo dan Magelang dipekerjakan |
Dan sepanjang perjalanan, saya putuskan untuk tidur. Hawa sore hari dimana sorot matahari terhalang pohon-pohon tinggi Menoreh memang membuat teduh dan damai. Belum lagi dinginnya AC membuat perjalanan terasa nyaman. Tugas menghitung penumpang pun saya limpahkan ke Bapak. Ada 15 penumpang sepanjang perjalanan pulang.
***
"Persiapan memasuki Halte Terminus Terminal Borobudur. Kepada para penumpang silakan mempersiapkan diri. Jangan sampai ada barang tertinggal. Semoga selamat sampai tujuan dan sampai jumpa," ucap pramugara penuh kasih sembari tetap berpegangan pada hand grip. Waktu benar menunjukkan pukul 16:05 WIB. Akurat, hebat! Ketika bus kami parkir, ada satu bus lagi berangkat. Dan terus dengan pengaturan itu: tiga bus di Terminal Borobudur, tiga lainnya di Terminal Kutoarjo, sisanya aktif bergerak melayani penumpang.
![]() |
Bus tiba di Terminal Borobudur tepat pukul 16:05 WIB, dan ada bus yang akan berangkat |
Dengan mata berat, saya berpindah moda, kembali ke gerobak tua Bapak. Sampai jumpa Trans Jateng, semoga layananmu terus berkembang, khususnya di Magelang Raya.
Posting Komentar