'Ikeh-ikeh Kimochi' with Ma Men

Destinasi kuliner Jejepangan yang wajib dicoba!

Saya menyeruput sisa kuah terakhir. Rasanya pedas nikmat, namun tidak membuat tenggorokan panas atau gatal. Mungkin racikan cabai kering yang saya tambahkan dalam porsi yang cukup. Memang sudah sejak dulu saya bertekad untuk selalu menghabiskan makanan—setidaknya sejak SMP, ketika saya hidup berbagi lauk dengan anak-anak asrama. Apalagi setelah tahu bahwa sisa makanan juga berdampak pada krisis iklim, saya tetap konsisten menghabiskan makanan. Mangkuk kosong, saya meregangkan kedua telapak tangan, mematahkan leher, sembari menarik jeda sejenak menunggu makanan turun dari lambung ke usus. Hujan masih mengguyur Jogja dengan syahdunya. Februari 2021, saya memandang hampa bangku kosong di meja seberang. Kimochi Ramen di timur Lembah UGM ini pun tampak tenang dengan hanya saya dan sepasang kekasih di seberang meja.

***

Di meja itu, kali pertama saya mendatangi kedai ramen ini, bersama sahabat saya sejak SMP: Rofi. Waktu itu kami sedang pulang dari kampus jelang malam. Maklum dia sibuk pada komunitas kerohanian kampus sedang saya baru pulang kerja. Kami memang sering bertemu untuk makan malam bersama, itung-itung mengantar Rofi kembali ke asrama. September 2019, awalnya Ia mengajak saya ke kedai ramen di Jln. Monjali yang terkenal sugoi dan ramah di kantong. Sayang kedai itu buka pada siang hari, dan tentu saja saya sibuk kerja.

"Rekomendasi lu apaan Pi?" baru pertama kali makan ramen, tentu saja lebih baik mendengarkan petuah yang sudah lebih dulu menyantap di lokasi ini.

"Gue saranin elu ambil yang Kanzen deh. Pedes, mesti suka. Pernah gue coba sama temen gue enak kok, tapi kali ini gue ambil Chisu," terangnya.

"Oke deh. Mbak, ambil Kanzen Ramen yang large ya mbak. Minumnya es teh."

Kanzen dan Chisu ramen yang kami pesan pada 24 September 2019

Menu tercatat, kami makan di tempat. Ada 6 meja tersedia dengan kapasitas 24 orang. Bayarnya belakangan. Kursi tidak banyak terisi karena kami pelanggan terakhir sebelum kedai tutup pukul 8 malam. Mungkin pelayan sedikit bete, muka suntuk berat terpancar dari wajahnya.

Sepuluh menit perbincangan kami dijeda. Dua mangkuk ramen tersaji hangat. Kami berdua sama-sama beli porsi besar karena porsi sedang relatif tanggung. Selain itu, porsi besar juga membuat perbincangan kami kian panjang. Hanya ada sewadah kecil cabai kering merah di hadapan. Saya pikir akan ada irisan daun bawang yang dicacah pipih. Tampaknya resep ramen nggak begitu.

Pramusaji mencatat pesanan pelanggan, selama pandemi, terdapat pengurangan bangku


Sluruuuup...

Dua sumpit hitam menjadi saksi kelihaian saya dalam menyumpit ramen nan kenyal. Sendok bebek besar sudah siap sedia untuk mengaduk dan menyiduk kuah kari kental untuk menutup tiap suapan. Sesekali kuah saya aduk supaya karinya tetap terasa kental. Aneka rempah dalam satu suapan benar-benar menggelegar. Tanpa saya sadari, keju yang dijadikan topping sudah larut dalam kuah kari. Irisan daging ayam benar-benar lembut ditemani telur rebus yang juga empuk. Selembar nori diletakkan di sudut mangkuk. Bagian yang saya suka tentu saja irisan jamur kuping yang ketika digigit teksturnya renyah.

Saking nikmatnya Kanzen Ramen yang saya pesan, seporsi ramen habis dalam sekejap. Perut kenyang, secarik tisu membersihkan bibir saya. Gelas es teh yang sudah penuh dengan bulir embun itu tak juga bisa menyingkirkan sensasi kepedasan dengan segera. Sembari menanti hujan reda, kami habiskan waktu tersisa untuk kembali menyambung lidah yang sebelumnya sibuk mengecap rasa.

Lagi-lagi Kanzen ramen pada 27 Februari 2021

Keju mozarella meleleh bersama dengan kuah ramen, rasa asinnya pun bercampur


"Jadi, rencana lu kemana sehabis wisuda ini? Akhirnya udah deket sama garis finis," tanya saya sesumbar padanya.

Pancar wajahnya tampak yakin—yang pasti dia akan pulang ke kampung halamannya di barat sana. "Gue juga nggak tahu sih. Ngalir ajalah," tentu saja Ia punya rencana lain yang saya tidak perlu tahu.

Hujan mereda. Bau aspal panas yang mendingin karena air menusuk hidung. Kami menutup makan malam dengan bergegas ke kasir. Untuk menu yang saya pesan, total habis Rp. 28.000,- saja. Terhitung mahal bagi karyawan baru dengan upah Jogja memang. Namun sesekali tak apalah, karena rasa dan momen lebih utama.

***

Twinggg...

Pemberitahuan muncul di layar, terpampang jawaban hangat seorang sahabat mengabarkan dari ujung Dunia. Tampaknya saya yang hidup dengan orientasi pertemanan akan mengenang setiap cerita yang dilalui bersama kawan dan sahabat.

Rasa ramen ini masih sama meski kali ini yang ketiga kalinya. Satu hal yang berbeda, lawan bicara saya di kedai tak lagi ada. Ya sudahlah, memang berat tinggal di kota tempat saya menemukan cerita baru, menjadi saksi orang-orang datang dan pergi.

Sahabat saya telah membuat lompatan besar, berproses pada tahapan kehidupan berikutnya. Kini dia sudah berbahagia dengan keluarga kecilnya nun jauh di sana. Meski saya sudah tahu bahwa jarak fisik akan berdampak pada persahabatan satu dasawarsa kami, semoga hubungan kami baik-baik saja.