Grombyang!
Saya benar-benar kesal. Belum genap 5 menit terkena ranjau di jalan, lagi-lagi lubang besar menganga merontokkan motor saya. Sejak 2017 pertama kali saya mengeksplorasi kawasan Magelang barat, kondisi jalan lintas Magelang - Bandongan - Kajoran memang hancur parah. Padahal kepala daerah berganti, namun kondisi infrastruktur dasarnya masih begini. Lalu lintas kendaraan tergolong ramai. Tampaknya, bengkel di sekitaran sini bakalan terus laris kalau pemdanya malas memperbaiki jalan.
 |
|
Hari ini (11/4) saya memenuhi janji untuk meramaikan pelesir yang diundang oleh Halimah. Rekan saya di garuksampah ini sudah lama sekali ingin menyambangi Curug Sijengglung, meski hanya sekadar kekeceh di sana. Ia memang seorang pecinta alam dan hobi pelesir luar ruangan. Berbagai pantai Ia sambangi, begitu pula gunung dan bukit Ia daki. Maka wajar jika Ia cemburu ketika Rio, sahabat saya di gerakan yang sama, memosting foto air terjun ini. Rio sendiri juga pecinta alam, dan sudah banyak puncak yang Ia taklukkan. Cuma Ia kurang suka memostingnya di media sosial.
'Nggone cedhak ro omahku (Tempatnya dekat rumahku),' balas Rio di percakapan grup. Langsung saja, Halimah tetapkan tanggal untuk bisa pelesir bersama. Dan 11 April tanggal yang dipilih, bertepatan dengan hari jadi Magelang Raya ke-1115 tahun.
***
Saya tiba di rumah Rio. Rupanya rekan-rekan yang lain sudah tiba lebih dulu. Istirahat, Rio segera menyediakan aneka klethik-klethik dari kue bolu sampai keripik singkong. Kami bertujuh bercengkerama di balkon, sedang Parlan sibuk meracik teh hitam dengan jeruk. Walau sudah tengah hari, bersih dan sejuknya udara di ketinggian 892 meter bikin betah berlama-lama di balkon.
 |
Ketika hulu masih asri dengan pepohonan, maka kondisi mata air akan terjaga |
 |
Kondisi sungai sangat asri di dekat mata air, sayangnya tercemar begitu di bawah |
Pukul 12:30, kami beranjak. Dari sepuluh orang, ada tujuh sepeda motor bergerak. Dari Kantor Desa Krumpakan, kami bergerak ke arah barat. Jalan yang semula aspal, berganti cor beton dengan celah bebatuan di tengahnya. Jalanan menanjak tajam, menukik curam, dan berbelok ekstrem berpagar jurang. Adanya konvoi motor ini pun menarik perhatian warga sekitar. Memang tujuan kami dulunya adalah kawasan wisata yang dikelola oleh warga setempat, namun tidak cukup populer karena jalan aksesnya pun susah. Begitu memasuki kawasan wana wisata yang ditandai dengan adanya gapura bambu, aspal berganti bebatuan tajam dengan jalanan yang terjal. Rerumputan yang terus meninggi di sepanjang jalur dan bangunan toilet baru yang mulai ditumbuhi lumut menjadi penanda bahwa kawasan ini belum begitu dijamah orang, dan semoga tetap asri adanya.
 |
Bertahun-tahun, air memecah bebatuan di Curug Sijengglung |
 |
Ibu-ibu perawat kebun mengobrol santai dengan Arip |
Di tengah jalan, kami sempat berpapasan dengan mobil semi-kargo. Meski jalan sempit, jalur ini memang masih bisa dilewati mobil dengan ekstra hati-hati. Kami bergantian lewat. Karena belum terbiasa melewati jalanan curam, hampir saja Dimas terjungkal bersama motor Halimah yang Ia kendarai. Tibalah kami di Curug Sijengglung. Ada seorang ibu yang baru saja selesai bekerja merawat tanaman dekorasi kebun di area wana wisata ini. Arip langsung mengajaknya basa-basi.
Beliau menyambut kami selaiknya tamu, dan bercerita sekilas mengenai wana wisata ini. Saya sih lebih memilih memotret suasana sekitar ketimbang nimbrung dalam obrolan.
 |
Aida, Fajar, dan Halimah |
Curug Sijengglung merupakan satu dari sekian puluh sumber mata air yang kondisinya masih baik di Kabupaten Magelang. Terletak di lereng Gunung Potorono, curug ini menjadi salah satu hulu bagi Kali Progo. Sebagai daya tarik utama di Wana Wisata Sijengglung, pengelolaan area ini diserahkan oleh Perum Perhutani pada Desa Krumpakan dengan pengembangan menggunakan Dana Desa. Namun ketika kami menyambangi tempat ini, sama sekali tidak ada pemungutan tiket masuk. Warga sekitar pun tetap pada aktivitas utama mereka, yakni bertani. Tantangan pengembangan pariwisata di sekitar sini selain mengenai pengangkutan sampah, jalur aksesnya memang cukup sulit.
 |
Curug Sijengglung jadi salah satu sumber mata air vital di wilayah Magelang barat |
Fajar dan Halimah duduk-duduk santai di formasi bebatuan. Sedang Bang Willy tentu saja bermain dengan DSLR-nya. Rahmi yang sedari tadi menenteng gitar kecil, mulai menjentikkan jari pada senar-senar gitar—menciptakan nada menggema di penjuru hutan. Namun tetap saja gemericik air tetap mendominasi.
Suasananya tenang. Sungguh tenang. Udara sejuk, kelembaban yang sempurna. Rasanya betah untuk mendatangi tempat ini untuk sekadar berkontemplasi, atau bermeditasi. Duduk bersila di pinggir sungai mungkin akan saya lakukan bila kemari sendiri.
 |
Arip berpose di depan air terjun |
 |
Parlan dan Dimas |
***
Usai dari curug, kami memutuskan menyambangi Majalengka-nya Magelang. Majalengka? Magelang? Bukannya Majalengka ada di Jawa Barat ya?
Jadi di desa sebelah, ada satu destinasi yang semula hanya perkebunan biasa milik warga, disulap menjadi tempat wisata pemandangan alam. Pemandangan di tempat ini menarik wisatawan lokal karena mirip dengan Terasering Panyaweuyan di Majelangka. Terletak di Dusun Nampan, Desa Sukomakmur, Kec. Kajoran, terasering bawang ini populer karena berlatar Gunung Sumbing. Bila cuacanya cerah, pengunjung bisa memotret kumpulan bukit dengan latar Puncak Sejati.
Jalan menuju lokasi ini sama seperti Magelang barat pada umumnya: jalan retak, berlubang, berkerikil hingga berpasir menjadi rintangan di jalan utama. Begitu memasuki jalan akses Desa Sukomakmur dengan patokan pertigaan Pasar Gatukan, jalan menjadi sempit dengan pinggiran aspal rusak. Beberapa retakan dan lubang juga tersebar merata sepanjang jalan. Tidak disarankan untuk mengendarai roda empat menuju lokasi ini.
 |
Para wisatawan pulang dari Desa Sukomakmur |
"Lah nek lewat kene wis bola-bali aku Io (Lah kalo lewat sini aku udah berulang kali Io)," saya menyadari jalan ini sudah saya lewati berulang kali. Pertama, sendirian mengeksplorasi kawasan ini. Kedua, bersama sahabat saya Rofi menuju Bukit Jonggol. Beberapa kali kemudian saya menuju ke Bukit Jonggol untuk sejenak melepas penat melihat lanskap Magelang Raya.
Jalan ini juga menuju ke Nepal van Java. Wow, bisalah kapan-kapan melipir ke sana. Bedanya, di ujung pertigaan jalan, saya biasa ambil kiri dan Nepal ke kanan.
 |
Ada 7 motor dari 10 orang, tidak efisien memang |
 |
Warga sekitar memberi aba-aba untuk bergantian di tikungan curam ini |
Setelah masuk jalan desa Sukomakmur, jalur akses menyempit hanya bisa dilewati satu mobil saja. Maka akan repot bila ada dua mobil berpapasan, apalagi jalan ini berpagar jurang. Di beberapa bagian, jalanan naik-turun meliuk-liuk, berlumpur karena terkena longsoran, juga berlumut karena terlalu lembab dekat aliran sungai.
Kami tiba di Dusun Nampan. Walau terletak di ujung, rupanya ada ruang parkir roda empat. Beberapa warga menyambut kami di satu-satunya jalan akses kampung yang menanjak ekstrem. Untuk memasuki area ini, tiap pengunjung membayar tiket Rp. 5.000,- per kepala. Harga tiket belum termasuk parkir Rp. 2.000,- di tengah area kebun di atas.
Setelah membayar tiket, kami putuskan untuk ambil parkir paling dalam. Di jalan sempit ini, motor pengunjung antara yang ingin naik maupun turun dibuat bergiliran. Pengelola wisata memberikan aba-aba, supaya tidak terjadi kecelakaan. Karena repot juga kalau celaka di tempat terpencil ini.
 |
Terletak di ujung kabupaten, jalan di perkebunan ini sudah dibeton |
 |
Destinasi ini menjadi salah satu tujuan bagi muda-mudi |
Motor saya berusaha naik. Meski rakitan tahun 2014, skuter biru ini masih kuat untuk sampai di area parkir motor. Karena ada di tanah lunak, petugas parkir akan memberikan alas kayu pada standar motor supaya tidak menancap pada tanah.
Dan inilah Sukomakmur, Majalengka-nya Magelang. Perkebunan bawang terhampar dari ujung ke ujung. Di sisi barat, deretan pohon pinus menjadi pagar teritori kebun. Udara tentu saja sejuk, mengingat ketinggian tempat ini berada di 1.561 mdpl.
Alunan musik dangdut dari tempat parkir menggema. Burung-burung hitam yang entah apa namanya asik bermanuver di atas ladang. Para warga asik bercanda dengan segelas kopi hitam, sebatang rokok di tangan. Di sudut lain, terlihat beberapa petani sibuk menggarap ladang. Saya pikir sebentar lagi musim panen karena daun-daun bawang ini terlihat cukup tinggi. Atmosfer tempat ini memang begitu ramai, namun tetap saja menenangkan.
 |
Seorang petani kebun menanam bawang |
 |
Muda-mudi mengabadikan perjalanan dengan perangkat mereka |
 |
Bang Willy beraksi dengan kamera DSLR-nya meski baterai tersisa 2 bar saja |
 |
Awan kabut merangsek naik dari celah jurang |
 |
Bukit demi bukit terpisahkan jurang yang cukup ekstrem |
***
Tergolong wisata baru dengan fasilitas seadanya, lokasi ini sudah relatif ramai. Dari titik ini, saya bisa dengan jelas melihat Bukit Jonggol yang rupanya berjarak cukup dekat. Mungkin dulu ketika menyambangi Bukit Jonggol, saya tidak menyadari kalau tempat ini punya pemandangan yang tak kalah indah, dan baru viral belakangan ini.
Jalanan menanjak memang membuat lelah. Akan tetapi pemandangan yang tersaji di hadapan terlampau indah. "Jun, mbok fotokke aku (Jun, tolong fotoin dong)," ajak Halimah. Jangankan dia, saya yang jarang banget foto pun terbesit buat ambil 1-2 potret diri. Dan mengambil gambar sangat wajib. Muda-mudi di sini pun asik bergaya yang entah cocok dengan tema alam atau tidak. Satu-satunya yang haram di sini adalah meninggalkan jejak sampah.
 |
Di Sukomakmur, cuaca memang cepat berubah karena berada di ketinggian awan |
 |
Deretan terasering ini ditanami bawang |
 |
Aida dan Parlan saling berbagi cerita |
 |
Berpose dengan latar Gunung Sumbing |
 |
Langit terus berubah dari berkabut menjadi cerah, dan sebaliknya |
 |
Menikmati semilir angin di kaki gunung |
 |
Senja di sore hari pun terlihat bagus dari sini |
 |
Sesekali saya difoto, terlihat lebih gemuk sih |
 |
Awan kabut berulang kali menabrak kami dengan butiran air |
 |
Sesekali foto bersama |
 |
Gunung Sumbing adalah satu dari 7 gunung besar di Magelang Raya |
 |
Seorang warga turun dari bukit teratas melewati jalan yang sudah dicor beton |
 |
Entah bagaimana metodenya, Mi Watch secara spesifik memberikan informasi tekanan udara dan ketinggian lokasi saya saat ini |
Mungkin suatu hari saya akan kesini lagi, sendiri.