Blog ini sedang dalam masa pemeliharaan.

Menaklukkan Diri Sendiri di Goa Langse

Sebagai penderita fobia ketinggian, agenda penyegaran kali ini sangat menantang!

 "Tenan arep midun (Tetap akan turun)?" tanya saya serius pada Rio.

"Haiyo to (Iyalah)," sahutnya.

Saya menelan ludah. Rasanya sedikit bergidik melihat Rio dengan santainya bertengger di tepi tebing dengan satu tangan memegang teralis. Entah apa yang membuat saya mengiyakan keinginannya untuk menyambangi tempat sengeri ini.

***

Enam puluh menit yang lalu rasanya kami sedang bingung menentukan tujuan mau ngapain dan dimana hari ini. "Nek gelem yo munggah KRL sing jam 11:55, tur mesti ngantri wong wiken (Kalau mau ya naik KRL keberangkatan pukul 11:55, itu pun bakalan ngantre karena akhir pekan)," usul saya. Namun mendadak Rio muncul dengan ide petualangannya, "Nek ning goa sing ning Parangtritis kae gelem ra? Lokasine ning dhuwure Bukit Paralayang (Kalau ke goa di Parangtritsi itu mau nggak? Lokasinya di atas Bukit Paralayang)." Goa di atas bukit, he? Awalnya saya ragu, tapi berhubung saya juga akan mengisahkan kembali kejadian paranormal yang menimpa saya tahun lalu, mungkin bisa sih untuk sekadar riset lokasi.

Lima belas menit kemudian, kami sempatkan mampir minum es doger Balaiyasa Pengok. Lokasi ini cukup populer di Jogja sejak saya merantau ke kota ini pada 2015. Teduhnya pepohonan membuat siapa saja betah singgah untuk sekadar menyantap es pada bangku kecil.

Tiga puluh menit perjalanan menuju Parangtritis kami lalui dengan membelah belantara beton kota. Dari Lempuyangan hingga Prawirotaman, jalanan macet merata. Maklum libur panjang Paskah dan DIY memang akan menggenjot total industri pariwisatanya meskipun sempat heboh ada dua klaster penyebaran Covid-19 baru di Sleman. Rio sebagai pebalap motor masih bisa bergerak gesit diantara ribuan kendaraan yang berebut ruang untuk segera sampai tujuan. Tak lama, kami tiba di retribusi Parangtritis.

"Lewat njero kampung wae piye Io (Lewat perkampungan saja gimana)?" usul saya pada Rio. Ia menyanggupinya. Maklum, saya sedang tidak ingin berkontribusi pada perekonomian Bantul untuk saat ini.

Untuk memasuki area Parangtritis tanpa melalui Pos TPR (Tempat Pemungutan Retribusi) dapat dilakukan dengan melalui jalan dalam Dusun Bungkus. Dengan penampilan laiknya orang yang akan berziarah, kami melewati perkampungan dan keluar di calon jalan lintas pantai selatan. Dari sini, cukup bergerak ke timur kami akan bertemu lagi dengan Jln. Parangtritis.

Segera kami menuju lokasi di perbukitan atas. Sialnya, untuk memasuki kawasan perbukitan ini diharuskan membayar retribusi Rp. 5.000 per kepala. Misal tadi juga bayar TPR di depan, apakah pemungutan ini ilegal? Entahlah, seperti biasa DIY memang sarat akan korupsi.

Jalan menuju parkiran Goa Langse

Jalan akses setelah area parkir berupa jalan setapak belandaskan bebatuan karang

Jalan akses menuju Goa Langse berada di atas area parkir Bukit Paralayang menuju selatan. Sebelum berekspektasi tinggi dulu, jalan menuju lokasi goa sangat buruk. Benar saja karena Goa Langse sendiri bukanlah tempat wisata melainkan tujuan petilasan bagi penganut kepercayaan Kejawen. Ada juga tempat wisata baru dan sebuah resort yang baru dibuka menggunakan jalan akses yang sama. Tiba di ujung jalan, semen habis berganti jalan setapak bebatuan karang. Adanya serakan sampah menjadi bukti bahwa area ini cukup terjamah manusia. Gitu aja.

***

Pemandangan laut lepas dari puncak tebing

Rio segera mengabadikan momen melaui ponsel pintarnya

Nafsu duniawi dan ukhrowi

Beberapa sesajen yang ada di loaski

Goa Langse ada di 100 meter bawah kurang ini

Kembali lagi ke titik ini. Saya mencoba tenang, tidak terburu-buru, dan mulai menuruni anak tangga.

Sebagai penderita fobia ketinggian (akrofobia), menuruni tebing ini tentu butuh keberanian tersendiri. Bisa bertengger di bibir tebing saja butuh perhitungan terlebih dahulu, apalagi tertatih-taih di ujung jurang. 

Dengan santainya Rio bertengger di pinggir jurang
Ada 10 tangga yang akan dilewati untuk mencapai bawah

Rio melepas sarungnya agar tidak membahayakan pendakian serta penurunan

Proses naik dan turun menapaki bebatuan vertikal

Tangga kesembilan dari atas, atau kedua dari bawah

Jalan setapak tipis berpagar jurang

Bendera Indonesia berkibar di atas batu karang besar (Watu Semar)

Kawasan Goa Langse dimiliki oleh Paguyuban Purnomo Sidi dari Solo

"Mas kalo turun jalannya ke belakang," ujar seorang kuli proyek yang merupakan anggota Paguyuban Purnomo Sidi. Ia mengaku berasal dari Ungaran dan sedang mencoba menurunkan sak demi sak semen ke dasar. Iya, jalan setapak ini dijadikan satu-satunya lalu lintas material bahan bangunan, padahal kalau mau lebih mudah cukup menggunakan perahu dari pantai saja menyusuri tebing. Namun tentu saja juga berisiko tinggi karena angin Samudera Hindia berhembus kencang. Tebing karang saja bisa hancur meski butuh waktu berminggu-minggu.

Setidaknya ada 10 anak tangga di sepanjang rute hingga ke Goa Langse. Tangga kayu ini sudah diganti berkali-kali karena tangga sebelumnya sudah lapuk termakan usia. Tingginya kelembaban udara di kawasan ini tentu mempercepat proses pelapukan tersebut. Ketika tapak tangga sudah habis, ada batu-batu dengan bekas pijakan yang bisa dilalui. Namun butuh kehati-hatian tinggi: selain karena ukuran pijakan tidak sebesar telapak kaki, batu-batuan ini juga berlumut, juga teralis kayu yang kecil dan hanya diikat dengan satu-dua tali temali sangat rawan. Maka untuk melewati kesemua ini, harus ekstra hati-hati. Apalagidi bawah selain ada tanaman yang tumbuh menempel pada dinding jurang, ada kumpulan bebatuan karang serta lautan ganas yang terus-menerus mengikis karang.

Selangkah demi selangkah, akhirnya saya tiba di bawah. Sebelum benar-benar di bawah, ada satu tangga terakhir. Rupanya pemandangan dari bawah cukup menarik, apalagi kalau sambil menikmati matahari terbenam tepat di ufuk barat atau ketika matahari di sisi selatan Bumi. Garis pantai di sisi bawah tebing ini memang menghadap tenggara.

Di bawah juga ada empat bangunan permanen. Ada pendopo kecil yang terletak di atas batu karang—bangunan ini disakralkan sehingga diportal dari akses pengunjung, serta satu lainnya di bawah. Lalu ada bangunan permanen berbentuk seperti laiknya musola. Serta jajaran toilet, ada empat pintu. Kami kira hanya ada saya dan Rio saja di bawah. Rupanya ada warga yang menjadi juru kunci di Goa Langse. Mereka tinggal di mulut goa dengan tidur di atas ubin tempat bersemedi. Maka jangan heran apabila berkunjung melihat ada perapian, jemuran pakaian, tirai untuk ganti pakain, hingga lemari di mulut goa. Sebanyak empat orang penghayat kepercayaan Kejawen tinggal di sini.

Setibanya di bawah jurang, Rio segera memotret suasana sekitar

Baterai dan panel surya, perpaduan energi terbarukan

Rio berpose menghadap laut lepas

Goa Langse sendiri tidak begitu besar. Seperti goa lain pada umumnya, ada aliran air di dalamnya. Di ujung lorong goa, tepatnya setelah anak tangga berakhir, ada bak penampungan air tanah yang difungsikan sebagai sumber mata air tawar bagi para juru kunci, serta tempat padusan atau petilasan bagi penghayat Kejawen.

"Weh jebul isih 4G (Wah ternyata masih 4G)," beritahu saya pada Rio. Di ujung pandangan, Pantai Parangtritis dan Parangkusumo memang masih terlihat dengan tower BTS-nya. Jaringan XL dan Telkomsel masih sangat baik di sini. Meski begitu, tidak ada jaringan listrik masuk ke lokasi ini. Untuk kebutuhan penerangan di malam hari, para juru kunci memanfaatkan panel surya yang akan mengubah panas energi matahari menjadi setrum yang kemudian disimpan pada sel-sel aki. Tiap siang hari, mereka menjemur panel supaya dapat segera dipakai malam harinya.

Lemari dan pondasi ubin untuk tempat tinggal para juru kunci

Di ujung tangga, ada bak penampungan air

Pemandangan laut lepas dilihat dari bibir goa

Ombak besar terus-menerus menghantam bebatuan karang, memecahkannya menjadi batu-batu kecil


Rio, sebagai pecinta alam Ia sudah menjelajahi banyak tempat tersembunyi

"Wah nek ono wabah zombi aman ki urip ning kene (Wah kalau ada wabah zombie aman nih kalo hidup di sini)," celetuk saya disambut gelak tawa Rio.

Selain kami, beberapa pengunjung lain datang. Ada bapak-bapak berkepala tiga yang katanya iseng kemari. Ada pula pasangan muda-mudi rela menyambangi lokasi ini hanya untuk koleksi foto mereka. Beberapa pemancing juga terlihat sedang termenung di ujung bebatuan karang menanti kail menjebak ikan-ikan perairan dasar.

***

Tidak banyak hal yang dapat kami lakukan di sini karena lokasi ini juga disakralkan bagi mereka penghayat kepercayaan Kejawen. Oleh karena itu, berhubung awan mendung juga sudah membumbung tinggi, kami sudahi kunjungan ini. Kami khawatir bila nanti hujan, bebatuan akan menjadi licin serta membahayakan kami ketika mendaki.

Mendung, saya dan Rio bergegas mendaki lagi

Andai saya punya raga yang bagus serta tampang yang mulus

Bagi Rio yang sudah lihai dalam bertualang di alam, menuruni tebing lebih sulit karena harus tepat memijakkan kaki, sedang naik akan menguras lebih banyak tenaga.

Dalam Mi Watch saya, segera diaktifkan mode panjat tebing. Benar saja, belum 50 meter saja memanjat dan baru 2 dari 10 anak tangga, detak jantung saya sudah memasuki skala ekstrem dengan >180 denyut per menit. Di sela-sela pendakian, saya meneguk air. Lembabnya udara membuat saya jauh lebih cepat berkeringat, sudah gitu mengucur diantara selangkangan dan ketiak saya. Setidaknya untuk kembali ke atas, saya berhenti sebanyak 6 kali. Di tengah-tengah pendakian, dua kuli tadi masih sibuk menyalurkan sak semen ke bawah dengan katrol sederhana mereka.

Mi Watch mendeteksi tingginya denyut jantung disaat proses pendakian


Dua orang kuli mengestafetkan karung semen


Hampir tiba di puncak tebing tempat kami memulai, saya sempat bergidik ngeri kalau jatuh. Namun segera saya tepis pikiran itu supaya rileks namun tetap waspada hingga kepulangan dari pantai. Di puncak tebing, kepulangan kami disambut monyet-monyet yang segera menjauhi jalan setapak karena ada rombongan peserta tilas yang baru saja datang dari Solo.

***

Karena hujan, saya dan Rio mampir makan di warung pinggir jalan.

"Jo, delok kene Jo. Ono sing aneh jal (Jo, lihat sini Jo. Ada yang aneh coba)," jelas Rio agak panik dan kesal.

"Aneh kepiye (Aneh bagaimana)?"

Rupanya beberapa foto Rio yang memotret objek sesajen hilang. "Mau aku motret akeh lho ning pendopo kae. Ono loro akte ngono didadekne persembahan. Tapi ilang, asem og (Tadi gue motret banyak loh di pendopo tadi. Ada dua akte gitu dijadiin persembahan. Tapi foto-fotonya hilang, sial)!" terang Rio sedikit ketus. Well, rupanya sang penjaga goa mungkin kurang senang pada kehadiran kami sehingga beberapa dokumentasi dihapus 'mereka'.

Rio bertutur kalau beberapa dokumentasinya hilang


Cuma seorang pejalan yang gemar memaknai hubungan sosial.

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.