 |
KRL Jogja - Solo |
Entah apa yang saya pikirkan sehingga mendadak buru-buru mandi pagi, berganti pakaian, dan jalan kaki menuju terminal. Padahal saya baru tidur 5 jam 40 menit saja, dan saat ini sedang berpuasa. Mungkin karena saya kangen Jakarta? Atau merindukan transportasi publik yang andal? Atau keduanya? Semua sugesti itu mungkin justru berawal dari video TikTok dengan latar lagu Raiden ft. Chanyeol yang membuat saya benar-benar kangen Jakarta dan kenangannya waktu menjelajahi kota ini dengan bus, kereta, dan sepeda.
Omong-omong saya memang menggemari transportasi publik. Sejak dulu masih bayi, Papa saya sering mengajak saya menuju Stasiun Jakarta Kota di akhir pekan. Pelesir singkat sore itu dilakukannya ketika masih bekerja sebagai teknisi jaringan di operator seluler terbesar kala itu. Mungkin pelarian singkat sebagai kelas pekerja yang ingin membahagiakan istri dan anaknya, meski sesederhana naik KRL hingga stasiun kota. Ya, itu kenangan dulu saat krisis moneter 1997 belum memuncak. Sebagai bocah kelahiran Jakarta, kota itu makin rumit semenjak saya tinggalkan setahun kemudian.
 |
Jalan kaki dari kos menuju terminal butuh waktu 10 menit dengan langkah kaki ala warga ibukota |
 |
Tiba di Terminal Condongcatur pukul 09:08 WIB, satu jam sebelum keberangkatan KRL |
"Kowe dhisik sok kondo 'teteleg' sing mbuh opo artine (Kamu dulu sering bilang 'teteleg' yang entah apa artinya)," kisah Ibu saya dengan penuh romansa. Entah apa yang membuat beliau dan Papa saya yang notabene Jawa - Ambon memilih merantau ke Jakarta dan melahirkan saya di sana.
***
 |
Kartu BNI Tapcash saya dipindai dengan ponsel ber-NFC |
 |
Apabila membayar dengan e-uang, pengguna cukup mengeluarkan Rp. 2.700 untuk sekali jalan |
"Ini mas. Jalurnya 2A ya," jawab mbak-mbak pramugari sembari menyerahkan struk cetak transaksi kartu BNI Tapcash saya. Kartu ini baru saja saya dapatkan kemarin. Sengaja hari Jumat ketika tugas lowong saya kabur ke bank BNI KCU UGM hanya untuk mendapat kartu uang elektronik (e-uang) yang tersedia eksklusif di cabang bank itu saja.
Sebagai terminal utama untuk bus dalam kota, Terminal Condongcatur menjadi transit hub bus Trans Jogja berbagai koridor. Setidaknya ada 8 koridor melintas serta dimulai dan diakhiri dari terminal ini, diantarnya jalur 1B, 2A dan 2B (awal dan akhir), 3A dan 3B, 5A dan 5B, dan jalur 11. Dari kosan saya, terminal ini bisa dijangkau dengan 10 menit berjalan kaki kecepatan langkah pekerja Jakarta pada jam rush hour alias buru-buru banget. Tentu saja saya tergesa-gesa setelah tahu kereta berikutnya berangkat pukul 10:07 dari Stasiun Lempuyangan, sedang pukul 09:17 saya masih duduk manis di besi warna kromium halte yang lebih mirip kandang ini.
 |
Kondisi Halte Transit Terminal Condongcatur |
 |
Pintu keluar halte berpindah di sisi selatan |
 |
Kondisi halte seadanya, tanpa pendingin udara maupun kipas angin yang memadai |
 |
Informasi rute trayek Trans Jogja yang sangat seadanya |
 |
Kondisi dalam Halte Transit Terminal Condongcatur, papan informasi posisi bus sudah lama mati |
Sayangnya sebagai terminal transit, kondisi halte Trans Jogja ini sangat memprihatinkan. Akses masuk terlalu sempit dan curam sehingga menyulitkan difabel. Pintu otomatis sudah lama rusak dan digantikan transaksi manual dengan ponsel dilengkapi NFC (untuk kartu e-uang). Kipas angin terlihat sudah sangat kotor, masih berfungsi namun berisik. Layar digital penunjuk lokasi bus sudah tidak lagi berfungsi. Lantai halte sedikit bergelombang, dan mungkin saja keropos di bawahnya. Tidak ada informasi yang jelas mengenai rute trayek dalam inforgrafis yang menarik. Satu-satunya poster yang baru di halte ini adalah anjuran mematuhi protokol kesehatan. Gerah? Tentu saja. Sungguh menyedihkan.
Beruntung tak lama kemudian bus trayek saya datang. Bus ini bukan model terbaru, namun masih cukup adem dan suspensinya masih oke. Rusaknya jalanan Gejayan jadi tidak begitu terasa.
 |
Sebelum pandemi, Trans Jogja sudah sepi, saat pandemi jauh lebih sepi lagi |
 |
Kondisi armada Trans Jogja mulai memburuk, papan informasi halte berikutnya mati, begitu pula mesin NFC |
Perjalanan dari Terminal Condongcatur menuju TPB Sta. Lempuyangan membutuhkan waktu 43 menit. Bus trayek 2A ini bergerak menuju Pertigaan Colombo, berbelok ke barat hingga Bundaran UGM, menuju selatan hingga Halte Kridosono. Di halte transit ini, saya oper ke jalur 4B yang akan berbelok menuju Pasar Lempuyangan. Sebenarnya kalau mau lebih dekat dengan pintu masuk stasiun, saya bisa naik jalur 10 yang akan turun di TPB area parkir Sta. Lempuyangan. Namun karena mengejar waktu dengan durasi satu jam saja hingga keberangkatan KRL Joglo, ambil yang tiba duluan deh.
Tiba di TPB Sta. Lempuyangan, saya berlari-lari kecil menuju ruang tunggu stasiun. Sebelum masuk stasiun, petugas keamanan mengecek suhu tubuh saya. Lolos, hanya 36,2 °C. Waktunya saya keluarkan KMT yang sudah dibeli sejak Februari lalu. Tap in, lampu ijo, masuk. Langsung saya duduk leyeh-leyeh di dekat charging point guna mengisi daya ponsel.
 |
Tiba di Stasiun Lempuyangan pukul 09:44 WIB, tumben sepi
|
 |
Untuk kali pertama, saya menjajal KRL di luar Jabodetabek |
 |
Calon penumpang KRL Joglo menunggu kedatangan kereta di peron 2 |
 |
Para penumpang wanita membaur dalam gerbong yang sama dengan laki-laki, belum ada gerbong khusus wanita di segmen Jogja - Solo |
"Jalur dua dari arah barat segera masuk kereta Commuter Line dengan tujuan akhir Stasiun Solo Balapan," segera para penumpang bergegas menuju peron 2. Dari barat, KRL dengan nomor tipe JR205 bekas Jepang itu melangsir masuk cepat, lalu berhenti tepat. Memang beda sih antara Prameks dan KRL kalau dibuat grafik kecepatannya mulai berjalan dan berhenti. Maka wajar kalau perjalan Jogja - Solo versi Prameks 15 menit lebih lambat meski hanya berhenti di 6 stasiun saja.
Naik dari Stasiun Lempuyangan, berarti saya siap dengan konsekuensi berdiri sampai tujuan. Semasa pandemi, Commuter Line memang mengatur pembatasan jarak fisik antar penumpang. Dulu bulan Februari - Maret ketika CL Joglo diluncurkan, saya berulang kali gagal nyobain karena keburu bete antre mengular di luar stasiun. Waktu itu satu rangkaian CL terdiri dari 4 kereta saja. Padahal animo masyarakat tentu tinggi. Setelah evaluasi, beruntung CL menambah gerbong menjadi 8 kereta per rangkaian.
 |
Sebelum Ramadhan, penumpang akhir pekan keberangkatan pukul 10 pagi relatif padat. Saat ini ramai namun tetap bisa saling menjaga jarak |
 |
Informasi kesebelas stasiun yang dilewati Commuter Line - Yogyakarta Line |
 |
Penumpang masuk ke gerbong 4 KRL di Stasiun Maguwo yang peronnya hanya bisa memuat 4 dari 8 kereta saja |
 |
KRL i9000 kfw yang menurut saya ganteng dan menarik, meski konon masih banyak masalahnya |
Dari arah timur, KRL i9000 KfW masuk di jalur 1. Masuknya kereta itu menjadi pengawal perjalanan saya menjajal KRL pertama di luar Jabodetabek ini, ya meskipun sudah tidak hype lagi. 😅
Musik K-Pop kembali berdendang di telinga. Dengan volume paling kencang, lagu ini tidak bisa mengalahkan dengungan roda kereta yang bergesekan dengan batang rel. Melaju dengan kecepatan tinggi, KRL ini berhenti di 11 stasiun dalam waktu 75 menit. Kesebelas stasiun itu adalah Yogyakarta (awal), Lempuyangan, Maguwo, Brambanan, Srowot, Klaten, Ceper, Delanggu, Gawok, Purwosari, dan Solo Balapan (akhir). Kencangnya kecepatan kereta benar-benar terasa. Ketika akan berjalan dan berhenti, tangan saya berulang kali memegang hand rail di pintu, atau bergelantungan pada hand grip di atas.
Di dalam kereta, orang-orang sibuk berdiam diri. Ada yang bermain ponsel, ngobrol sekenanya dengan pasangan, membaca buku, ada pula yang memilih tidur. Kursi prioritas yang terletak di kedua ujung gerbong diisi oleh pihak yang benar-benar berhak. Sekalipun ada anak muda, mereka mau berdiri dan menyerahkan tempat duduknya untuk orang tua, ibu dengan anak, orang difabel maupun ibu hamil. Tertib sekali. Berulang kali kondektur kereta menegaskan agar penumpang tidak berbicara keras, apalagi ketika menelepon karena mewaspadai merebaknya kasus di dalam angkutan umum. Saya sendiri tetap pada posisi berdiri yang sudah ditandai kru KRL dengan stiker merah ini. Para penumpang juga kooperatif dengan duduk berjarak, hal yang mungkin akan jarang ditemukan di CL Jabodetabek karena saking penuhnya.
 |
Penumpang muda memilih menikmati perjalanan, melihat hamparan sawah maupun Jogja lantai dua meski harus berdiri satu jam |
 |
Petugas stasiun bersiaga menyiapkan tangga portabel untuk penumpang KRL, tentu tidak ramah difabel |
 |
Peron Stasiun Gawok benar-benar bertingkat curam dan tidak ramah difabel |
 |
Dari Gawok ke Delanggu, peron permanen yang tinggi sedang dalam proses pembangunan |
Kereta berhenti. Di beberapa stasiun, para penumpang diberitahu kondektur bahwa kereta nomor 4 hingga 8 harus berpindah ke kereta 3 karena peron stasiun tidak cukup. Informasi ini keluar ketika kereta melewati semboyan 8 yang menandakan 1.000 meter jelang persinyalan masuk.
Soal peron kereta, saya punya beberapa catatan untuk Ditjen Perkeretaapian, PT. KAI, maupun CL sebagai pelaksana layanan kereta komuter. Antara bodi kereta dengan peron, terdapat celah sekitar 25 - 30 cm yang memungkinkan penumpang terperosok pada celah ini. Harusnya celah ini kalau bisa dikurangi lagi dengan membuat peron lebih menjorok. Memang riskan apabila bergesekan dengan kereta. Beberapa stasiun kecil seperti Brambanan dan Srowot masih belum memiliki peron tinggi. Untuk sementara untuk naik-turun penumpang digunakanlah tangga portabel yang jumlahnya terbatas sehingga akan menyulitkan kaum difabel untuk bisa mengakses layanan CL. Apalagi kereta hanya berhenti antara 15 - 30 detik di tiap stasiun. Dalam waktu sesingkat itu, mereka yang difabel akan kesulitan, meski sudah dibantu petugas KRL. Peron-peron stasiun kecil (kelas B maupun C) pun belum dilengkapi atap. Aspek aksesibilitas memang perlu ditekankan agar mereka yang hidup dengan kebutuhan khusus tidak termarginalisasi oleh pembangunan, dan KRL adalah salah satu cermin pembangunan itu.
 |
Karena KRL, suasana di 5 stasiun kecil mulai hidup karena dapat digunakan naik dan turun penumpang |
 |
Adanya celah antara kereta dengan peron cukup membahayakan penumpang |
 |
Beberapa pesepeda lipat memasukkan kendaraan mereka pada KRL, dan memang diperbolehkan |
***
Saya tiba di Stasiun Purwosari. Kaki ini seakan-akan melangkah sendiri dan tahu apa yang akan Ia lakukan berikutnya. Setelah mampir di toilet untuk cuci tangan karena banyak menyentuh hand grip dan hand rail dalam kereta, saya lakukan tap-out. Di pelataran parkir, para tukang ojek dan supir taksi menawarkan jasa mereka, namun saya hanya ingin menjajal layanan Teman Bus di Solo. Jauh sebelum hadir di Jogja, Teman Bus sudah ada di Solo dengan 4 koridor utama yang dilayani bus sedang dan besar serta 8 koridor pengumpan yang dilayani oleh mobil angkutan kota. Dan semua itu gratis. Informasi mengenai rute dan posisi angkutan bisa dilihat di aplikasi Teman Bus secara waktu nyata (realtime).
Melihat kondisi bus stop yang panas karena hanya ada trotoar dan rambu bus, saya memilih berjalan ke arah timur menyusuri Jln. Slamet Riyadi. Menyebalkan memang. Siapa yang akan betah berlama-lama menunggu bus—sekalipun sudah terjadwal—tanpa atap. Jalan Layang Purwosari sudah jadi dengan motif batik sebagai dekorasi di kedua sisinya. Di sisi barat seberang rel, anak-anak muda melatif bakat skating mereka pada arena yang difasilitas Pemkot.
 |
Bus stop untuk Batik Solo Trans (BST) di Stasiun Purwosari yang tidak beratap |
 |
Apakah dengan adanya jembatan layang ini para pesepeda dan pejalan kaki tidak bisa melintasi rel petak Purwosari |
 |
Setelah dibangun jalan layang, kawasan Stasiun Purwosari menjadi gersang karena minim pohon perindang
|
 |
Armada Teman Bus - Batik Solo Trans warna merah ini relatif baru dan modern |
Walau sudah memiliki jalur sepeda, rupanya jalur khusus roda dua tanpa mesin ini tidak steril dari kendaraan bermotor. Bagi saya, Solo adalah kota dengan tata kota paling rapih di Jawa Tengah. Setiap blok sudah didesain sedemikian rupa sejak zaman kolonial yang dampak terasa hingga sekarang. Pertokoan di sini umumnya telah memiliki kantong parkir mereka sendiri. Sayangnya apabila kantong parkir mereka penuh, jalur sepeda adalah yang pertama jadi korban. Jadi, walaupun teduh, punya jalur terpisah dari kendaraan bermotor, jalur sepeda di Solo tidak steril juga.
Tak lama, saya tiba di Halte RS. Kasih Ibu. Baru tiba, saya terkejut. Halte ini sudah direnovasi jadi lebih baik: beratap, memiliki infografis sederhana dan ala kadarnya mengenai rute trayek setiap angkutan kota, namun satu hal mencolok ada di halte ini. Papan informasi digital itu tampak ciamik. Ia menampilkan posisi bus berikutnya dari halte, serta estimasi tiba di halte ini. Dan papan informasi ini ada di semua halte sepanjang Jln. Slamet Riyadi hingga Pasar Gede. Wow, sebuah kemajuan untuk kelas kota ekonomi biasa, bukan ibukota provinsi. Halte ini meski sudah direnovasi, tetap memiliki atap yang sayangnya lebih sempit dari sebelumnya. Kalau hujan berangin tentu saja calon penumpang kebasahan. Estetika jauh dikedepankan ketimbang fungsi. Ada pula jalur difabel yang cukup landai dari trotoar hingga ke anjungan tempat bus membuka pintu.
 |
Halte BST kini dilengkapi papan informasi digital untuk keterangan posisi bus terkini |
 |
BST dan Teman Bus menggunakan halte yang sama meski kedua layanan ini menggunakan jenis armada bus berbeda |
 |
Jarak halte yang berdekatan menjadi faktor kenapa BST ramai penumpang, sekaligus bergerak lambat |
 |
Penumpang BST relatif lebih ramai daripada Trans Jogja karena penempatan posisi halte yang berdekatan serta di titik strategis |
Bus merah menepi. Papan informasi ini terbilang akurat dalam menampilkan informasi posisi bus karena sudah terintegrasi. Sayangnya Teman Bus koridor 1 yang saya naiki ini memiliki dek rendah di pintu masuk dan keluarnya. Untuk menaiki bus, saya harus anjlok dari halte baru masuk. Hingga saat ini, semua layanan BRT di Kota Solo masih gratis karena subsidi dari Kemenhub. Begitu masuk dan melakukan tempel kartu, mesin pembaca kartu e-uang gagal melakukan transaksi. Untung masih gratis sehingga pak supir mempersilakan saya duduk saja, "Nggak papa kok mas enggak kebaca."
***
Batik Solo Trans (BST) ini melaju jauh lebih lamban daripada Trans Jogja. Kecepatannya dibatasi pada 50 km/jam saja. Di dasbor kemudi, panel digital itu dilengkapi GPS sehingga bus harus tetap berhenti di halte walau tidak ada penumpang naik ataupun turun. Penumpang dalam BST jauh lebih ramai ketimbang TJ menurut saya. Jarak halte yang berdekatan mungkin membuat bus ini lambat, di sisi lain okupansi penumpang meningkat karena lokasi halte berada di titik strategis. Penumpang pun tampak tidak terburu-buru. Konsep BRT yang memang memiliki timetable dan headway yang ketat bisa jadi faktor mengapa para penumpang santai saja, selain karena hari ini akhir pekan.
BST Teman Bus ini sudah standar layanan BRT. Ia memiliki panel di depan yang menunjukkan posisi halte sekarang dan halte berikutnya. Ada juga pemandu suara otomatis yang membacakan posisi dan halte selanjutnya. Ada kursi prioritas, pemecah kaca, hand grip, dan CCTV. Tentu menyenangkan begitu tahu bus ini masih gratis. Tinggal jalan ke halte, naik, duduk manis, dan tiba.
 |
Bus Teman Bus menggunakan dek tinggi meski pintunya dek rendah, tidak terintegrasi dengan halte BST secara baik |
 |
Lalu lintas Solo relatif kacau dan macet sehingga BRT terus digratiskan |
 |
Solo selalu ada di hati saya karena hijau dan rapinya tata kota mereka |
 |
Supir bus Teman Bus fokus mengendarai dari halte ke halte dengan kecepatan maksimal 50 kmpj |
Saya mengerti mengapa bus ini masih gratis. Jalanan di Kota Solo sudah terlampau kacau. Tiap blok ada persimpangan, dan hampir selalu macet. Solo menjadi sentral bagi Karesidenan Surakarta. Aktivitas utama perekonomian 6 kabupaten sekitarnya juga di kota ini. Semrawutlah lalu lintas Solo karena arus datang dari berbagai penjuru. Sisi baiknya, Solo menjadi kota dengan integrasi transportasi publik terbaik bagi saya. Ada bandara, stasiun, kereta bandara, layanan BRT, kereta komuter, railbus, dan moda transportasi tradisional di sini. Lengkap!
***
"Nanti naik bus yang spionnya hitam mas," terang bapak-bapak tukang becak yang mendadak inisiatif memandu saya memilih bus. Memang saya sempat bingung. Setelah membaca infografis, sepertinya cuma koridor 2 yang bisa mengantar saya ke Stasiun Solo Balapan sebelum pukul 12:25 WIB.
Halte di Panggung Lor ini belum direnovasi sehingga tidak memiliki informasi terkini posisi bus. Tidak masalah, karena kalau ke timur mesti ke Terminal Palur. Untuk ke barat ini saya cukup mengecek informasi rute trayek di aplikasi Teman Bus. Di halte ini ada bapak-bapak yang juga akan naik bus, tapi beda trayek dengan saya.
 |
Penumpang terpaksa bertengger di pagar halte karena Teman Bus menggunakan dek rendah di pintu masuknya, sedangkan anjungan halte untuk bus dek tinggi |
 |
Jalur difabel dibuat melandai dengan hand rail supaya memudahkan penumpang difabel, sayang armada busnya berbeda dari halte ini |
 |
Seorang kakek menanti bus koridor 1 |
Bus merah anggun itu tiba. Lagi-lagi saya kudu lompat dari anjungan halte untuk bisa naik Teman Bus. 'Integrasi yang tidak juga terintegrasi,' batin saya.
"Turun mana mas?"
"Balapan pak," jawab saya mantap.
Bus ini melaju lebih cepat dan tetap berhenti di setiap halte meski kosong. Tiba di Halte Stasiun Balapan, saya bergegas menuju skywalk stasiun ini. Skywalk Stasiun Solo Balapan (SLO) menghubungkan layanan KRL, ruang tunggu khusus Kereta Bandara Internasional Adi Soemarmo (BIAS), dengan Terminal Kartosuro. Integrasi yang keren bagi saya mengingat jarak antara stasiun dan terminal ini cukup jauh. Apakah ini termasuk bentuk TOD (transit oriented development)? Entahlah, saya bukan lulusan studi tata kota.
 |
Supir selalu menanyakan tujuan penumpang supaya tidak 'kecelik' ketika turun |
 |
Skywalk Stasiun Solo Balapan sudah dilengkapi dengan lift agar memudahkan kaum difabel |
 |
Signage jelas, kondisi skywalk ciamik karena menghubungkan KAJJ, KRL, Kabandara, dan bus |
 |
Para calon penumpang KRL tujuan Jogja bergegas menuju peron jalur 4 dimana JR205 behenti |
 |
KRL menjadi moda andalan warga Joglo saat ini |
 |
KRL menjadi moda andalan warga Joglo saat ini |
 |
Petugas Commuter Line mengecek suhu penumpang sebelum proses tap-in |
 |
Para penumpang tetap tertib menjaga jarak meskipun kereta dalam keadaan ramai |
Usai naik eskalator, lalu turun lagi, juga tap-in, JR205 itu masih berhenti anggun di jalur 4. Bergegas saya menuju kereta 1 yang paling jauh. Benar, kosong. Akhirnya duduk santai.
 |
JR205 dan kondektur kereta rangkaian 8 gerbong |
 |
Seorang gadis perempuan melakukan perjalanan KRL, semoga makin banyak generasi muda menggemari transportasi publik |
***
Turun di Maguwo, saya segera ke Halte Transit Bandara. Kondisi halte ini tak jauh berbeda dengan Halte Transit Terminal Condongcatur: mengenaskan. Ya sudahlah, tidak banyak yang bisa saya kritisi karena bus koridor 3A tiba. Bus biru ini tampak ramping dari luar. Baru akan meninggalkan halte, bus ini sudah bergoncang hebat karena suspensinya yang buruk. Kalau tidak berpegangan pada tiang di tengah, mungkin saya sudah terpental. Bandara Adi Sutjipto sekarang sepi karena jadwal penerbangan sebagian besar telah pindah ke Bandara Yogyakarta International Airport (YIA). Bus Tayo ini melaju cepat. Tampaknya sang supir memang terburu-buru mengejar headway antar halte. Dalam 15 menit, saya tiba di titik awal saya memulai semua perjalanan ini: Terminal Condongcatur.
***
Sembari pulang ke kos, saya refleksikan perjalanan kali ini. Dari 2015 hingga enam tahun kemudian, tampaknya Trans Jogja memang cenderung jalan di tempat. Memang ada penambahan beberapa trayek dan pengadaan unit bus baru, namun okupansi bus tetap rendah karena posisi halte dan TPB yang dibuat masih jauh dari area strategis. Area yang dimaksud di sini seperti tempat umum (pusat perbelanjaan, pasar), maupun gang/gapura. Selain itu, rute trayek yang tidak langsung, dibuat tidak berdasarkan analisa rute mobilitas masyarakat membuat jalur-jalur yang ada tidak lagi efektif dan efisien dalam mengangkut penumpang. Timetable yang tidak tentu serta headway yang tidak dijaga membuatnya jauh dari slogan yang Ia miliki: Penjelajah Andalan. Belum lagi kondisi halte yang kini didominasi TPB dengan kondisi memperihatinkan, ala kadarnya. TPB yang ada justru lebih cocok jadi podium penghargaan.
 |
Penunjuk arah halte dari Stasiun Maguwo |
 |
Kondisi Halte Transit Bandara - Maguwo |
 |
Kondisi bus Trans Jogja berbanding terbalik dengan bus Batik Solo Trans |
 |
Sepeda lipat bisa dibawa naik Trans Jogja bila tidak ada pengguna difabel |
 |
Teman Bus terparkir di Terminal Condongcatur |
Batik Solo Trans bisa dibilang jauh lebih baik. Ia memiliki halte yang teduh, mudah diakses difabel, informasi trayek yang mudah dipahami oleh awam seperti saya sekalipun. Tanpa dimodernisasi dengan panel digital, halte BST sudah cukup baik dan jelas dengan plang nama halte. Halte BST memang banyak yang terbuka dengan atap sekenanya, dan mereka juga memiliki TPB ala kadarnya pula. Namun jumlah TPB dengan halte masih didominasi halte. Integrasi dengan tipe bus Teman Bus yang baru bisa dibilang masih gagal karena untuk menaiki bus, penumpang harus turun dari halte dulu. Lucu dan aneh. Untung gratis.