Blog ini sedang dalam masa pemeliharaan.

Tapak Kaki Sepeda Tinggi

Lama kenal dengan perkumpulan Sepeda Tinggi Yogyakarta, baru kali ini saya berhasil mengendarai salah satu sepedanya: mengalahkan fobia ketinggian.
Sepeda tinggi pertama yang berhasil saya taklukkan (meski fobia ketinggian)

Minggu siang, pesan masuk dari Kangmas.

'Posisi?'

Oh ya, hari ini saya memang ada janji dengan Kangmas. Ia mengajak saya melihat pembuatan sepeda tinggi, ya pekerjaan dia memang. Walau sebenarnya sudah pernah lihat proses serupa di bengkel MK Kustom, boleh deh. Lagipula sebagai admin media sosial @tallbike_yk, saya memang perlu improvisasi supaya bisa bikin konten menarik seputar sepeda tinggi.

Bengkel sepeda tinggi di Maguwoharjo, Depok, Sleman

Dan sekarang di sinilah saya, duduk-duduk santai di pekarangan rumah milik Beni (Bendot). Ia dan Rizky (Jeplik) sudah lebih dulu mengerjakan sepeda tinggi. Ini adalah tahap ketiga dari pengerjaan sepeda tinggi setelah mendesain model sepeda dengan arsiran kasar, serta mencari bahan-bahan di tempat penampungan barang bekas (rosok). Sembari merekam dan memotret dari sudut yang bagus, saya mencoa memahami apa yang kawan-kawan sepeda tinggi lakukan dalam perspektif lingkungan.

Istilahnya, upcycling.

Dari banyak komunitas sepeda di Jogja, komunitas sepeda tinggi adalah yang paling ramah lingkungan. Bagaimana tidak, hampir seluruh bagian sepeda yang mereka pakai adalah produk pakai ulang. Rangka sepeda yang mereka bangun merupakan gabungan dari 2 rangka sepeda bekas. Atau misal 2 rangka sepeda terlalu berat di ongkos, maka 1 rangka dan beberapa bilah besi bisa digunakan. Besi bekas pagar, bekas penyangga reklame, maupun besi bekas rambu lalu lintas bisa dipotong dan disesuaikan dengan rangka yang sedang dibangun. Untuk roda, peleknya bisa juga ambil dari pengepul sepeda bekas, irit. Pengecualian apabila kondisi ban sudah tidak bagus seperti sudah tipis atau halus, maka perlu diganti. Dari berbagai komponen terpisah inilah, tercipta satu sepeda tinggi yang dibangun dengan cinta dan kasih sayang pemiliknya. Inilah mengapa syarat utama di komunitas ini adalah tidak menjual sepeda, alias ada komitmen penuh untuk tetap menggunakannya.

Dua sepeda tinggi diparkirkan sejajar bersandar pada dinding rumah

Jeplik mengelas sambungan pipa besi pada rangka

Bendot mengukur panjang seat tube untuk dilas

Bendot memotong pipa besi

Kangmas menghaluskan ujung pipa besi

Jeplik kembali mengelas sambungan pipa besi. Ia berulang kali memejamkan mata karena tidak tahan dengan kilatan cahaya serta asap yang keluar dari ujung las. Asap ini tetap terasa pedih di mata sehingga setiap hari ketika pengerjaan sepeda diakhiri, masing-masing meneteskan obat mata keras (OK).

"Piye, wis pas durung (Gimana, sudah pas belum)?" tanya Kangmas pada Bendot. Dengan segera Ia keluarkan meteran dan mengukur panjang head tube dan fork. Setelah diukur, bagian yang akan dipotong ditandai, barulah gerinda tangan itu siap mengeksekusi batang besi tua itu. Dengan segera percikan api memancar, tapi dengan santai Bendot tidak menghindari percikan itu. Ya paling rasanya seperti digelitik aja sih.

Bendot selesai dengan bagiannya, Kangmas mengambil alih. Ia mengganti piringan gerinda dengan mencabut kabel terlebih dahulu. "Aku dhisik wis tau Jun lali nyabut kabel njuk gerindane muter ning tangan (Dulu pernah Jun, aku lupa mencabut kabel gerinda sehingga mesinnya berputar di tangan)," celoteh Kangmas di tengah kesibukannya. Sialan. Tentu saja dia sengaja karena tahu kalau saya benci dengan sadisme sehingga sedikit bergidik begitu membayangkan kecelakaan kerja seperti itu.

***

Hari semakin sore, gumpalan awan mendung pun memenuhi angkasa. Berhubung saya cuma menemani Kangmas bekerja, rasa kantuk menyerang. Saya berulang kali mengedarkan pandangan supaya tidak bosan. Dua sepeda tinggi bertengger di pagar rumah. Menganggur, dan saya ingin mencobanya. Sebagai 'adik'-nya Kangmas yang notabene komandan sepeda tinggi, gengsi dong megang media sosial tanpa bisa naik sepeda tinggi. Saya sangat tertarik, tapi selalu urung mencoba karena memang fobia ketinggian. Terakhir, gara-gara fobia ini saya terjatuh dari pohon karena salah ambil pijakan pada ranting, alhasil kaki terkilir.

Salah satu sepeda yang dikerjakan Bendot dkk


Bendot mengetes salah satu sepeda tinggi yang rangkanya sedikit bermasalah

Jelang petang, teknisi bertambah. Kali ini ada Musang dan Jaso. Mereka berdua juga bagian dari sepeda tinggi. Dengan segera keduanya ambil peran, entah membelikan gorengan, minuman, atau memperbaiki sepeda lain. Saya tetap dengan peran yang sama, mengolah foto-foto dan video menjadi konten segar untuk diunggah ke pembaruan. Selesai. Saya bingung ingin melakukan apalagi.

Saya mengendarkan pandangan. Sepeda tinggi itu tampak menarik, seakan-akan Ia memanggil saya untuk mencobanya. Oke, tampaknya saya harus mencobanya. Minimal sekali saja.

Sebagai orang dengan fobia tinggi, ketika mengukur sadel sepeda yang setara dengan kepala saya, rasanya sudah deg-degan. Saya pun sempat bergurau kalau saja butuh informasi rumah sakit terdekat. "Wah rumah sakit Tajem jauh pula," gerutu saya. Tangan sudah memegang stang sedang tangan satunya bersiap pada sadel. Lima belas menit berlalu dan tidak ada progres apapun dalam menjajal sepeda.

Musang berinisiatif membantu saya. Meski tubuhnya lebih subur, Ia mudah mempraktekkan cara naik sepeda tinggi, "Pedale diposisikke ning arah jam 12. Pas wis ning ongko 9 to bang, lagi sikil kiwomu munggah (Pedalnya diposisikan di arah jam 12. Sewaktu berada di angka 9, barulah kaki kirimu naik bang)." Musang mempraktekkannya dengan mudah. Ia beberapa kali mencoba naik-turun dengan santai. Tapi tetap saja ini adalah sepeda tinggi, dimana ketika sering naik dan turun, maka akan lebih cepat capek ketimbang sepeda biasa. Musang memberikan sepedanya pada saya. Dan lagi, saya hanya mendorong maju sepeda beberapa puluh sentimeter tanpa bisa sukses menaikinya.

Dengan tinggi sadel sepantaran kepala saya, sepeda ini cukup ngeri bagi penderita fobia ketinggian

"Sang, kae dibantu cahe kae. Nek mung digejengi wae, tekan subuh yo ra rampung-rampung (Musang, itu dibantu dia. Kalau cuma dipegangi saja, sampai subuh juga nggak bakalan kelar)," Kangmas tahu kalau saya memang butuh dipandu. Musang pun memegangi sepeda sembari saya mencoba menaikinya.

Percobaan pertama hingga kelima, saya masih kesusahan untuk menaiki sepeda. Justru ketika Musang memegangi sepeda, saya jauh lebih kesulitan untuk bisa menapaki pedal kiri sebagai pijakan awal sebelum kaki kanan menyentuh pedal satunya. "Inget lho bang, iki pit doltrap (Ingat loh bang, ini sepeda dualtrap)," terang Jeplik. Sepeda dengan mekanisme pedal dualtrap akan bergerak maju dan mundur sesuai arah kayuhan pedal. Maka harusnya saya tidak perlu panik untuk bisa seimbang di atas.

Oke, teori sudah jelas. Mari dicoba!

Percobaan ketujuh, saya masih tidak lancar memutar sepeda. Berhubung saya sudah tahu bagaimana caranya jatuh dengan aman dari sepeda, saya sengaja menjatuhkan diri ke arah kanan. Dalam sepersekian detik, kaki kanan menapak dan menahan jatuhnya saya. Aman. Strategi jatuh sudah dicoba.

Percobaan kesekian, saya berhasil menaiki sepeda tanpa bantuan siapa pun. Tapi celakanya saya belum bisa berputar arah dengan sepeda tinggi pada gang selebar 5-7 meter ini. Segera saya mencari tempat yang cukup luang untuk berputar. Ada lapangan pasir, tapi saya belum lancar berputar. Berhubung belum bisa berputar, saya memilih bersandar pada tembok bata berlumut itu.

Saya kembali ke titik awal. Untuk turun, saya masih butuh berpijak kaki pada pagar tembok. Oke, aman.

Kembali ke titik awal, rupanya sudah satu jam lebih saya mencoba dan masih belum lancar. Mencoba menyerah, Kangmas menasihati saya untuk bisa mengalahkan rasa fobia itu. Ya buat orang dengan nyali besar seperti dia tentu saja mudah mengatasinya. Bagi saya, memegang stang sepeda saja sudah gemetaran.

Telapak tangan yang sudah kapalan ini pun kembali dipaksa memegang stang dengan sarung karet itu. Saya ubah strategi untuk lebih santai naik sepeda tinggi. Dorongan diperlambat, gerakan kaki diperhitungkan. Siap...

Satu...

Dua...

Kaki kiri menginjak pedal. Segera kaki kanan saya angkat melewati rangka dan menginjak pedal satunya. Berhasil, tapi masih gagap.



Sorak sorai dari warga sekitar yang sedari tadi melihat saya mencoba cukup riuh. Bahkan seorang ibu merekam saya. Berputar di lapangan yang sama, saya coba turun di depan hadapan para penonton. Aman. Tanpa aba-aba saya anjlok begitu saja dengan gerakan sebaliknya.

Ujicoba berhasil naik kelima, Jose menghadang saya, "Kanggo njajal situasi ning lampu abang (Buat nyobain situasi di lampu merah)." Berhubung saya belum siap menghadapi situasi yang satu ini, saya pilih anjlok saja. Well, setidaknya praktik dasar: naik dan turun sepeda, serta berputar arah, sudah tuntas. Sisanya, mari dicoba lain waktu.

Tampaknya Kangmas sedikit lega melihat saya berhasil naik sepeda tinggi, meski bukan dengan sepedanya, "Ngko lak kowe keterusan njajal ngepit nganggo nggonanku (Nanti kamu bakal keterusan mencoba sepeda tinggi milikku)." Cara Ia mengajari saya bersepeda tinggi masih serupa dengan setahun lalu ketika pertama kali menjajal rute gowes yang jauh. Ia mendorong, kadang menekan mental dengan kata-kata yang sedikit keras, namun tujuannya baik. Dan saya adalah orang yang akan terus melayang terbang ketika berhasil melakukan hal, sekecil apapun itu, dengan dibumbui rasa sombong. Kepribadian yang aneh memang.

***

'Selamat, target aktivitas bulan Maret tercapai pada malam akhir Februari,' puji saya pada diri sendiri.

Sepeda tinggi pertama yang sukses saya kendarai
Cuma seorang pejalan yang gemar memaknai hubungan sosial.

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.