Saya masih ingat ketika memasuki bulan keempat pandemi, mendadak sepeda menjadi primadona masyarakat. Pembatasan aktivitas guna menekan penyebaran pandemi memang sukses membuat orang tetap berada #dirumahaja—setidaknya untuk beberapa bulan awal. Beberapa bulan kemudian masyarakat pun bosan setelah lama mengurung diri di rumah. Meski begitu, karena tidak ada penegakan aturan yang ketat mengenai lockdown—atau istilah dalam kamus versi Pemerintah Indonesia: PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), serta adanya pengecualian untuk aktivitas olahraga, maka tren bersepeda membumbung tinggi di banyak kota.
Tingginya antusiasme masyarakat dalam bersepeda terjadi tak hanya terjadi di Jogja, atau Indonesia. Serempak tren bersepeda meningkat di penjuru Dunia. Banyak pemerintah kota di berbagai benua menyediakan ruang berupa jalur khusus pesepeda supaya para goweser merasa aman dan nyaman begitu menjelajahi lanskap dengan pedal. Momentum ini sebetulnya bisa jadi waktu yang tepat bagi setiap pemerintahan tingkat kota untuk mengevaluasi bagaimana kota-kota mereka dibangun, sekaligus membuatnya sebagai utopia kota ramah pesepeda.
![]() |
Jalur sepeda di Jln. Ikhlas, Kota Magelang |
Sepeda, Kunci Perbaikan Kualitas Hidup?
Pandemi seperti saat ini sebenarnya adalah momentum yang tepat bagi Pemerintah Magelang Raya untuk berbenah. Masyarakat kembali menyadari bahwa kesehatan menjadi penting, dan sepeda adalah salah satu sarana olahraga yang bisa menyehatkan tubuh serta menyegarkan jiwa. Pandemi dan anjuran untuk tetap #dirumahaja membuat kendaraan lebih sedikit berlalu-lalang sehingga sedikit kemacetan terjadi. Pada saat yang bersamaan, kualitas udara juga membaik. Lalu mengapa pembangunan perkotaan harus diubah hanya karena sepeda?
Singkatnya, ongkos sosio-ekonomi dari bersepeda jauh di bawah kendaraan pribadi. Berdasarkan data dari Cycling Embassy of Denmark, masyarakat kehilangan uang EUR 79 sen (setara Rp. 13.492, kurs per 24 Januari 2021) per kilometer dari berkendara. Sebaliknya, masyarakat memperoleh EUR 72 sen per kilometer karena bersepeda. Mengapa demikian? Karena bersepeda dapat mengurangi risiko kesehatan dan alpa di tempat kerja karena sakit. Bersepeda menggerakkan seluruh anggota tubuh, serta meningkatkan hormon endorfin yang secara alami menurunkan tingkat kecemasan dan depresi. Sebaliknya berkendara dengan kendaraan pribadi meningkatkan polusi udara, kemacetan, penurunan kualitas hidup, serta dampak domino lainnya.
Umumnya kota-kota di Indonesia sangat minim infrastruktur bersepeda. Padahal kunci berhasilnya mentransformasikan kultur bersepeda adalah dengan pengadaan infrastruktur terlebih dahulu. Infrastruktur penting dalam merangsang aktivitas bersepeda dan terbukti berhasil di banyak kota di Dunia—dari Amsterdam ke Kopenhagen, bahkan Seville. Kota-kota ini berhasil meningkatkan jumlah pesepeda dengan memberikan fasilitas pendukung keamanan, kenyamanan, dan keselamatan bersepeda, seperti adanya jalur khusus terproteksi (dedicated bike lane) dan karpet hijau untuk jalur sepeda yang bersinggungan dengan kendaraan pribadi. Di Amsterdam sendiri, sudah ada lebih dari 500 kilometer jalur sepeda dedikasi (steril dari gangguan kendaraan bermotor). Bahkan untuk Kota Seville di Spanyol, sebanyak 70-80% jalur sepeda dibangun dengan mentransformasi on-street parking (fasilitas parkir di bahu jalan) serta membebaskan ruang tersebut untuk jalur sepeda.
![]() |
Sisa ruang Jalan Nasional 14 memang untuk lajur berhenti darurat, namun akan lebih bijak digunakan sebagai jalur sepeda |
Bagaimana dengan Magelang Raya?
Sebagai pesepeda sekaligus anggota komunitas Magelang Bersepeda, saya memantau perubahan juga terjadi di kota saya. Pemerintah Kota melakukan hearing (ajang dengar pendapat) pembangunan pada pertengahan Oktober yang ikut mengundang komunitas, menerima berbagai kritik, saran, serta masukan untuk arah pembangunan kota. Meski berlangsung secara daring, beberapa kawan ada yang mewakili dan memberi masukan soal ketersediaan jalur sepeda di Kota Magelang. Meskipun sebelumnya Kota Magelang sudah memiliki jalur sepeda khusus (dedicated bike lane) sepanjang 3,9 kilometer (Jln. Ahmad Yani 2,3 km; Jln. Tidar 600 m; dan Jln. Tentara Pelajar 1 km) dan 1,9 kilometer (Jln. Pahlawan), tentu saja tidak cukup untuk mengakomodir para pesepeda, baik mereka yang bersepeda untuk gaya hidup, maupun kebutuhan sehari-hari. Maka daripada itu, saya mencoba menilai sejauh mana Kota Magelang ramah terhadap sepeda dengan mencobanya langsung.
![]() |
Jalan Pemuda Muntilan memiliki 4 lajur lebar, namun tidak ada satu pun ruang khusus pesepeda |
![]() |
Jalan Nasional 14 masih memiliki ruang cukup untuk dikembangkan jalur pesepeda, namun sayangnya lajur paling kiri ini tidak cukup steril |
Pada dasarnya jalur sepeda diadakan untuk membuat perjalanan para pesepeda aman, dari lokasi asal hingga ke tujuan.
Paradigma seperti ini yang harusnya ada di benak lembaga eksekutif di Kota dan Kabupaten Magelang. Di penjuru kota dan kabupaten, ada banyak sekali ruas jalan yang sangat potensial untuk dikembangkan jalur sepeda. Di kabupaten misalnya, Jalan Nasional 14 yang lebar dan masih memiliki ruang untuk pelebaran jalan dapat diaplikasikan jalur sepeda di sebelah kirinya. Tidak perlu yang terproteksi, cukup karpet hijau dengan jalur yang steril dari parkir kendaraan bermotor sudah cukup membantu masyarakat yang penglaju yang menggantungkan hidup pada sepeda. Dalam konteks ini, tukang bakso/mi ayam gerobak, penjaja makanan ringan dengan sepeda, akan merasa aman saat mencari nafkah di jalan. Namun alih-alih mewarnai lajur paling kiri dengan karpet hijau, lajur ini justru menjadi area parkir truk di ruas antara Palbapang - Blabak - Blondo hingga Mertoyudan. Di Muntilan, jalur khusus sepeda sudah ada dengan memanfaatkan bekas jalur kereta api yang ditutup pada 1976. Sayangnya, jalur ini hanya membentang 1,4 kilometer saja dari Gunungpring hingga Terminal drs. Prajitno dengan kondisi sangat tidak steril dengan jalanan bergelombang. Begitu Jalan Nasional 14 membentang lebar dari Pasar Muntilan hingga Taman Bambu Runcing, jalur sepeda nihil di jalan raya selebar 4 lajur ini meskipun ruas jalan ini baru saja diaspal dan dimarkai ulang. Memang dari awal tidak ada tujuan menjadikan lajur paling kiri sebagai jalur sepeda karena awalnya dijadikan berhenti darurat. Namun kebijakan ini masih bisa diralat untuk merespon animo para pesepeda.
Kabupaten Magelang juga memiliki dua jalur sepeda lain menuju ke kawasan pemerintahan di Sawitan, Mungkid. Jalur pertama membentang di satu sisi arah selatan sepanjang 5,3 kilometer dari Pertigaan Blondo hingga Perempatan Carikan. Kondisi jalur sepeda sepanjang jalan ini sungguh mengenaskan meskipun teduh. Cukup dilakukan pengaspalan ulang, maka jalur sepeda bisa kembali dimanfaatkan. Lalu jalur kedua sepanjang 1,6 kilometer dari Pertigaan Mungkid (DPRD Kabupaten) hingga SMAN 1 Mungkid. Kedua jalur ini menuju ke pusat pemerintahan kabupaten yang notabene memiliki jalan lebar dan lalu lintas yang lengang. Namun sekali lagi, jalur sepeda tidak disediakan meskipun berupa karpet hijau.
![]() |
Jalur sepeda di Muntilan membentang dari Gunungpring hingga Terminal dr. Prajitno |
![]() |
Kondisi jalur khusus sepeda di Jln, Ahmad Yani, Kota Magelang |
Kondisi serupa tak jauh lebih baik di Kota Magelang. Jalur sepeda sama sekali tidak terencana sehingga hanya jadi formalitas pembangunan belaka. Meski sudah ada lajur khusus, kondisinya pun sangat memperihatinkan. Aspal di lajur sepeda tidak semulus aspal jalan raya. Di sisi lain, kendaraan bermotor beberapa kali lalu-lalang di lajur sepeda hingga tidak sedikit yang menggunakannya untuk berkendara lawan arah. Meski sebenarnya ada jalur khusus, lajur ini pun tidak bisa dibilang benar-benar terproteksi. Nihilnya barrier atau pole yang memisahkan jalur pesepeda dengan jalan raya tidak mampu menghindarkan para goweser dari potensi kecelakaan lalu lintas yang tentu, akan berakibat fatal bagi pesepeda. Terakhir, tentu saja jalur sepeda tidak ramah difabel.
Guna merespon euforia pesepeda, Pemerintah Kota telah menambahkan karpet hijau diantara Jln. Alun-alun Barat ke Jln. Pahlawan, dan dari perempatan Pasar Rejowinangun menuju Jln. Ikhlas. Karpet hijau ini menghubungkan jalur khusus sepeda di Jln. Tentara Pelajar dengan Jln. Pahlawan dengan melewati Jln. Yos Sudarso. Langkah Pemerintah Kota sudah betul dengan memberikan water barrier supaya memisahkan lalu lintas sepeda dengan kendaraan bermotor. Akan tetapi ketika akan memasuki Jln. Pahlawan, karpet hijau jalur sepeda terkesan dipaksakan meliuk sehingga membahayakan pesepeda itu sendiri. Di sepanjang Jln. Pahlawan pun jalanan sangat lebar dan gersang sehingga aspek kenyamanan dikesampingkan. Di Jln. Ahmad Yani area Subterminal Kebonpolo, jalur sepeda sangat sempit juga tampak dipaksakan untuk tetap berada di lajur paling kiri tampak memperhatikan bagaimana besepeda berkendara.
Akhir Kata
Tentu infrastruktur yang saat ini tersedia bersifat sementara dan darurat karena dibangun sewaktu tren bersepeda meningkat di tengah pandemi. Tiap daerah punya karakteristik topografi dan ruang jalan yang berbeda, tapi semoga Pemerintah Kota dan Kabupaten Magelang punya rencana jangka panjang apabila mereka memang melek dengan prinsip Pembangunan Berkelanjutan. Langkah selanjutnya adalah bagaimana membuat tren bersepeda ini menjadi permanen karena memiliki dampak baik dalam jangka panjang. Udara bersih, masyarakat lebih sehat dan aktif bergerak, serta jalanan lebih aman bagi semua orang. Dan apakah cita-cita ini akan terwujud? Tergantung niat politis dari pemangku kebijakan saat ini. Tampaknya PR Magelang Raya untuk ramah pesepeda masih sangat banyak.
Tonton seperti apa jalur sepeda di Magelang (ekspedisi Jalan Nasional 14):