Waktu itu saya hanya duduk-duduk malas di emperan SPBU Sentul, sembari mencerna lirik musik menanti orang yang saya kenal gila bersepeda. Namanya Alvinsyah Abdullah, remaja Banten yang rupanya lebih muda setahun dari saya. Ia berkuliah di Jogja, masuk pada 2017 dan aktif di banyak organisasi dan komunitas pegiat lingkungan. Kami sebenarnya belum lama mengenal, dipertemukan pada ajang pentas seni yang diselenggarakan di Kasihan, 3 Agustus 2019 lalu. Mendengar bagaimana pengalamannya selama berkelana di Jogjakarta membuat saya tertarik untuk ikut serta dalam salah satu kegiatan yang diikutinya setiap minggu.
Namanya Garuk Sampah.
***
Saya mengedarkan pandangan, segera anak muda bertopi beanie dan hoodie merah itu tiba dengan sepeda fixie favoritnya, Soloist.
"Gimana nih? Kok belum mulai?" Oh sial, lagi-lagi saya menggerutu akibat kebiasaan datang tepat waktu yang tidak sesuai kultur masyarakat setempat. Semenjak SMA saya memang tertarik membaca catatan antropologis, terutama tentang kultur masyarakat Jepang. Karena catatan itu, saya berusaha lebih menghargai waktu.
"Iya mas belum. Nanti paling sebentar lagi datang," ujar Alvin meyakinkan. Saya memarkirkan motor matik ini di dekat kantor kepala SPBU sembari menanti siapa koordinator dari kegiatan ini.
***
Lima belas menit berselang, beberapa sepeda datang. Jangkung, tidak biasa. Sepertinya ini kali pertama saya melihat sepeda tinggi berkeliaran di jalanan Jogjakarta—atau baru menyadarinya. Tiga sepeda itu pun segera disandarkan pada tiang jaringan kabel, di depan pertokoan Sentul.
Dengan segera Alvin berdiri lalu memperkenalkan saya pada mereka, "Kenalkan Mas Johan, ini Mas Dikhi, ini Bekti, dan ini Pak Kedung." Kami berjabat tangan, merekahlah senyuman, namun hanya sebentar. Maklum orang baru, saya juga masih awam soal dunia persampahan di Jogja dan sedikit risau bilamana dites kapasitas pengetahuan di dunia persampahan untuk bisa bergabung pada komunitas ini. Paling mentok peran saya soal persampahan di Jogja ya cuma melakukan investigasi kecil atas ditutupnya TPA Piyungan, Maret lalu.
Sebagai koordinator, Bekti berpenampilan paling berbeda. Ia menggunakan sorjan lengkap dengan blangkon cokelat serta celana hitam gombrong yang ujungnya dilipat. Di sepedanya, Ia membawa banyak sekali alat dalam kresek. Mulai dari sarung tangan berbahan lateks, scrapper yang biasa digunakan untuk meratakan semen tembok, tang, hingga semprotan burung yang entah untuk apa. Ia ramah, logat Jawa-nya sangat kental untuk menyapa saya yang sebenarnya bisa Bahasa Jawa juga. Kami bertiga pun beramah-tamah dengan aneka topik obrolan renyah.
Beberapa relawan telah berhimpun. Bekti akhirnya membuka kegiatan setelah kami semua mengobrol hampir satu jam. Relawan yang ikut pada kegiatan malam ini pun rupanya berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, entah latar sosial, ekonomi, maupun kultural. Ada mahasiswa dari Nusa Tenggara, ada bapak-bapak paruh baya dengan motor Astrea, anak-anak usia SMP dan SMA, hingga saya yang merupakan karyawan swasta. Atmosfer keberagaman benar-benar terasa.
Dengan fasih, Bekti menjelaskan apa itu Garuk Sampah, apa landasan gerakannya, dan mengapa Garuk Sampah harus tetap bergerak setiap minggunya. Berbeda dengan organisasi lingkungan lain, Garuk Sampah adalah gerakan dengan landasan gotong-royong. Perbedaan penyebutan antara organisasi dengan gerakan menunjukkan bahwa Garuk Sampah itu organik, tidak memiliki kepengurusan khusus, sehingga terbuka bagi siapa saja yang ingin mengambil peran. Garuk Sampah rupanya bukan organisasi main-main, Ia telah diakui Kemenkumham. Wow.
Di sela-sela penjabaran, Bekti menyisipkan apa yang menjadi sasaran Garuk Sampah,
"Kita tidak hanya membersihkan sampah-sampah yang berserakan di jalan, namun juga pelanggaran pariwara seperti pemasangan iklan, spanduk, poster yang sembarangan."
Tak lupa Ia sisipkan peraturan daerah yang dilanggar oleh para pemasang iklan. Tentu Ia paham betul soal regulasi mengingat posisinya sebagai koordinator selama kurang lebih empat tahun.
Kegiatan bersih-bersih dimulai. Semua orang membagi peran, ada yang membersihkan sampah di jalan, menyiangi rumput trotoar, menyisir sampah yang menyelip diantara tanaman pagar, menjumputi puntung rokok, mengikis tempelan poster dan pamflet di tiang dan boks listrik, menyemproti stiker supaya melunak, dan menyapu sampah yang telah dibersihkan relawan sebelumnya. Pembagian tugas terjadi begitu saja.
Dalam setengah jam, pembersihan dinyatakan usai. Semua relawan kembali berkumpul di titik awal, merefleksikan kegiatan pembersihan, berbincang riang sembari mengupas kacang yang hangat terhidang. Seru, meski saya hanya orang baru.
***
Mengabdi dengan Teknologi
Saya masih tidak mengira akan betah di gerakan lingkungan ini. Ya, betah. Tanpa paksaan, setiap minggu saya hanya ingin mengikuti giat yang diselenggarakan dua kali, pada Rabu malam dan Minggu sore. Konstan, bahkan aneh rasanya kalau melewati minggu tanpa melakukan giat.
Di Garuk Sampah, saya diamanahkan sebagai Masmin. Menjadi Masmin, tugas saya membuat poster dan memublikasikan aktivitas giat setiap minggu melalui media sosial. Sederhana, namun diperlukan konsistensi setiap minggunya.
Setiap hari Senin, biasanya saya sudah meminta Bekti untuk menentukan dimana lokasi giat untuk Rabu malam. Bekti biasanya akan membuka diskusi di grup, meminta kawan Garuk Sampah untuk patroli dan melaporkan adanya timbulan sampah. Lalu pada Selasa siang, konten poster giat sudah siap edar baik melalui web, media sosial, maupun kanal Jaringan Komunikasi Relawan. Di Rabu malam sewaktu giat dilaksanakan, saya mengambil dokumentasi serapih mungkin dengan perangkat A70 saya. Dokumentasi ini selain dibutuhkan sebagai bukti otentik bahwa Garuk Sampah memang berkegiatan setiap minggunya, juga dipakai untuk bahan poster giat minggu berikutnya. Pada saat giat berlangsung, saya membuat live tweet dan membagikan cerita di akun Instagram @garuksampah. Hari berikutnya, semua dokumentasi dicadangan ke Google Photos dengan tautan yang dibagikan ke grup Jarkom. Terakhir Jumat, saya menulis rilis di web Garuk Sampah dengan gaya naratif.
Sejak Juni 2020 lalu, Garuk Sampah kembali mengaktifkan giat di wilayah Kabupaten Sleman setelah vakum selama tiga tahun. Wajar, Sleman dengan wilayah yang lebih luas memiliki permasalahan sampah yang lebih kompleks. Penambahan giat juga makin menyibukkan saya di Garuk Sampah. Kesibukan mingguan kini ditambah dengan membuat poster untuk Minggu sore pada hari Jumat, dan penulisan rilis pada Senin keesokan harinya. Bekti memaklumi kalau saya pun keteteran dan butuh kru tambahan sehingga Ia menunjuk beberapa orang untuk jadi kaki tangan saya.
***
Tidak Semudah Itu
Kalau boleh jujur, kadangkala saya merasa Garuk Sampah adalah pekerjaan utama, dan pekerjaan saya yang sesungguhnya adalah sampingan. Bukan, bukan saya keteteran dengan kerjaan saya, namun efektif dan efisiennya kerja saya di kantor membuat banyak pekerjaan tuntas dalam waktu singkat meski tenggat waktu (deadline) masih lama. Alhasil di kantor sesekali saya mengerjakan sesuatu untuk Garuk Sampah. Memang saya menyamakan Garuk Sampah sebagai pekerjaan dan pengabdian.Apa saja yang telah saya lakukan di Garuk Sampah?
a. Poster dan Penomoran
Poster adalah bidang yang saya kuasai. Jelas wong saya desainer grafis, tapi tidak gratis. Dalam mendesain poster, saya selalu cantumkan 6 hal pokok: nomor giat, logo GS, alamat web, hari (tanggal) dan waktu, serta lokasi giat. Nomor giat sendiri sebenarnya sedikit rancu, apakah Garuk Sampah sudah melakukan giat hingga 280 kali (untuk Rabu malam) dan 80 kali (untuk Minggu sore), karena beberapa waktu sebelum saya menjadi relawan desain, tidak ada penomoran. Sebenarnya dulu Garuk Sampah sudah melakukan penomoran giat. Sayang penomoran terputus sehingga diasumsikan giat telah berlangsung selama 280 minggu sejak pertama kali dilakukan pada 2014 lalu.
b. Digitalisasi
Meski hanya gerakan masyarakat sipil biasa, tetap perlu dilakukannya digitalisasi. Garuk Sampah pada 2017 memperoleh status badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM sehingga memiliki akta pendirian sebagai organisasi non-profit (LSM). Berhubung Google, raksasa teknologi dunia memiliki program yang memberdayakan LSM dengan teknologi secara gratis melalui Google for Nonprofit, saya daftarkan GS pada program ini per Maret 2020.
Setelah menunggu kurang lebih 3 hari pasca pendaftaran, beruntung GS lolos seleksi sebagai LSM yang mendapat bantuan dari Google. Garuk Sampah secara khusus memiliki alamat surel dengan akhiran @garuksampah.org dengan kapasitas penyimpanan 30 GB per akun, bebas menambahkan akun dengan akhiran yang sama tanpa biaya tambahan, dan banyak manfaat lainnya.
c. Maksimalkan Media Sosial
Saat ini media sosial merupakan salah satu ujung tombak dalam banyak gerakan sosial. Ada banyak sekali contoh dimana media sosial dapat menarik simpati massa dalam jumlah besar, seperti pada Juni lalu ketika tagar #BlackLivesMatter menggema di jagat internet. Sebagai Masmin, saya mengoptimalkan media sosial untuk menggalang relawan supaya berpartisipasi dalam giat. Meski jumlah relawan terus mengalami pasang surut kecuali bagi kawan Garuk Sampah yang sudah biasa ikut, setidaknya khalayak umum jadi tahu kapan serta dimana giat berikutnya akan dilakukan. Paling banyak, 32 relawan ikut membersihkan Simpang Ronggowarsito.
Selain memancing keikutsertaan relawan, media sosial juga menjadikan nama gerakan ini menggema di media-media lokal dan nasional. Hampir seluruh televisi swasta nasional pernah meliput aktivitas GS, begitu pula dengan media lokal baik daring maupun cetak.
***
Perubahan Arah
Enam tahun Garuk Sampah bergulir, rupanya gerakan ini kudu banting setir. Ya, Garuk Sampah selama ini rupanya tidak mampu mengurai persoalan sampah khususnya di wilayah Kota Jogja. Di sisi lain, Garuk Sampah justru terlihat sebagai kaki tangan atau pembantu pemerintah yang seharusnya berkewajiban menangani masalah sampah di kota kecil ini (UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah). Justru yang terjadi adalah Garuk Sampah bagai agensi relawan atau petugas kebersihan gratis yang melakukan piket mingguan pada Rabu malam dan Minggu sore. Kondisi seperti ini justru mempermudah kinerja pemerintah dan bukan malah mengkritisinya. Per September 2020, alias genap setahun saya bergabung, Garuk Sampah pun dirombak total.
Saya termasuk pihak yang setuju Garuk Sampah untuk dirombak. Kalau Garuk Sampah tetap bergerak dengan cara yang sama, apa yang dilakukan oleh para kawan dan relawan adalah kesia-siaan sehingga lebih baik dibubarkan saja. Pendapat ini saya sampaikan ketika Garuk Sampah #reboot dengan diskusi renyah di Angkringan Wedang Secang di Kotagede, pertengahan September. Secara tidak langsung juga saya mengkritisi Bekti Maulana selaku koordinator gerakan ini, yang justru membuatnya terlihat sibuk di gerakan daripada menjalani kehidupan pribadi. Memang inilah kekurangan Garuk Sampah selama enam tahun, jalan di tempat, tidak berani menggebrak meja nyaman para pejabat pemerintahan setempat.
***
Epilog.
Satu tahun adalah waktu yang cukup singkat bagi saya di Garuk Sampah. Ya meski bagi beberapa kawan Garuk Sampah, saya terlihat kurang berguna dalam gerakan ini karena pasif sewaktu giat, faktanya saya sibuk di balik layar, maka wajar di hari giat saya memilih rehat karena datang untuk srawung belaka.
Saat ini Garuk Sampah dinyatakan rehat sembari menyusun strategi baru guna mendesak pemerintah daerah untuk segera menangani persoalan sampah, baik sampah domestik maupun sampah iklan. Bersamaan dengan momen ini, mungkin saya juga mengistirahatkan diri sebagai Masmin, karena toh waktu saya tinggal 9 bulan lagi berada di Jogja apabila Tuhan mengaminkan rencana lanjut studi saya di Belanda.