Blog ini sedang dalam masa pemeliharaan.

Etape #2: Tentang Bandara dan Menantang Angin

Bagi pesepeda, angin bisa jadi kawan sekaligus lawan. Namun untuk kali ini, angin sepertinya harus dilawan.
Para penglaju memulai perjalanan mereka menuju Kota Jogja

Saya kembali mengamati gelang yang strap-nya sudah tidak asli itu. Jam menunjukkan pukul 06:23 pagi, dan saya belum melihat tanda-tanda keberadaan Bang Pepe di Tugu Pensil. Kami memang janjian di Pertigaan Kenteng ini sebelum melanjutkan gowes ke bandara Yogyakarta International Airport (YIA).



Suasana pagi begitu segar. Kabut masih melapisi hamparan sawah dan perkebunan Sentolo, sedang sorot mentari berwarna keemasan di ufuk utara menyilaukan pandangan siapa saja yang menuju Kota Jogja. Lalu lalang kendaraan relatif sepi laiknya hari-hari biasa.

Selamat Pagi dari Kulon Progo, kawasan favorit saya

Jalan Wates di pagi hari, relatif sunyi

Pagi-pagi saya sudah bangun dan terjaga. Tidak seperti biasanya saya terjaga pasca subuh, biasanya sih tidur lagi. Apalagi ini hari Minggu, haram hukumnya untuk bangun pagi! Galaxy Fit saya menunjukkan waktu tidur saya yang defisit tiga jam dua puluh tujuh menit. Ya, semalam waktu akan tidur saya dibuat overthinking oleh teman-teman yang awalnya meledek status percintaan saya. Setelah dipikir-pikir, menjomblo lebih asik karena tidak memikirkan orang yang atau kedekatan secara personal lainnya.

'Aku ne kene ki,pos polisi' japri Bang Pepe kebingunan mencari saya. Ia mengirimkan foto pertigaan dengan tikungan serupa di Kenteng. Saya cermati perlahan... oh dia sudah lebih dulu tiba di Pertigaan Toyan. Hmm, enggak jadi deh duduk leyeh-leyeh sambil ngemil makaroni pedas kesukaan saya.

Lanskap perbukitan Menoreh dilihat dari Jln. Nasional 3


Untuk setiap kayuhan sepeda, saya pastikan datanya terekam oleh gelang saya. Memang sih data olahraga saya akan disinkronisasikan dengan perusahaan yang menyediakan gelang dan aplikasinya. Tapi untuk tahu seberapa tangguh jantung saya berdetak, kenapa tidak?

Memasuki kawasan Wates Kota, saya bernostalgia dengan semangat menyelesaikan skripsi dalam tiga bulan, satu setengah tahun lalu. Penelitian saya waktu itu mengenai Toko Milik Rakyat, program perekonomian populis dari Pemkab Kulon Progo apakah benar-benar memajukan perekonomian setempat. Jawabannya, tidak terduga. Dan saat ini, saya lihat ada beberapa toko modern baru yang jarak antar toko dengan merek waralaba yang sama berdekatan, bahkan tetap dalam radius 1 kilometer dari pasar tradisional. Entah regulasinya sudah berubah belum.

***

Saya berjumpa Bang Pepe. Rupanya Ia tak menggunakan sepeda tinggi warna jandanya yang biasa, "Ora penak Jun, mengko nek ngomong adoh-adohan (Enggak enak Jun, nanti kalau ngobrol berjauhan)." Sepeda yang Ia pakai adalah roadbike milik Mandra—nama sebenarnya Ikhsan. Sepeda inilah yang membuat saya makin menggebu-gebu untuk memiliki sepeda jenis roadbike alias sepeda balap, namun yang variasi jadul. Meski disusun dari rangka bekas, sepeda Mandra enak untuk dibawa melaju jauh. Satu hal yang saya kurang sukai, stangnya menggunakan tipe dropbar alias bikin punggung dan tulang belikat pegal.

Patung Hamemayu Hayuningrat yang berarti Ibu Bumi Bapak Angkasa di pelataran beranda Bandara Yogyakarta International Airport (YIA)

Kami berdua bergegas mengayuh pedal. Udara pagi masih menusuk kulit, menguapkan keringat dengan cepat. Sepanjang Jln. Nasional 3 Kulwaru ini, saya tak henti-hentinya memandang sudut barat laut. Jauh di mata, jejeran perbukitan membentuk Pegunungan Menoreh masih diselimuti kabut tipis dan awan di atasnya. Bukit yang membatasi Kulon Progo dan Magelang secara geografis ini membuat saya kangen untuk segera pulang ke Magelang sekelarnya wabah. Sudah lima bulan lamanya saya tidak menyambangi kampung halaman meski jarak terpaut 70-kilometeran. Awal Juni lalu sempat pulang ke kota asal untuk ambil BPKB, namun tidak mampir rumah karena khawatir jadi carrier.

Matahari kian meninggi dan banyak pesepeda lain yang mengambil rute searah dengan kami. Disela-sela obrolan, kami memacu sepeda lebih cepat. Tibalah kami di pintu bandara yang dibangun dengan penuh polemik ini. Banyak pesepeda yang tiba bersamaan dengan kami berfoto di papan nama depan. Berhubung hanya saya dan Bang Pepe, kami lekas masuk gerbang. Meski palangnya otomatis, ada satu petugas jaga, "Enggak usah ambil tiket mas, masuk aja di sela-sela gerbang." Mungkin guna mengantisipasi kesalahan pencatatan tiket? Atau memang pesepeda digratiskan karena siapa juga yang ke bandara pakai sepeda?

Tiga tahun pembangunan dan sudah beroperasi penuh sebagai landasan udara komersil utama di DIY, rupanya YIA masih gersang. Memang butuh waktu beberapa tahun supaya kawasan pembangunan bandara ini kembali hijau. Angin kencang bertiup dari arah selatan membuat mata saya kelilipan. Beberapa pesawat lepas landas, dan moga kencangnya angin selatan di musim kemarau tidak menjadikan terbangnya burung-burung besi itu terkendala.

***

Jalan akses menuju bandara ini memisahkan jalur sepeda motor dan jalur kendaraan roda empat atau lebih. Jalan bercabang menjadi tiga, kami diarahkan mengambil sisi kanan karena pesepeda dilarang naik ke jalan layang. Sejauh pandangan saya, sebagian besar sisi depan bandara ini habis untuk zona parkir. Memang bandara ini diproyeksikan akan melayani hingga 25 juta penumpang guna mendongkrak pariwisata di DIY dan Jawa Tengah khususnya. Meski begitu, proyeksi ini akan berlangsung jangka panjang karena masih banyak infrastruktur yang kurang menunjang seperti akses kereta bandara dan jalan tol. Kedua ini penting mengingat jarak bandara ke Kota Jogja yang menjadi pusat ekonomi terbilang cukup jauh.

Masjid Al-Akbar di area bandara Yogyakarta International Airport
Interior masjid bandara
Beberapa Muslimah menyempatkan ibadah solat dhuha
Arsitektur batik kawung diterapkan pada atap bandara

Kami memarkirkan sepeda tak jauh dari masjid. Seperti biasa, Bang Pepe menunaikan ibadah solat dhuha yang sudah menjadi rutinitasnya. Saya? Tentu memotret arsitektur bandara dan masjid yang adem meski tanpa pendingin udara ini.

Usai solat, kami bergegas menuju lantai tiga. Tidak sedikit rupanya pesepeda yang menjadikan bandara sebagai lokasi untuk check-in/checkpoint. Mereka memarkirkan sepeda bercampur dengan sepeda motor. Beberapa ada yang mengunci sepeda, sisanya memercayakan pada sorotan kamera CCTV. Gedung yang kami masuki ini benar-benar masih kosong, dan mungkin separuh jadi. Dengan melihat rambu-rambu (signage) yang ada, kemungkinan gedung ini hanya akan jadi penghubung pejalan dengan gedung parkir, lantai dasar yang kemungkinan diisi foodcourt, area check-in di lantai tiga, dan stasiun bandara.

Meski banyak orang berkunjung ke tempat ini, tidak banyak yang minat berfoto karena memang bandara belum benar-benar rampung. Arsitekturnya benar-benar unik, bentuk pengejawantahan unsur-unsur budaya Jawa dalam infrastruktur perhubungan. Ketimbang gerbang keraton yang ada di pintu area check-in, saya lebih menyukai penggunaan motif batik kawung di bagian atap bandara. Lubang-lubang dalam motif batik memberi kesempatan bagi cahaya matahari untuk menerangi area loading kendaraan di lantai 3. Moga saja dengan cara ini bandara akan rendah emisi. Namun saya terlanjur pesimis karena jejak karbon dari pesawat terbang pun lebih tinggi. Dengan arsitektur yang saling bersilang ini bangunan fisik bandara terlihat makin kokoh meski faktanya bandara ini terletak sangat dekat dengan laut dan di zona merah likuifaksi dan gempa.

Area penghubung di lantai dua bandara
Minibus Damri siaga untuk mengantar penumpang ke kota-kota satelit
Signage di area bandara belum lengkap karena pembangunan belum selesai

Meski masih dalam masa pandemi, bandara yang sudah menggantikan sepenuhnya penerbangan dari Bandara Adi Sucipto sejak April 2020 ini telah membuka rute penerbangan. Di lantai dua terlihat antrean para penumpang yang sudah membawa dokumen-dokumen yang diperlukan. Beberapa penumpang lainnya mengikuti rapid test yang diselenggarakan pengelola bandara. Di lantai tiga pun terlihat beberapa kali kendaraan menurunkan penumpang dengan bagasi-bagasi mereka. Praktik isolasi per daerah mulai dilonggarkan oleh Pemerintah Pusat menyusul pukulan yang telak terhadap sektor perekonomian. Namun apakah ini adalah opsi yang terbaik? Waktu akan menjawabnya.

***

Bosan berswafoto di lantai tiga, kami segera ke lantai dasar. Berhubung sepeda dilarang untuk dibawa ke lantai tiga, banyak pesepeda yang memilih berfoto ria di sini. Ada yang datang dalam kelompok kecil, ada juga yang bersama komunitas dengan identitas khasnya, ada pula yang hadir rombongan meski jenis sepeda berbeda-beda. Semua merayakan keberhasilan bisa sampai di bandara, memenuhi galeri foto, sebelum akhirnya kembali melanjutkan perjalanan. Di lantai dasar, beberapa bus dan minibus Damri berjajar menanti penumpang. Ia telah memiliki jadwal untuk berangkat ke beberapa kota satelit seperti Kebumen, Purworejo, dan Magelang.

Pemandangan Bukit Menoreh yang dibom untuk urugan landasan pembangunan bandara
Motif batik kawung pada atap dilihat dari dekat
Saya berfoto di lantai 3 bandara, cukup instagrammable

Bang Pepe memarkirkan sepedanya. "Jun nyilih tak foto nggo pitmu wae," kami bertukar sepeda. Meski sepeda yang saya pakai juga sepeda teman yang ditinggal kerja di Sulawesi, sepeda ini tampak fotogenik juga kalau latarnya juga pas.

"Jal kowe nggenjot alon nututi garis putih men mengko tak fotone," instruksi saya pada Bang Pepe. Dikayuhnya sepeda fixie frame Soloist itu perlahan. Saya bergegas menyentuh tombol rana. Satu - tiga foto cukup bagus diabadikan.

***

Setiap Minggu sore, saya melakukan bakti giat bersih-bersih kota bersama komunitas Garuk Sampah. Meski baru pukul 09:30 pagi, saya mengajak Bang Pepe untuk segera pulang, "Lewat terowongan, lanjut Srandakan njuk Pleret. Ngko ngalor ning kota, hehe."

Area loading kendaraan sangat lebar
Bang Pepe biasa bersepeda jarak jauh di akhir pekan
Jalur difabel sudah tersedia di area bandara, namun belum terintegrasi sepenuhnya
Area lantai tiga bandara
Kawasan sekitar bandara masih sangat gersang

Tepat di bawah bandara ini ada terowongan terpanjang di Indonesia. Kurang lebih panjangnya 1,3 kilometer dengan pintu terowongan yang dihiasi kepala Batara Kala. Di sepanjang terowongan, ada beberapa mesin baling-baling yang meniupkan angin. Mungkin supaya tidak pengap ya. Dalam jarak tertentu terdapat pintu keluar darurat dan lubang ventilasi cahaya di atasnya. Ada pula pengeras suara yang memperingatkan para pengendara supaya berhati-hati dan tidak berhenti di dalam terowongan.

Kami keluar terowongan. Jalanan yang semula lebarnya empat lajur, kini kembali menyempit hanya dua lajur dan dua arah.

Bandara baru diperkirakan akan membawa kesejahteraan terutama bagi 400 ribu warga Kulon Progo. Proyek ini tentu akan memiliki konsekuensi dengan datangnya proyek-proyek lain seperti kota bandara, kawasan industri, klaster perumahan dan sebagainya. Implikasinya pun terlihat di awal-awal pembangunan ketika harga tanah meroket. Namun sejauh yang saya lihat selama bersepeda, warga Kulon Progo memiliki definisi kesejahteraan yang berbeda. Bisa tetap bercocok tanam sudah jadi survival strategy dalam hidup mereka. Yap, para petani tengah menikmati musim panen ketiga mereka di tengah pandemi.




***

Bagi pesepeda, angin bisa jadi kawan sekaligus lawan. Sayangnya untuk saat ini, angin bukanlah rekanan saya. Bang Pepe dengan sepeda roadbike tentu diuntungkan karena bisa oper gigi. Wujud fisiknya sudah tak terlihat di pandangan saya, mungkin kami sudah berjarak tiga kilometer. Beberapa kali saya membungkukkan badan supaya bersepeda lebih aerodinamis, namun sia-sia. Kecepatan sepeda saya yang biasa 30-40 kilometer per jam di lintasan mendatar, menjadi 5-15 kilometer saja. 😂

Kencangnya angin membuat saya tidak stabil, bahkan dalam mengambil gambar ini


Angin kencang terus bertiup dari arah tenggara. Musim kemarau memang ditandai dengan angin dari selatan, angin kering dari Australia yang sedang merayakan musim dingin. Apalagi siang hari angin berhembus ke arah daratan, biasanya nelayan memanfaatkan angin ini sepulang dari laut. Bagi saya yang pesepeda, angin apabila hembusannya searah tujuan bisa jadi bantuan untuk akselerasi, namun beban berat ketika arahnya berlawanan. Bahkan petani yang berjalan menggotong gabah jauh lebih cepat daripada saya yang bersepeda. 🤣

Tak lama, saya kembali bertemu Pepe. Ia berteduh di bawah satu-satunya pohon teduh di tengah hamparan sawah luas. Saya tawarkan minuman dingin yang saya beli sewaktu mampir di Bugel. "Kayake aku kudu ngelepas jaket deh, ben angine mblobos," ujar saya pada Pepe. Beruntung sebelum meninggalkan bandara kami berdua sudah mengoleskan tabir surya SPF-40 supaya kulit tidak tersengat parah oleh sorot mentari.

Saya masih suka kaget dengan kuliner yang berharga murah namun enak


Perjalanan dilanjutkan. Begitu jalan menikung ke arah timur laut di Galur, perjalanan jauh lebih mudah karena kami menjauhi kawasan bibir pantai. Tiba di Jembatan Srandakan, kami putuskan untuk menikmati Sup Buah terdekat. Bang Pepe biasa mampir di Sup Buah Bang Jampang. Seporsi sup buah segar hanya Rp. 5.000,- di sini. Murah? Banget buat saya yang bisa nemu di Sleman seharga Rp. 8.000-an.

Rute sepeda dari Srandakan ke Pleret terlampau datar. Satu yang menyebalkan adalah jalanannya yang membosankan, hanya terdiri dari satu - dua tikungan, sisanya perempatan dan perempatan. Pemandangan hanya sawah saja. Meski sempat hampir menyerah karena sekujur tubuh mulai pegal dan nyeri akibat berat melawan terpaan angin, saya berhasil menuntaskan rute sejauh 102 kilometer ini berkat dukungan semangat Bang Pepe. Segelas es dawet menutup Etape #2 kali ini.
Cuma seorang pejalan yang gemar memaknai hubungan sosial.

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.