Tak pernah terbayang dalam hidupku — seorang perantauan di Bogor yang tinggal di asrama, ditolak kampus sekelas Universitas Indonesia (UI). Yap, aku dari dulu memang mengidamankan UI, kampus yang punya segudang fasilitas hebat dan almamater serba kuning ini telah memikat hati. Aku dan Ahfie Rofi, sahabat Sunda-Cinaku, menargetkan UI dari berbagai seleksi masuk kampus yang ada. Terhitung sudah ada 3 jenis seleksi yang kami coba: SNMPTN, SBMPTN, dan SIMAK UI. Dan alhamdulillah semua ditolak mentah-mentah sama kampus serba ‘wah’ itu.
Beruntung, kami yang memang sedari SMP sudah bersahabat, ternyata persahabatan kami berlanjut sampai jenjang perkuliahan. Meskipun kami ditolak di UI, tapi masih diterima di Universitas Gadjah Mada (UGM) walau berbeda departemen dan fakultas. Mungkin memang takdir persahabatan kami tak berlanjut di UI.
Aku sudah mencoba segala cara agar bisa masuk UI. Di SNMPTN, aku pilih Ilmu Komunikasi UI, Kesejahteraan Sosial UI, dan Arkeologi UI. Di SIMAK UI, aku pilih Ilmu Komunikasi, Kesejahteraan Sosial, dan Kriminologi. Tapi takdirku justru hadir di pilihan kedua SBMPTN. Berbeda dengan Rofi yang selalu mencantumkan Sastra Arab (Sasbar) ditiap pilihannya.
Sore itu gerimis mengguyur Parung, gemericiknya runut membentuk notasi begitu menyentuh aspal. Aroma tanah basah menyeruak, hidungku bisa dengan jelas merasakannya. Meski hujan, semburat sinar matahari berusaha menembus awan, memberikan secercah cahayanya untuk aku yang sedang menelpon ibu di balkon barat lantai 4.
“Gantian woi!”
Aku melangkah gontai, resah menunggu pengumuman SNMPTN. Tanganku meraih modul bimbel di atas lemari. Ya, ini buku ‘sakti’ terakhirku. Aku ogah keluar banyak modal cuma buat beli buku-buku SBMPTN seperti teman-teman yang lain. Toh buku-buku itu pada akhirnya tak berguna karena aku lebih suka liat kunci jawaban langsung atau sekadar ke warnet buat menjajal simulasi daring UN. Aku tak mau buang-buang uang.
Keesokan harinya datang juga hari yang kutunggu, hari di mana pengumuman penerimaan via SNMPTN diumumkan. Seharusnya hasil SNMPTN sudah diumumkan pukul 09.00 WIB melalui TOA sekolah, tapi ternyata belum ada juga. Walau punya nilai rapor yang nggak jelek-jelek amat, seuprit prestasi di tingkat nasional, juga rekam jejak yang nggak neko-neko di sekolah, namun hari itu aku gusar. Aku membayangkan kalau aku diterima di UI lewat SNMPTN pasti mengasyikan sekali, membayangkan memakai jaket kuning saja membuat hati ini berdebar. Belum lagi kampusnya lengkap, berangkat kuliah bisa naik kereta, kalau ngekos dekat-dekat situ bisa berangkat kuliah naik sepeda, atau naik bis kuning supaya lebih hemat ongkos. Aku sudah merencanakan apa saja yang mau aku lakukan di UI. Ikut lomba ini-itu, ikutan di BEM, nge-gym, tinggal di asrama lalu ngekos di sekitaran Pondok Cina, banyak! Bahkan aku juga sudah memutuskan kerja paruh waktu seperti apa di Margonda nanti.
Karena tak kunjung ada juga pengumuman lewat TOA, aku mengajak Rofi untuk bertanya langsung ke guru di ruang BK. Aku yakin, di sana guru BK kami pasti sedang mengotak-atik data.
Dari asrama lantai 4, kami melewati wisma guru asrama di lantai 2, dan anak-anak yang sukanya menyaksikan Indonesia Super League (ISL) kalau sore di kantin lantai dasar. Asrama kami memang satu komplek dengan sekolah, dalam dua menit sampailah kami di sekolah dan langsung berpapasan sama Bu Ana dan Bu Uci.
“Assalamualaikum bu, hasilnya udah keluar belom?”
“Udah, ini bentar lagi ibu mau umumin.”
Aku sama Rofi mempersilakan Bu Ana dan Bu Uci masuk ke ruang TOA. Ding dang ding dung... bunyi TOA yang biasa kami kenal mulai mengudara. Ada suara berdehem, sejurus kemudian pengumuman pun terpampang nyata!
“Assalamualaikum. Hari ini telah didapatkan 11 mahasiswa ... blablabla ... melalui jalur SNMPTN. Ustadzah ucapkan selamat kepada... ”
Jantungku deg-degan BANGET! Rofi menunduk sambil memasukkan tangannya ke saku jaket angkatan kami. Aku menahan napas, berusaha fokus mendengarkan pengumuman beliau.
“... Karunia Adiyuda Dilaga, diterima di blablablabla. Muhammad Zulkifli, diterima di blablablabla...”
Perasaanku mulai gak karuan ketika nama kedelapan disebutkan. Apakah nama kami ada di sana?
“... Yodie Ikhwana, diterima di blablablabla. Dan Juniar Tirja Pratama Gamgulu, diterima di blablablabla... ”
... nama kesebelas pun terucap. Namaku gak ada.
NAMAKU GAK ADA!
NAMAKU GAK ADA!
“NAMA AKU GAK ADA FI!”
“GAK ADA!”
“GAK ADAAAK!” Panik kugoyang-goyangkan bahu Rofi. Tremor sudah!
“NAMAKU JUGA!” ujar Rofi
Nyesek, kami pun bertanya-tanya, ‘Masa sih nama kami nggak ada?’
Kami berdua mengerubungi Bu Ana, disusul beberapa anak yang baru datang dari asrama. Beliau memberikan selebaran lembar ketikan. Dan benar, nama kami tidak ada. Tanganku lemas sembari mengedarkan kertas tadi ke anak-anak lainnya. Aku diam. Aku nggak nyangka, kami berdua enggak diterima lewat jalur undangan. Kami berdua pasrah. Hujan deras mengguyur pun mendramatisir kisah kami kala itu.
![]() |
Saya berswafoto bersama kawan-kawan angkatan saya di sekolah |
Kami berdua melangkah lemas — dengan sedikit mewek, dan menghindari kerumunan massa. Kami menghindari tangga barat di mana anak-anak sedang nonton teve. Takut banyak yang menanyakan nasib kami, akhirnya kami memutar lewat tangga timur. Suara jeritan anak-anak yang diterima SNMPTN menggema sampai ke lantai dasar. Gemanya terus terngiang di pikiran kami berdua.
NYESEK njir! Aku dan Rofi cuma duduk-duduk di tangga bawah. Merenung dan sedikit bersedih. Gak disangka ternyata kami berdua memang kurang memenuhi kualifikasi diterima melalui jalur SNMPTN. Aku sendiri menyadari kalau nilai Ekonomi-ku anjlok sejadi-jadinya. Tapi masih jauh lebih beruntung daripada Rofi yang anjlok sana-sini, hehehe.
Rasanya nyesek dan pengin maki-maki diri sendiri, ‘Kenapa ya aku nggak belajar serajin-rajinnya, atau ibadah 24×7 gitu.’ Dalam kondisi ini, kayaknya aku jadi lebih dekat sama Tuhan, mencurahkan segala isi hati, segala gusar, dan berusaha menenangkan diri dengan baca Kitab. Ya, aku yang sebelumnya putus asa gara-gara tak lolos di SNMPTN, makin terpacu karena aku berpikir,
“Tuhan mungkin gak memuluskan jalan aku lewat SNMPTN karena menurut-Nya, jalur itu terlalu mudah buat aku. Maka, Ia mencoba menguji kemampuan dan kesabaran aku melalui SBMPTN”.
Pasca pengumuman SNMPTN, akhirnya kelas bimbel di sekolahku dimulai kembali kala itu. Di dalam kelas wajah-wajah lesu nampak mewarnai kelas yang dimulai pukul 6 dan berakhir jam 7 pagi tersebut, berulang kali guruku bilang, “Kalian sebenarnya jauh lebih beruntung, karena yang diterima di SNMPTN HARUS mengambil apa yang mereka pilih agar sekolah tidak di-blacklist oleh panitia SNMPTN. Jadi, kalian yang lewat SBMPTN bisa memilih dan mengambil jurusan kalo cocok ato enggak”.
Wah, iya juga. Misalnya si Udin memilih Keperawatan. Entah dia milihnya serius atau tidak, pastinya dia harus ambil dong biar sekolahnya nggak di blacklist kampus itu, hehehe. Aku pun jadi lebih bersemangat dan lebih serius untuk memilih jurusan yang kumau.
Jujur, aku sendiri bingung BANGET untuk memilih jurusan apa.
Terhitung ada ratusan jurusan yang tersedia di kampus. Ketika pembagian jurusan IPA-IPS, maka bisa dibilang berkuranglah jumlahnya. Tapi ketika SBMPTN semua orang hanya dikasih 3 kesempatan pilihan, aku kudu banting setir putar otak sambil lirik-lirik jurusan mana yang prospeknya bagus (ke depannya), juga pastinya dengan kelas yang cukup santai pas kuliah (#AkuBanget). Setelah melihat profil masing-masing jurusan, cek prospek kerja dan tanya ke alumni sana-sini, aku jatuh hati pada tiga pilihan besar berikut:
- Ilmu Komunikasi UI
Yap, aku suka banget sama dunia jurnalistik yang juga ada di Ilmu Komunikasi. Menurutku keduanya memiliki keterkaitan dengan hobiku. Selain kampusnya yang udah jelas eksklusif dan kondusif, letak UI yang di Depok sangat strategis buatku jika hendak melancong ke mana-mana: Jakarta, Bogor, Bandung bahkan Singapura.
- Sosiatri UGM
Aku nggak tahu sebelumnya kalau jurusan yang getol banget memerhatikan masalah sosial, kebijakan pemerintah, dan dunia perpolitikan ini ternyata sudah berganti nama menjadi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Jurusan ajaib ini rupanya mempelajari 3 jurusan (Manajemen Kebijakan Publik, Sosiologi, dan Politik Pemerintahan) sekaligus dan mempunyai prospek cerah karena banyak perusahaan yang membutuhkan Community Development Officer (CDO) dari lulusan ini. Dan, banyak juga yang langsung diterima kerja usai wisuda dari sini, hehe.
- Jurnalistik Universitas Padjajaran
Jurnalistik Unpad menjadi jurusan cadangan kalau kalau aku gak diterima di Ilkom UI. Sayangnya aku gak diterima di jurusan yang baru dibuka pada 2015 ini. Tapi mengapa, toh tiap kampus pasti ada pers mahasiswanya (persma).
![]() |
Sesi Pemotretan di Gedung Balairung UGM |
Setelah banting gayung untuk buru-buru mandi mengikuti bimbel pagi, tarik sarung setiap pukul 03.00 WIB, juga belajar sehidup-semati, alhamdulillah aku diterima di Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) UGM. Yap, kehidupan baruku mulai diukir di kampus ini, kampus kerakyatan katanya. Akan seperti apa? Aku juga tak tahu. Yang jelas untuk adik-adik kelasku jangan menyerah. Belajarlah yang giat kalau memang kalian ingin masuk ke jurusan favorit di kampus favorit. Yang pasti mau SNMPTN atau SBNMPTN, kelak kamu akan jadi mahasiswa baru (maba) yang membawa nama sekolah ke kancah dunia perkuliahan, jaga baik-baik ya!
*tulisan ini pernah dipublikasikan di situs web sekolah pada Juli 2015
**tulisan disunting ulang menggunakan bahasa kekinian