Jadi, Apa Saja Tujuan SDGs yang Lebih Prioritas untuk Magelang?
Seperti yang kita ketahui, SDGs atau Sustainable Development Goals adalah 17 cita-cita PBB berbentuk kesepakatan antar anggota guna mewujudkan pembangunan yang manusiawi, memperhatikan hak-hak asasi manusia dan kesejahteraan, juga berkelanjutan. Ketujuh belas cita-cita ini diharapkan dapat terwujud pada tahun 2030.
![]() |
Indonesia melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah berkoordinasi guna menyukseskan cita-cita ini. Dengan landasan Peraturan Presiden (Perpres) №59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), Bappenas tak hanya berkoordinasi dengan pemerintah daerah saja, namun juga lembaga non-pemerintah seperti para pelaku usaha, komunitas filantropi, masyarakat, hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM). Bappenas menggunakan prinsip keterbukaan, partisipatif, dan inklusif sehingga setiap pihak dapat berkontribusi serta memberikan masukan guna pencapaian TPB yang lebih terukur dan maksimal.
Lalu, sebenarnya apa saja sih dari ketujuh belas tujuan SDGs yang (bagi penulis) lebih urgen untuk diprioritaskan pencapaiannya di Kota Magelang?
![]() |
13. Penanganan Perubahan Iklim
Tidak ada satu pun daerah yang tidak mengalami dampak akibat perubahan iklim, begitu pula dengan Magelang. Meski pun mungkin kontribusi Magelang terhadap peningkatan gas efek rumah kaca sangat kecil, bukan berarti Magelang tidak perlu berpartisipasi dalam kampanye dan gerakan penanganan perubahan iklim secara cepat dan tepat. Penanganan perubahan iklim pun cakupannya sangat luas. Sebagai kota yang tidak begitu luas dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit, Magelang cocok dijadikan sebagai site project untuk penerapan program dan kebijakan berbasis lingkungan. Apabila penerapannya menunjukkan hasil positif, kebijakan atau program serupa dapat diimitasi guna diterapkan di daerah lain di Indonesia.
Apa saja program terkait penanganan perubahan iklim? Banyak. Bisa dimulai dari kemitigasian potensi bencana yang sewaktu-waktu bisa terjadi di Tuinn Van Java: gempa bumi, gunung meletus, dan gangguan atmosfer adalah paling berpotensi. Di sisi lain, penyadaran masyarakat, penguatan kelembagaan, serta peningkatan kapasitas dalam mengelola kelestarian dan keseimbangan alam juga perlu dilakukan melalui koridor pendidikan. Lebih jauh lagi dan menyangkut infrastruktur, Magelang melalui pemerintahan daerah tingkat II bisa merubah tata kota (dengan tetap berlandaskan pada Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW) yang lebih mencerminkan gaya hidup berkelanjutan ramah lingkungan (sustainable living).
![]() |
11. Kota dan Pemukiman yang Berkelanjutan
Kota Magelang cukup beruntung karena berada di dalam segitiga ekonomi-budaya Joglosemar (Jogja - Solo - Semarang). Berada di dalam segitiga ini turut membuat Magelang unggul dalam ekonomi yang serta membuat arus investasi meningkat pesat. Magelang pun semakin kokoh sebagai pusat kegiatan ekonomi baru di Jawa Tengah. Namun di sini perlu digaris-bawahi bahwa pertumbuhan ekonomi di suatu kota akan membawa dampak sekunder seperti kencangnya arus urbanisasi dan ledakan jumlah penduduk. Padahal, semakin padatnya penduduk di suatu tempat dan apabila tidak diiringi dengan kebijakan dan pengaturan yang tepat, maka kualitas hidup masyarakat di area urban tersebut akan menurun. Oleh karena itu, Kota Magelang membutuhkan perencanaan perumahan terpadu guna mewujudkan permukiman kota nan inklusif, aman dari kriminalitas, memanusiakan manusia, serta tetap para prinsip berkelanjutan. Kondisi ini baru benar-benar tercapai apabila pelayanan kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi, keadilan bagi seluruh anggota masyarakat (mulai dari kelompok rentan hingga penyandang disabilitas), meminimalisir dampak lingkungan (tanah, air, udara) oleh karena pertumbuhan kepadatan penduduk, juga efisiensi sumber daya.
![]() |
15. Ekosistem Daratan
Kehidupan manusia tidak seutuhnya mandiri. Setidaknya manusia tetap bergantung pada lingkungan untuk bisa bekerja dan menghasilkan makanan: tumbuhan menopang 80% kebutuhan pangan manusia selain kebutuhan akan zat protein dari sumber hewani; kawasan hijau seperti hutan raya hanya tersisa 30% saja dari total luas permukaan bumi, padahal hutan sendiri adalah rumah bagi jutaan spesies, generator oksigen dan udara segar, sumber air bersih, juga salah unsur penting dalam memperlambat proses perubahan iklim. Ketidak acuhan terhadap kondisi ekosistem daratan selama ini terbukti telah memperluas kawasan pertanian menjadi gurun dalam kurun waktu satu abad, atau membuat masa kemarau di Indonesia menjadi lebih singkat, atau lebih lama.
Kota Magelang memang tidak bisa berperan cukup andil dalam melawan perubahan iklim: kecilnya kawasan administrasi kota menjadi penyebabnya. Namun Kota Magelang bisa berperan cukup signifikan dengan cara menjadikan diri sebagai role model penataan kawasan urban berkelanjutan dengan berpartisipasi aktif sebagai promotor program perbaikan ekosistem daratan. Perbaikan ekosistem daratan meliputi upaya perlindungan keseimbangan ekosistem, usaha untuk merestorasi dan meningkatkan pemanfaatan ekosistem daratan (secara berkelanjutan tentunya), memulihkan degradasi lahan, melakukan penghijauan perkotaan (terutama kawasan padat, bantaran Kali Progo serta Kali Elo), pelestarian hutan kota (Bukit Tidar), melawan deforestasi, hingga terus aktif menciptakan inovasi di bidang lingkungan.
![]() |
7. Energi Bersih dan Terjangkau
Pada praktiknya, kegiatan ekonomi tidak terlepas dari penggunaan dan pemanfaatan sumber daya energi yang tersedia. Apabila kuartal akhir abad 20 negara-negara dunia masih memanfaatkan fossil sebagai bahan baku utama pembangkit energi, saat ini tren tengah bergeser menjadi penggunaan energi yang ramah lingkungan berkelanjutan. Penggunaan energi baru ini idealnya tidak menimbulkan polusi yang dapat mendegradasi lingkungan, kapasitas yang tersedia cukup untuk menggerakkan perekonomian suatu wilayah, dapat diandalkan, efisien, dan memiliki satuan harga yang kompetitif dan terjangkau.
Kota Magelang memiliki ribuan bangunan yang haus akan kebutuhan energi. Tak ayal, hingga saat ini sebagian besar kebutuhan energi di Jawa Tengah dan DIY dipasok dari PLTU sebanyak 81,8 persen atau setara dengan 5.153 MW, diantaranya dari PLTU Tambak Lorok 158 MW, PLTU Rembang 560 MW, PLTU Cilacap 562 MW, PLTU Tanjung Jati 2.643,8 MW, PLTU Adipala 615 MW, dan PLTU Cilacap 614 MW dengan total kapasitas 6.295 MW. Pasokan energi 1.142 MW sisanya berasal dari PLTA 287 MW (Jelok, Timo, Ketenger, Garung, Mrica, Wadas Lintang, Kedung Ombo), PLTP Dieng 45 MW dan PLTGU Tambak Lorok 810 MW. Pada dasarnya PLTU merupakan sumber energi yang sudah ramah lingkungan, akan tetapi pemerintah melalui PLN harus tetap mawas dalam memastikan pasokan energi aman. Salah satu cara yang bisa ditempuh Pemerintah Kota Magelang saat ini adalah dengan melakukan kombinasi dari beberapa inovasi yang melahirkan efisiensi energi, seperti desain arsitektur bangunan yang baik, pemanfaatan atap bangunan sebagai ladang panel surya, atau upaya penciptaan gedung berkonsep zero net energy. Tak cukup di situ, penerapan kebijakan energi bersih di tingkat perkotaan seperti pengaplikasian kendaraan zero emission bertenaga listrik juga genting untuk dilakukan.
***
Itulah keempat dari tujuh tujuan SDGs yang cenderung lebih prioritas untuk dapat segera diterapkan di Kota Magelang. Sebagai kota termaju di Jawa Tengah, memang sudah seharusnya Kota Magelang tidak perlu terlalu fokus pada pengentasan kemiskinan karena akan terurai dengan inovasi daerah berkelanjutan. Toh, kemiskinan di Kota Magelang sudah tidak seekstrem dekade-dekade sebelumnya.
Sebelumnya tayang di www.magelang2030.id.
Posting Komentar