Linux dan Standarisasi di Dunia Industri

Suka-duka sebagai desainer dari kalangan pengguna Linux
Linux dan Standarisasi di Dunia Industri

Setidaknya sudah masuk bulan keduabelas saya berkecimpung di dunia Linux. Soal kerusakan paket pembaruan, perbedaan aplikasi yang digunakan, perbedaan jenis file, cara mengeksekusi program, adalah beberapa persoalan yang akrab saya hadapi semenjak hijrah menggunakan Elementary OS 0.4 Loki. Namun hambatan-hambatan tersebut masih belum menjadi masalah selama pemecahannya mudah ditemukan melalui forum-forum diskusi Linux dan hanya perkara internal saja.

Alasan mengapa saya bermigrasi ke Linux cukup sederhana: legalitas. Ya, Linux memang bukan perangkat lunak yang ramah pengguna sehingga tidak banyak digunakan di kalangan luas. Sistemnya yang mudah dimodifikasi karena memiliki sumber terbuka membuat Linux umum populer di kalangan para pengembang, pemilik utilitas jaringan, dan penyedia jasa keamanan. Belum lagi Linux menghasilkan puluhan varian distro dengan keunggulan masing-masing, dan tentu, gratis, dan membingungkan calon pengguna awam.

Memasuki kuartal keempat menggunakan Linux, salah satu kendala yang paling sering saya hadapi adalah standarisasi yang ada di dunia industri kreatif (ya, saya desainer grafis). Sebelum meninggalkan Windows 10, saya sendiri selalu menggunakan aplikasi desain grafis gratisan untuk menyelesaikan pekerjaan saya: namanya Inkscape. Aplikasi ringan ini legal untuk diunduh dan digunakan. Meskipun sebenarnya ada banyak sekali aplikasi substitusi yang jauh lebih baik, bahkan dari keluarga besar Adobe sekali pun, saya tetap saja menggunakan Inkscape. Untuk desain slide presentasi, menyunting gambar bitmap, dan bahkan untuk mendesain prototype situs web saya juga gunakan Inkscape. Ya, rasanya ada kelegaan tersendiri begitu dapat memutuskan untuk menggunakan aplikasi lunak yang legal, apalagi gratis. Apabila ingin menggunakan Adobe secara legal, rasanya saya tidak akan kuat untuk membayar paket berlangganan meskipun ada diskon untuk pelajar: kecuali memang niat membajak.

Tampilan Desktop Elementary OS saya

Menggunakan aplikasi-aplikasi legal anti-mainstream di dunia industri yang memiliki standar tersendiri bukanlah perkara mudah. Sesekali klien saya meminta berkas mentahan produksi laptop saya yang notabene Linux dan seringkali tidak kompatibel dengan komputer Windows/Mac yang mereka gunakan. Terkhusus desain grafis, keluaran jenis berkas yang saya buat berekstensi .svg dari Inkscape yang sebenarnya bisa dibuka menggunakan Adobe Illustrator. Akan tetapi beberapa klien saya ada pula yang mensyaratkan ekstensi .ai yang notabene sudah menjadi standar industri grafis, atau Adobe Photoshop dengan .psd-nya, dan CorelDraw dengan .cdr-nya. Pada akhirnya saya hanya bisa berikan berkas berekstensi .pdf yang ramah di banyak aplikasi.

Pada suatu waktu, ada permintaan desain, “Jo, aku minta desainnya disimpen ke JPEG resolusi tinggi ya, mau dicetak soalnya.” Pada dasarnya aplikasi Inkscape yang saya gunakan menggunakan ekstensi bawaan .PNG setiap kali ekspor, dan warna RGB. Well, kalau sudah begini, saya harus memutar otak bagaimana caranya untuk membuat ekstensi lain dengan kemungkinan yang ada. Hasil ekspor PNG dari aplikasi Inkscape akan saya masukkan ke GIMP (GNU Image Manipulation Program, semacam Photoshop), lalu ekspor lagi sebagai JPEG dengan sistem warna CMYK. Proses ini lama-kelamaan saya nikmati kemudian.

Linux sering dipandang sebelah mata meski kreasi dari piranti lunak gratisan tetap bisa mumpuni

Masalah yang lebih besar lagi sebenarnya ada pada proses pelamaran kerja. Setiap kali ditanya, “Apa mas bisa Illustrator?” tentu akan saya jawab jujur dengan, “Saya tidak bisa Illustrator pak karena saya pakai Linux, namanya Inkscape.” Alhasil, tanpa memandang seberapa jauh kemampuan saya dalam mendesain, lamaran paruh waktu saya ditolak oleh calon agensi/perusahaan yang saya tuju. Sayang sekali.

Sebenarnya perkara ini adalah persoalan sepele: bervariasinya software yang ditawarkan, pilihan aplikasi yang digunakan desainer, dan cara kerja setiap orang yang berbeda. Pada kali ini, produk-produk besutan Adobe seperti Illustrator memang mendominasi pasaran. Alhasil, ekstensi .ai turut menjadi standar industri tanpa perlu mengetahui apakah aplikasi yang digunakan para desainer di sana asli maupun bajakan (kalau agensi harusnya asli lah ya).

Buat para desainer yang berkecimpung dengan aplikasi resmi gratisan suka tidak suka harus tetap beradaptasi dengan kebutuhan pasar.

Semoga saja para perekrut kerja di luar sana juga mengerti, bahwa dari sekian juta pencari kerja di industri kreatif terutama desain grafis, tidak sepenuhnya bekerja menggunakan aplikasi standar industri.

Tahukah Anda bahwa Android, sistem operasi populer untuk ponsel, pada dasarnya dikembangkan dari Linux.