Mengesap Kopi Suroloyo
![]() |
Usaha memperoleh narasumber kredibel dari pelbagai perspektif untuk penelitian akhir rupanya membawa saya jauh ke utara membelah perbukitan Menoreh. Kali ini saya memang sudah ada janji untuk bertemu dengan Pak Winarno — seorang petani kopi sekaligus pemilik Kedai Kopi Suroloyo. Alasan saya menemui beliau? Tidak lain karena produk UMKM yang ia pimpin berhasil menembus jaringan Tomira (Toko Milik Rakyat) di Kulon Progo. Kemasannya ciamik, menarik. Pertama kali saya melihatnya terpampang di etalase beranda kantor Dinas Perdagangan Kabupaten Kulon Progo, dan saat itu juga saya putuskan untuk mewawancarai beliau.
![]() |
Lanskap menuju Suroloyo |
Dan sekarang, di sinilah saya. “Anjir, udah masuk Jawa Tengah rupanya!” saya tertawa terkekeh ketika motor matik ini mati di puncak bukit. Sebuah plang berwarna hijau menandakan batas region daerah istimewa. Sinyal GPS masih mengarahkan saya untuk terus bergerak ke arah barat laut.
![]() |
Suroloyo bagian ini sudah termasuk wilayah Jawa Tengah dengan jurang nan curam |
***
Jam menunjukkan pukul 10.43, saya terlambat 2 menit dari seharusnya. Sebelumnya saya memang sempat disasarkan Google Maps di area Boro, Samigaluh: sang narator menyuruh berbelok ke arah jalan kampung menanjak bukit, padahal seharusnya masih lurus setengah mil baru berbelok. Kasus ini memang sering saya alami terutama ketika sedang di pegunungan. Sesekali sinyal GPS yang paralel dengan jaringan seluler sedikit terlambat untuk berpindah, atau beberapa jalan kecil/gang tidak terdeteksi. Kalau sudah begini, tinggal nalar saja yang membimbing saya menuju lokasi tujuan.
Saya tiba. Sebuah gubuk sedang dibuka. Di sana sudah ada tiga pemuda. Mungkin bapak-bapak berkaos hitam itu calon narasumber saya, “Yang dari UGM ya?” Saya jawab anggukan. “Tunggu sebentar ya mas, ini lagi siap-siap buka kedai.”
![]() |
Meja coffee crafting di Kopi Suroloyo |
![]() |
Jejak puluhan komunitas yang pernah singgah di Kopi Suroloyo |
![]() |
Kopi Suroloyo juga tersedia dalam kemasan siap edar |
Pak Winarno menggulung terpal bening, mengikatnya supaya tidak terbuka. Angin berhembus santai, menyejukkan suasana. Kedai Kopi Suroloyo namanya. Gubuk sebesar 3x8 meter ini menggantung di bibir tebing, “Rumah saya di bawah sana, jadi kafe juga. Biasanya kedai saya ramai, terutama jam 10 malam.” Pak Winarno menata alat-alat barista di atas meja. Tak lupa Ia mengganti tabung gas melon-nya.
Tidak lama kemudian, sebuah mobil berpelat ibukota datang. Dua pasang pensiunan datang. “Dulu terakhir 20 tahun lalu saya datang ke sini,” cerita sang Bapak sembari mengenang masa lalu. Ya, beliau warga Boro yang sedang kedatangan adiknya dari Muntilan. “Nanti siang kami mau beli krecek Muntilan,” terang sang ibu. Dengan ramahnya sang Bapak membuka percakapan sembari menunggu Pak Winarno mempersiapkan peralatan. “Iya Pak, saya orang blasteran Jawa — Ambon, cuma nggih mboten patio kethok Ambon-e.”
Pak Winarno sudah siap. Saya membaca daftar menu yang ada. “Umumnya kopi yang paling banyak dipesan di sini robusta Pak, khas Menoreh. Kalau arabica kan masih ada rasa asem-asemnya, kalau robusta pahit,” terang beliau pada bapak berpolo hijau itu. Si Bapak dari tadi memang bertanya mulai dari asal muasal kopi di kedai ini, peralatan, hingga modal yang diperlukan. “Woo, karepe meh mbuka kafe po?” canda istrinya.
![]() |
Pak Winarno menyambut pelanggan tetapnya |
![]() |
Pak Winarno adalah petani biasa yang mengenalkan Kopi Suroloyo |
Meski hanya kedai sederhana, fasilitas dan peralatan barista Pak Winarno cukup lengkap. Proses brewing memang dilakukan secara manual, namun konsistensi citarasa tetap terjaga: terbukti dari banyaknya rating bintang lima di Google Maps usahanya. Toilet ada, WiFi tersedia bagi yang tidak terjangkau jaringan seluler. Peralatan barista mulai dari penggiling kopi elektrik, pewaktu digital, timbangan elektronik, gelas takar, seloki, termometer, sendok takar, kendi takar, pensil latte juga stensil, portafilter, hingga mokapot serta Viet Nam drip. Terhitung lengkap untuk kedai kecil.
![]() |
Proses penggilingan kopi menjadi bubuk |
![]() |
Kopi diracik supaya memiliki takaran yang pas |
“Pesan robusta saring deh mas,” Pak Winarno mencatatnya pada sobekan kwitansi. Alasannya saya memilih menu ini? Ya karena katanya yang khas dari Menoreh adalah robusta. Secangkir kecil robusta saring pesanan saya dihargai Rp. 8.000,- sangat murah sekali! Yang paling membahagiakan, karena attitude dan pembawaan diri saya yang baik — bisa berbahasa Jawa Kromo Alus, pesanan saya dibayari rombongan pensiunan tadi. Such a nice day ~
Oiya, untuk menu di kedai Kopi Suroloyo diantaranya:
***
Waktu terus melaju, dan saya semakin kesusu. Sedaritadi Pak Winarno masih disibukkan dengan pesanan para pelanggan, dan kopi saya sudah habis disesap. Ingin tambah kopi susu sih, tapi waktu mendesak saya untuk lekas melakukan wawancara. Beruntung Pak Winarno paham kalau saya sedang diburu waktu. Beliau menunda membuatkan pesanan pasangan muda-mudi di pendopo. Kami duduk semeja. Beliau sempatkan meneguk cepat secangkir robusta, “… supaya nggak tegang mas, hehe.” Padahal pertanyaan saya enggak sebegitu ngeri.
![]() |
Kopi Susu dengan Viet Nam drip (kiri dan tengah), serta robusta saring pesanan saya (kanan) |
Kedai Kopi Suroloyo — meskipun letaknya sangat terpencil dan nyaris masuk Jawa Tengah — kafe ini sudah terkenal gaungnya. Tak hanya melalui produk yang sudah berhasil menembus pasar mancanegara melalui portal jual-beli daring, Kopi Suroloyo kerap diperkenalkan pada ajang pameran oleh Pemkab Kulon Progo, “Terakhir pengiriman paket kopi ke Belanda. Cuma ya ongkirnya ditanggung mereka (pelanggan — red.). Kalau paketnya cuma 300 ribuan, ongkirnya yang mahal.” Selain itu, Kopi Suroloyo juga aktif memanfaatkan media sosial Instagram sebagai media publikasi, bahkan salah satu baristanya pernah diundang dalam salah satu program acara televisi swasta nasional. Alasan diundang? Tak lain karena Kopi Suroloyo menyediakan tempat bagi barista difabel untuk unjuk gigi dalam berkarya.
Kopi-kopi yang diracik berasal dari perkebunan setempat dan baru bisa dipanen setiap antara April-Juli. Setelah masa panen, barulah UKM Kopi Suroloyo membagi stok antara kopi yang dijual di pasaran dengan yang diracik di kedainya sendiri. “Oleh karenanya tidak banyak kopi yang bisa kami jual lewat Tomira, dan pendapatan UKM jauh lebih besar dari usaha kedai dan jualan online mas,” terang Pak Winarno. Karena ketinggian kawasan perbukitan Menoreh hanya sekitar 800–900 mdpl, umumnya kopi jenis arabika dan robusta saja yang ditanam dengan robusta yang dominan. “Kalau arabika tumbuhnya optimal pada suhu 16–20 derajat mas. Kalau ditanam di bawah 800 mdpl rentan kena penyakit (HV).”
***
Banyak sekali informasi seputar per-kopi-an yang saya peroleh walau baru berbincang selama setengah jam saja. Pak Winarno memang ahlinya dengan resep yang telah dijaga selama turun-temurun. Sayang sekali saya tidak bisa berlama-lama karena sudah membuat janji dengan narasumber kedua nun jauh di dekat pantai sana.
Posting Komentar