Dongkol di Savana Bekol
![]() |
Taman Nasional Baluran tentu bukanlah sebuah tempat yang asing terdengar di telinga kita. Ya, meskipun kawasan konservasi di timur Jawa ini terletak jauh dari Banyuwangi, saya tetap bersemangat untuk menyambanginya. Secara de jure, Baluran kerap dilekatkan sebagai salah satu objek wisata di Banyuwangi, padahal secara de facto terletak di Situbondo. Memang jauh. Oleh karena itu, selepas menyantap makan siang di Sego Tempong Mbok Wah, kami segera bergegas membelah perkotaan Banyuwangi.
Sepanjang jalan, kami disuguhkan pemandangan hutan di kiri dan laut di kanan jalan. Rerimbunan hutan meneduhkan jalan, kapal-kapal terlihat rehat di tengah selat. Namanya memang masih Jalan Pantura meskipun membentang dari selatan ke utara. Pelabuhan penyeberangan Ketapang tidak begitu ramai: hanya ada beberapa bus wisata dan truk yang siap menyeberang ke Bali. Pelabuhan ini pun tidak jauh dengan stasiun paling ujung di timur Jawa: Stasiun Banyuwangi Baru.
Satu jam berkendara, kami tiba di pintu masuk taman nasional.
***
Meskipun statusnya adalah kawasan taman nasional, rupanya untuk memasuki kawasan konservasi alam ini setiap pengunjung ditarik tiket sebesar IDR 15.000,-/orang dan tarif parkir IDR 5.000/motor oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tidak masalah asal keasrian ‘the little Africa’ ini tetap terjaga.
Dari gerbang masuk, kondisi jalan benar-benar alamiah: bebatuan kerikil menghambat perjalanan kami. Beberapa bagian memang ada yang diaspal, namun aspal-aspal itu pecah. Pukul dua siang. ‘Jaraknya sekitar 11 kilometer. Naik motor paling setengah jam sampai lah,’ suara bapak penjaga pos gerbang utama terngiang. Dengan kondisi jalan yang buruk ini, saya yakin butuh lebih dari separuh jam untuk tiba di padang sabana.
![]() |
Hutan Selalu Hijaun (Evergreen) di Taman Nasional Baluran (Sumber Kementerian LHK) |
Sepertinya kami datang sewaktu hujan mereda. Kubangan di kiri kanan jalan begitu becek dan dalam, jalanan tanah pun licin. Di beberapa titik, lumpur menghalau. Sebal. Pepohonan besar nan rimbun menyapa kami, inilah Evergreen. Evergreen adalah hutan hijau tropis di Baluran yang selalu hijau, rimbun, dan lembab sepanjang tahun — meski pada musim kemarau sekali pun. saking lebatnya hutan, sorot matahari yang berhasil mencapai permukaan tanah menciptakan iluminasi lorong tersendiri. Beberapa kali saya melihat burung-burung kecil yang tak biasa terlihat beterbangan, ada juga ayam hutan. Mereka menyembul dari balik dedaunan lebat, malu-malu kembali masuk hutan. Ada burung kirik-kirik senja, pelatuk sayap merah, sampai elang alap jambul. Meski terikat dalam hubungan simbiosis, mereka tampak harmonis. Lama mengendara, tak terasa saya dan Dwi jauh di depan motor lainnya.
Berkendara di TN Baluran menggunakan motor benar-benar capai. Susunan bebatuan kali yang tidak rata membuat tangan dan bahu pegal, belum lagi risiko kerusakan motor terutama untuk tekanan bannya. Beruntung kami bertiga motor ke sini, jadi bisa mencari pertolongan jika hal yang tidak diinginkan terjadi.
Saya dan Dwi tiba di Savana Bekol.
![]() |
Savana Bekol dengan latar Gunung Baluran (Sumber: Kementerian LHK) |
Dari hutan hujan selalu hijau (evergreen) hingga sabana, pergantian ekosistem yang cukup njomplang |
Fosil tengkorak binatang yang mungkin sudah puluhan tahun teronggok di atas tanah begitu saja |
Jaket militer ini pemberian kakak sepupu saya yang seorang tentara |
Meski bersahabat, kami jarang sekali berfoto |
Langit kelabu menyapa kami. Di kejauhan rupanya terdapat beberapa wisma yang disewakan untuk menginap. Wisma itu terkepung — banyak sekali monyet Jawa di sekitarnya. Tak sabar, saya segera memarkirkan motor, merangkul ransel, berjalan ke arah pagar pembatas jalan. Meskipun merupakan hamparan padang luas tanpa terhalang pepohonan, pengunjung tidak bisa seenaknya memasuki kawasan padang rumput. Ada batas berupa tapal-tapal kayu dengan rambu peringatan. Memang dasarnya wisatawan lokal, asal bisa membayar tidak peduli dengan kebersihan: saya menemukan beberapa sampah bungkus makanan berserakan. Payah!
Sebuah rak etalase memajang tengkorak kerbau atau banteng dengan latar Gunung Baluran. Ciamik. Sayang sekali karena mendung, saya tidak bisa menemukan burung-burung pemangsa seperti elang brontok dan elang ular bido, padahal di sebelah utara sana terlihat rusa-rusa berkumpul dan hewan-hewan kecil lainnya. Tak lama, motor Bagas dan Pandhit tiba. Beberapa pengunjung selain kami memilih menaiki mobil tipe keluarga yang muat 5–8 penumpang. Hmm, kasihan mobilnya.
Langit mendung bikin kami was-was bahaya tersambar petir di area terbuka |
Dwi berpose di atas bollard kayu yang membatasi area jelajah kendaraan bermotor |
Padang sabana luas ini turut melengkapi ekosistem yang ada di Pulau Jawa |
Kami lekas berfoto ria berlatar sabana. Tak lupa, Bagas merekam keindahan Baluran melalui imaji ketinggian. “Ah sial, anginnya gede banget!” beberapa kali drone-nya terbang di luar kendali, terhuyung oleh angin dan tidak stabil. Melihat kumpulan rusa, Bagas mencoba menerbangkan drone di atasnya. Tentu hewan pemakan rumput itu terganggu dengan bisingnya rotor baling-baling drone. Beberapa diantaranya ada yang menjauh — insting dimangsa.
Asyik melihat drone, menikmati terpaan angin sore hari, tiba-tiba ada yang menjambret tas kami. Ya, monyet-monyet nakal itu sudah lama mengintai bawaan kami sepertinya: ada snek yang dibeli di minimarket tadi. Saya segera menggaet tas saya di bawah pohon itu sebelum diambil monyet lainnya. Satu tas milik Pandhit diangkutnya ke atas pohon. Kami segera menakut-takuti monyet jantan itu. “Ndhit, ambil kayu. Halau dia, buat dia terancam!” Bagas menirukan suara monyet itu dengan nada tegas. Sang monyet tidak menyerah, “Jangan sampai dia naik ke atas.” Tas Pandhit memang cuma tas kain selempang, isinya ada dompet dan roti sobek.
Si monyet belum menyerah, ia berpindah antar dahan, melompat-lompat dan bikin kami gentar. “Sial, hahaha!” saya merekam sambil tertawa lepas. Mungkin sang monyet mulai lelah, tas Pandhit terlepas dari jangkauannya, terjatuh bebas di tanah. Panik, si monyet kabur ke dahan lain sebelum melompat ke pohon lainnya. “Huft, untung dapet,” Bagas menyeka dahi.
Perahu mengapung tenang di Pantai Bama |
Kami bergeser lagi, kali ini ke arah timur laut. Rupanya ada pantai tak jauh dari sini, Pantai Bama. Pantai berpasir putih ini memiliki perairan yang tenang. Di kejauhan, saya melihat beberapa perahu nelayan santai menangkap ikan. Ada perahu motor milik pengelola TN Baluran terpatri di pantai dekat bakau. Sama seperti dengan Sabana Bekol, Pantai Bama juga didominasi monyet. Mamalia kecil itu duduk berkumpul di pagar jembatan. Saya sedikit gemetar melewati kerumunan mereka — takut dikeroyok hehe. Di Pantai Bama, kami tidak bisa berlama-lama. Dwi, Pandhit, Bagas, Jim, dan Pandhit bergegas menunaikan solat asar di musola setempat. Saya? Solat sudah dijamak, tinggal menikmati senja melepas penat.
Angin kencang tiba-tiba berhembus kencang dari arah sabana. Monyet-monyet tidak lagi berkerumun. Tampaknya sebentar lagi Baluran akan hujan. Awan kumulonimbus berwarna gelap pekat menghampiri. Kami benar-benar balapan melawan awan dan waktu kali ini. Awan badai itu sudah menggantung di atas sabana, membentuk gumpalan sedikit spiral seakan-akan mencoba menciptakan badai petir sekaligus puting beliung. Roda dua ini dipaksa melaju cepat, kontradiktif dengan medan yang mengharuskan pengendara melambat. Semoga ban tidak pecah.
Butuh waktu hampir setengah jam bagi kami untuk kembali ke hutan selalu hijau, meninggalkan jejak kisah di Sabana Bekol. Gelap menggerayangi, malam menyelimuti. Baluran, lain kali aku ingin berjumpa lagi.
***
Lampiran: Foto-foto keragaman hayati dan hewani TN Baluran oleh Kementerian LHK
![]() |
![]() |
![]() |
Posting Komentar