Menyapa Pagi Bali dari Jawa

Setelah gagal menuju Puncak Ijen, kami putuskan untuk menikmati suasana pagi di Banyuwangi Kota.
Tidak ada sinyal dan satu motor tumbang memaksa kami kembali turun ke pos penjagaan. Belum tiga puluh menit bertemu mas-mas di pos jaga Jambu Rest Area tentu membuat mereka bertanya-tanya, “Mesinnya gagal mas. Kayaknya ada masalah sama rotornya.” Sudah pasti — dengan turun gunungnya kami — pendakian ke Ijen sepagi ini otomatis batal. Mana jarak ke penginapan sudah 15 kilometer pula. Hmm, lalu apa?



Bagas dan Dwi sibuk menghubungi nomor ibu pemilik penginapan. Beruntung sebelum berangkat kami sudah meminta nomor sang ibu. “Nanti bapak kesana bawa motor penggantinya,” rupanya ibu mengutus suaminya untuk mengantar motor pengganti. Semoga lebih baik, harap kami.

“Sekarang kita cari jerigen, isi bensinnya dipindah ke motor yang lain,” perintah Bagas. Jim dan Pandhit mencari pinjaman ke pos jaga. Jelas rugi sih. Sebelum menuju ke Ijen, semua motor yang kami tumpangi sudah diisi penuh bensin meskipun premium di Banyuwangi kota. Letak SPBU berlawanan arah dengan tujuan kami. Oke, rugi waktu. Kalau motor pengganti tidak ada bensin, terpaksa kami nambah ongkos. Beruntung jerigen ada. Bapak-bapak di pos jaga membantu kami memindahkan isi bensin dengan menyedotnya melalui selang kecil. Ewk.

Suasana pagi di tengah perkampungan Banyuwangi Kota


Hampir setengah jam, motor Mio GT merah hitam berpelat P itu tiba. Sang bapak langsung menukarkan motor dan sedikit menanyakan kenapa bisa mogok. Tak lupa, beliau turut meminta maaf.

Harusnya pemilik persewaan motor rutin melakukan servis kendaraan secara berkala. Belum lagi motor-motor ini digunakan para pelancong untuk tujuan yang jauh di luar Banyuwangi kota dengan kondisi jalan yang sangat buruk. Alhasil, pelancong mungkin saja mencoret atau menilai buruk tempat persewaan ini untuk kunjungan berikutnya.

Motor ditukar. Kali ini sang bapak terpaksa membawa Vario rusak tadi ke penginapan. Beruntung setengah jalan dari rest area ini adalah turunan. “Kita tunggu 15–30 menit aja dulu baru jalan. Enggak enak ninggalin si bapak,” motor yang baru pun diisi bensin dari Vario tadi.

Pagi hari dimanfaatkan warga setempat untuk menjelajahi pantai terdekat dari Banyuwangi Kota

Salah satu sudut Pantai Boom yang akan direnovasi oleh Pemkab Banyuwangi sebagai tempat ekshibisi


Setengah jam berlalu, kami berpamitan pada penjaga untuk ke bawah. “Ke Pantai Boom aja di pinggir kota,” terang Jim. Motor meluncur. Sepanjang jalan kami niteni kalau berpapasan sama bapak penginapan. Rupanya beliau sudah sangat jauh.

Allahuakbar, alla~huakbar …

Kami berjumpa dengan beliau di Masjid Al-Ikhlas Glagah begitu azan subuh berkumandang. Sang bapak mampir, begitu juga kami. Kami putuskan seusai solat subuh motor Vario didorong dengan satu kaki (step) menuju bengkel motor terdekat.

***

Meskipun hanya kota kecil, tata kota Banyuwangi sudah rapi. Ya, kota di beranda timur Jawa ini terus merias diri. Kabupaten dengan 25 kecamatan ini punya banyak sekali pesona alam dan keragaman budaya yang membuat kami tertarik menyambanginya — selain karena tiket kereta Jogja-Banyuwangi cuma Rp. 91.000,-

Memancing tanpa tongkat pancing


Membelah kota, tak lama kami tiba di Pantai Boom. Pantai berpasir hitam ini menghadap langsung ke perairan Jembrana, Bali dengan latar pegunungan Bali Barat. Sungguh cantik. Semburat mentari pagi membelah angkasa dari tengah-tengahnya, memberikan penerangan bagi para nelayan yang hendak berlayar. Sayang sekali, lebatnya awan mendung di angkasa menutupi keindahannya. Udara dingin pagi berangsur-angsur menghangat. Meskipun kota pelabuhan, Banyuwangi tetap dingin di waktu malam.

Nelayan pulang membawa tangkapan menuju tempat pelelangan ikan


Bangku-bangku pantai sangat kosong. Saya merebahkan badan sembari mencoba untuk memejam. Ya, sangat capai sekali duduk di dalam kereta selama 14 jam, dilanjutkan perjalanan ke Ijen yang gagal. Sepertinya habis ini saya akan tidur pulas sampai siang di penginapan.

Ngunggggg …

Suara motor mendengung, rupanya Bagas membawa drone barunya: DJI Spark. Kali ini adalah penerbangan kali keduanya. Ya, Bagas dan Pandhit memang sejoli yang doyan fotografi. Drone itu pun terbang tinggi, mencoba merekam gambar dengan kualitas tinggi. Lanskap kota Banyuwangi terlihat ciamik dari atas sini.

Berpose kaku di Pantai Boom Banyuwangi

***

Pukul 07.30, kami selesai di sini. “Mau makan dimana?” tanya Dwi. Sudahlah, pulang ke penginapan dulu tidur sepuasnya.