Gamang di Singkawang (bagian pertama)

Sepertinya sudah sepertiga perjalanan saya duduk di atas minibus ini. Meskipun bermandikan sinar mentari, duduk di atap lebih menyenangkan daripada di dalam. Minimnya polusi udara di Singkawang, ditambah jarak pandang yang luas tentu akan mengukir memori nan indah di dalam ingatan saya. Setidaknya begitu.



"Gunung Potekng namanya. Besok setiap tanggal 17 ada pengibaran bendera raksasa di puncaknya," cerita Bang Iben seraya menunjuk gunung yang memiliki topografi unik itu. Puncaknya, bagai jari telunjuk yang berusaha menyentuh angkasa.

Minibus berguncang dan sesekali hampir bersenggolan dengan kendaraan dari arah depan. Lubang-lubang memang merintangi kami sepanjang perjalanan, terutama ruas Monterado - Pajintan. Jalan kelas propinsi ini sudah lama diwacanakan untuk ditingkatkan: pelebaran ruas jalan dan pembuatan parit di sepanjang sisinya harusnya sudah dilakukan, "Tapi enggak dibangun." Singkawang, meski hanyalah tipikal perkotaan pada umumnya, di sini saya menemukan beberapa keunikan yang mungkin tidak dimiliki oleh kota-kota lain. Seperti banyaknya rumah (sarang) walet di tengah lapangan luas, banyaknya kelenteng kecil, juga pemakaman Tionghoa yang menjamur di atas perbukitan. "Orang-orang Cina disini biasa bikin bangunan bertingkat ba: lantai satu buat toko, lantai dua rumah, lantai atas sarang walet," terang Bang Iben. Saya sesekali merunduk supaya tidak tersangkut dekorasi bendera plastik yang melintang di atas kami. Singkawang, kota yang ciamik karena punya kawasan perniagaan berbangunan seragam memang memiliki beberapa ruko yang menjulang tinggi. Dan benar, lantai teratas dibuat banyak lubang yang memudahkan burung walet untuk keluar masuk bangunan itu.

Suasana di Terminal Bengkayang, Singkawang

Sebagai kota perbatasan, Singkawang didominasi oleh tiga etnis besar: Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Meski beragam etnis tinggal di kota ini, tampaknya Singkawang lebih condong menonjolkan kebudayaan Tionghoa dan tidak ada konflik berarti antar etnis. Inilah yang membuat Singkawang unik.

Kami berhenti sejenak di Terminal Bengkayang? Terminal Bengkayang? Namanya memang demikian. Setidaknya ada tiga terminal di Singkawang: Terminal Pasiran, Terminal Bengkayang, dan Terminal Pontianak. Nama terminal disesuaikan dengan tujuan minibus yang ngetem di situ.

Bus kini berbelok ke arah selatan, kembali lagi ke Kab. Bengkayang wilayah hilir. Jalan menuju ke Pontianak ini tidak begitu lebar rupanya meski pun jadi penghubung antara dua kota. Ruko-ruko tetap menjadi pemagar dengan jarak 10 meter dari badan jalan. Sebuah persiapan yang baik supaya bangunan tidak tergusur oleh pelebaran nantinya.

Salah satu sudut keramaian Singkawang

Minibus juga melewati Bundaran Singkawang yang ikonik dengan sebutan Bundaran 1001 Ai itu. Bagi saya, monumen ini cukup menarik karena memuat latar historis sosiokultural masyarakat Singkawang. Di bagian puncaknya terdapat tudung saji dengan kuda laut di bawahnya: sebagai pengingat bahwa Singkawang dahulu merupakan pemekaran dari Kabupaten Sambas. Di bawah kuda laut terdapat tampah yang diangkut oleh tiga sosok yang mencerminkan masyarakat dari tiga suku: Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Makna tampah tersendiri adalah melindungi tiga etnis besar dan pesan untuk senantiasa hidup rukun dalam kegotong-royongan dan harmonis di Kota Singkawang.

Memasuki Kabupaten Bengkayang hilir, kami disambut oleh bangunan raksasa yang konon, "Proyek PLTU yang sudah lama mangkrak," jelas Bang Iben. Bangunan ini tampak begitu besar dengan banyak sutet yang menuju ke arahnya. Yap, produk anak teknik.

Disambut awan badai

Tujuan pertama kami: Pantai Kura-kura, rupanya tak jauh dari proyek PLTU tadi yang juga bagian dari gugus Pantai Samudera. Jalan aksesnya memang kecil, "Tapi mending sekarang udah diaspal walau rusak sedikit ba." Sesekali saya merunduk menghindari dahan dan ranting pohon mangga. Memasuki kawasan pantai, kami di atas disambut badai dan awan putih melengkung. Pertama kali saya lihat awan ini dan mungkin tidak tinggi karena di atasnya ada kumulonimbus. Langit gelap, sangat gelap. Dari atap minibus terlihat hujan sudah mengguyur laut di kejauhan. Dan benar, badai pun datang ...

Angin berkecepatan sangat tinggi menerbangkan ribuan partikel pasir pantai. Hembusannya rupanya juga mampu mengangkat atap-atap gubug yang sudah rapi dibangun di pinggir pantai ini. Dengan topi KKN-UGM, saya mencoba menghalau debu supaya tidak kelilipan. Di belakang, Canting dan Bang Iben membalikkan badan searah dengan hembusan angin. Sial.

Amen dan Amin

Angin memutar-putarkan debu. Minibus berhenti, kami pun bergantian turun. Dahsyat, angin ini lebih kencang dari yang pernah saya alami di Karimun Jawa. Begitu turun, angin berhasil menerbangkan topi saya yang diikat renggang. Beruntung topi tertahan pagar.

Tak lama kemudian, hujan deras pun mengguyur. Kami bergotong-royong memindahkan makanan dan peralatan makan ke warung yang tutup itu. Oke, berteduh sejenak

***

"Amin."

Pak Ardilala segera menyiduk nasi ke atas piringnya. Diambilnya ayam dan lalapan serta sambal yang menggugah selera. Hujan pun mereda, sepertinya makan di gubug asyik juga.

Canting dan Eka, duo sejoli becanda tawa

Ada yang unik dari pantai ini. Meski pun ada pengunjung, rupanya pengelola Pantai Kura-kura menarik retribusi hanya di akhir pekan. Untuk hari-hari kerja, tidak ada penarikan retribusi yang juga tidak ada warung dan persewaan kamar mandi yang buka. Ini sedikit merepotkan saya yang sudah kebelet sedari tadi.

Sambal mama Renny dari Serayan adalah yang paling berkesan bagi saya

Pantai Kura-kura bagi saya sangat bagus. Di sisi utara terlihat dermaga yang sedang di bangun sedang bebatuan besar bisa jadi spot foto tersendiri di bagian selatan. Di kejauhan terlihat lalu-lalang kapal yang mungkin mengangkut barang ke Singkawang.

Tidak banyak yang tahu kalau ini saluran pembuangan

Seperti biasa, dimana ada karyawisata, saya yang jadi fotografernya. Meski terkesan individualis, cara inilah yang membuat saya bahagia: mereka senyum dan gelak tawa setiap orang, diabadikan dalam bingkai. Memang, nanti di akhir kegiatan KKN, semua cerita ini akan saya rangkai jadi satu video berdurasi sedang. Makanya, jari-jemari saya sejak kemari jauh lebih atraktif memutar lensa, menarik pelatuk, dan menekan tombol rana.

Canting dan latar bebatuan sisi selatan pantai

Cekrek, Ifan duduk di atas batu saluran pembuangan. Cekrek, Maya berpose manis dengan kacamatanya. Cekrek, Canting menyeringai dengan senyum khasnya. Cekrek, Sedya menatap hamparan laut yang membentang luas di ambang cakrawala.

Semua orang punya cerita dan linimasa masing-masing

Langit beralih cerah. Untuk sejenak saya lupa kalau tadi kami disambut badai, juga lupa kalau ini adalah akhir dari kegiatan KKN. Usai menyantap hidangan makan siang, rombongan aparatur desa Tumiang bersama Pak Ardilala mulai membuat api unggun. Masih ada ayam yang belum dipanggang dan jagung yang belum dibakar. Tak lupa, Pak Resmi kepala desa Bukit Serayan ikut membantu. Beberapa anak Serayan pun ikut membuat api unggun. Asyik juga, saya beralih merekam aktivitas membakar ayam ini sejenak.



Di kejauhan, ada Rivy yang sedang mengibarkan selendang birunya. Yap, sebagai selebgram kenamaan UGM yang lolos kualifikasi @ugmcantik, tentu pantai sebersih ini bisa jadi konten menarik di Instagram-nya. Saya ikut merekamnya dari perspektif mata kucing. Hembusan angin nan santai membuat gerakan selendang jadi lebih anggun. Sepertinya foto di ponselnya akan naik sesaat lagi.

Selma dan Eka, bernyanyi bersama

Tak jauh dari tempat Rivy berpose, ada Selma dan Eka yang sedang bernyanyi di atas batu. Yap, sengaja saya meminta mereka menyanyikan lagu Laskar Pelangi yang dibawakan grup band Nidji. Saya nyalakan rekaman di ponsel sembari kamera menyorot ke arah keduanya. Senar dipetik, suara menggema di dalam rongga.

Mimpi adalah kunci. Untuk kita menaklukkan dunia. Berlarilah tanpa lelah, sampai engkau meraihnya. Laskar pelangi, takkan terikat waktu. Bebaskan mimpimu di angkasa, warnai bintang di jiwa.

Menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga. Bersyukurlah pada yang kuasa, cinta kita di dunia. Selamanya.

Bersambung ke bagian kedua ...