Hoaaaaaam
Saya terbangun oleh hawa panas yang membuat tubuh berkeringat. Rupanya baru dua jam saya tidur siang. "Ayo ayo yang mau makan," tawar Selma pada anak-anak di pondokan. Hari Minggu. Akhir pekan. Ketika banyak orang yang menggunakannya untuk bersantai, warga setempat masih pergi ke ladang usai beribadah di gereja.
Kuah mie saya sruput habis. Kami berdua kembali ke proyek biochar. Asap masih sedikit mengepul di atas tumpukan sekam. Masih hangat. Duduk jongkok di dekat panggangan sekam tentu nyaman apalagi malam ini dingin cukup menusuk, tapi asapnya bikin mata pedih.
"Jo, mau ikut nggak?" Andre membangunkan saya. Dalam bayang-bayang buram, saya membasuh muka, memastikan siap untuk kembali mengecek sekam yang kami tinggal.
Meski terletak hanya pada ketinggian 1000 mdpl, panas gerah di siang hari, malam di Tumiang cukup dingin. Saya mengelap jok yang basah oleh bulir-bulir embun. Dingin. Jaket yang biasa dipakai untuk bermalam di pos ronda Jogja pun kurang mampu menjaga kehangatan tubuh saya. Dua kilometer berkendara, kami tiba di kampung Sabah. Di salah satu rumah masih ada keramaian para muda-mudi yang mempertaruhkan keberuntungan mereka.
"Bah, gosong Jo!" seru Andre. Sekam berhasil dipanggang, sialnya beberapa bagian di dalam ada yang sudah menjadi abu. "Bagian ini udah nggak bisa dipake," ujarnya.
Saya dan Andre bergegas ke belakang rumah Bu Vero untuk menggotong jerigen yang sudah diisi angin tadi. Berat! 'Kalo gini caranya bisa-bisa encok lagi gue,' pikir saya.
Kami menuangkan air dari jerigen dengan susah payah. Tak lupa bakaran sekam diaduk supaya biochar tidak hangus menjadi abu. Nyesss ... Asap putih kini membumbung hebat tinggi ke angkasa.
"Gimana Ndre? Gini aja cukup?" tanya saya ke Andre. Dokumentasi program sudah ada, "... terus biochar ini mau diapain besok?" Andre pun bingung karena tampaknya warga setempat kurang menyambut program yang Ia gagas. Semoga saja asapnya tidak masuk perumahan warga.
Saya terbangun oleh hawa panas yang membuat tubuh berkeringat. Rupanya baru dua jam saya tidur siang. "Ayo ayo yang mau makan," tawar Selma pada anak-anak di pondokan. Hari Minggu. Akhir pekan. Ketika banyak orang yang menggunakannya untuk bersantai, warga setempat masih pergi ke ladang usai beribadah di gereja.
Seharusnya saya sudah selesai dengan video tradisi potong babi yang direkam semalam lalu mengunggahnya ke IGTV. Sayang, sudah lima jam listrik padam. Ponsel dan laptop saya kompak habis baterai. Tidak ada buku untuk dibaca, tidak ada program untuk dilaksanakan. Yasudah, tidur lagi saja.
"Kamu nggak usah ikut," Andre menolak keinginan Hasniah untuk membantu programnya. Padahal lumayan kan jam kerjanya. "Aku pengen solo career," Ia berencana untuk pergi ke Sabah (RT 3) guna mempraktikkan bagaimana cara membuat biochar pada kelompok tani di sana. Hmm, mungkin saya bisa membantu Andre walau tidak seberapa daripada saya harus buang-buang waktu sembari menunggu listrik menyala. Itung-itung program bantu sekalian belajar cara mengolah tanah. Siapa tahu begitu pulang KKN nanti saya bisa terapkan ilmu dari Andre untuk mengolah lahan garapan keluarga. Saya ambil kamera yang beruntung sudah terisi penuh dayanya.
Berangkat.
Tiba di RT 3, kami berjumpa dengan Bu Vero. Beliau adalah penyuluh pertanian di sini yang berarti membina dan membantu 12 kelompok tani se-desa Tumiang. Profesi yang sama dengan bapak tiri saya. "Harusnya satu penyuluh pertanian membina delapan kelompok tani saja. Tapi maklumlah ya dek, tenaga penyuluh masih kurang di sini," Bu Vero berbagi keluh kesah dengan kami. "Tiap kelompok tani ada rata-rata 30 anggota. Kalau diminta datang sosialisasi, ada-ada saja alasannya. Giliran bantuan datang, antre berderet dari ujung-ke-ujung," keluhan Bu Vero berkebalikan dengan bapak saya. Sebagai fasilitator, memang sedikit susah menghimpun para petani agar mau hadir dan mendengarkan sesi materi. Umumnya, para petani tidak menyukai teori dan lebih memilih praktek secara langsung. Berbeda, di tempat bapak saya bertugas justru para petani tampak antusias dengan materi yang bapak saya bawa. Mungkin karena pendekatan dan pembawaan yang berbeda, atau lebih berwibawa? Entah. "Namanya juga Indonesia, Bu. Asal tanam pun bisa tumbuh sendiri," timpal saya.
Tidak banyak peserta yang mengikuti praktek pembuatan biokar, bahkan tidak lebih dari sepuluh orang. "Yasudah, mulai Ndre!"
Gulung jaring kawat hingga membentuk tabung, ikat dengan kawat supaya gulungan tidak terbuka. Letakkan gulungan kawat tadi di tengah, taburi sekam di sekelilingnya hingga membentuk seperti gundukan atau gunung tipe strato. Pastikan gulungan tetap berdiri tegak, serbuk sekam tidak diaduk supaya tidak ada oksigen masuk.
Berikutnya, bakar kertas bekas dan masukkan ke dalam gulungan tadi. Pastikan pembakaran awal berhasil memanaskan cerobong asap karena sangat menentukan keberhasilan pembuatan biokar ini. Apabila asap sudah keluar dan berhasil memanggang sekam-sekam di bagian terdalam, biarkan proses berlangsung hingga keseluruhan sekam terpanggang matang dan menghitam. Ya, Andre memang sedang mendemonstrasikan cara membuat tungku untuk memanggang sekam. Mudah bukan? Tapi tunggu dulu, sekam yang dipanggang harus terus dipantau secara berkala supaya tidak hancur gagal menjadi abu.
"Sekam ini bisa dicampur dengan kompos atau kotoran sapi untuk dijadikan pupuk. Untuk penggunaannya nanti buat parit kecil, masukkan biokar ini, kemudian ditutup tanah lagi," terang Andre menambahkan.
Proses memanggang sekam memakan waktu lama. Okelah kami kembali ke kantor desa. "Mau solat Bu," izin Andre pada para petani. Kami bergegas pulang ke pondokan.
Kebetulan listrik menyala begitu kami kembali ke tempat pembuatan biokar. Beruntung, tidak jadi gelap-gelapan di bawah sinar rembulan. Tiba, Bu Vero segera menghampiri kami dengan membawa berita buruk, “Tadi ada orang datang langsung cabut cerobong biokarnya. Dikiranya mungkin nggak dipake jadi diacak-acak gitu.” Imbasnya? Sekam yang harusnya sudah selesai dipanggang baru matang seperlimanya. “Mau marahin ya gimana ya? Orangnya bisu dan tuli,” tawa Bu Vero mencairkan suasana. Tampaknya beliau ingin menghibur kami, atau Andre yang terlihat kecewa. “Gimana Ndre, masih mau dilanjutin? Kalo gue sih mau aja biar tahu hasilnya kayak gimana,” Andre sedikit merenung. Mungkin Ia sedang melamunkan berapa lama lagi kami harus menunggui proses pemanggangan ini hingga matang. Tanpa pikir lama, saya dan Andre memperbaiki gunungan sekam, kembali menegakkan cerobong yang sudah membengkok ini.
Oke. Lalu apa? Sesi malam ini hanya ada kami, Bu Vero, dan seorang petani muda yang sudah berpengalaman mengembara malam untuk menoreh getah. Kami berempat hanya berbagi cerita pengalaman manis-pahitnya hidup, tentang budaya Dayak modern, masalah sehari-hari, hingga perbincangan politik.
Malam semakin larut dan sekam belum terpanggang seutuhnya. Andre dan saya memutar otak supaya sekam lekas matang. "Coba kamu raba bagian sana Jo, anget nggak?" Iya, hangat. Menggunakan sepatah ranting, kami mengaduk sekam supaya yang di dalam keluar, begitu pula sebaliknya. Dengan begini, sekam yang di dalam tidak cepat hangus jadi abu, dan sekam di luar matang secepatnya.
Hufft, "Wah udah mau jam 10 Ndre. Gimana? Laper nih belum makan." Tahu kami belum makan malam, Bu Vero berinisiatif memasakkan mi instan untuk kami. "Ayo, makan dulu di rumah kakak," tanpa pikir panjang kami menerima tawaran ibu.
"Kamu nggak usah ikut," Andre menolak keinginan Hasniah untuk membantu programnya. Padahal lumayan kan jam kerjanya. "Aku pengen solo career," Ia berencana untuk pergi ke Sabah (RT 3) guna mempraktikkan bagaimana cara membuat biochar pada kelompok tani di sana. Hmm, mungkin saya bisa membantu Andre walau tidak seberapa daripada saya harus buang-buang waktu sembari menunggu listrik menyala. Itung-itung program bantu sekalian belajar cara mengolah tanah. Siapa tahu begitu pulang KKN nanti saya bisa terapkan ilmu dari Andre untuk mengolah lahan garapan keluarga. Saya ambil kamera yang beruntung sudah terisi penuh dayanya.
Berangkat.
***
Tiba di RT 3, kami berjumpa dengan Bu Vero. Beliau adalah penyuluh pertanian di sini yang berarti membina dan membantu 12 kelompok tani se-desa Tumiang. Profesi yang sama dengan bapak tiri saya. "Harusnya satu penyuluh pertanian membina delapan kelompok tani saja. Tapi maklumlah ya dek, tenaga penyuluh masih kurang di sini," Bu Vero berbagi keluh kesah dengan kami. "Tiap kelompok tani ada rata-rata 30 anggota. Kalau diminta datang sosialisasi, ada-ada saja alasannya. Giliran bantuan datang, antre berderet dari ujung-ke-ujung," keluhan Bu Vero berkebalikan dengan bapak saya. Sebagai fasilitator, memang sedikit susah menghimpun para petani agar mau hadir dan mendengarkan sesi materi. Umumnya, para petani tidak menyukai teori dan lebih memilih praktek secara langsung. Berbeda, di tempat bapak saya bertugas justru para petani tampak antusias dengan materi yang bapak saya bawa. Mungkin karena pendekatan dan pembawaan yang berbeda, atau lebih berwibawa? Entah. "Namanya juga Indonesia, Bu. Asal tanam pun bisa tumbuh sendiri," timpal saya.
Tidak banyak peserta yang mengikuti praktek pembuatan biokar, bahkan tidak lebih dari sepuluh orang. "Yasudah, mulai Ndre!"
Membuat Biokar
Berdasarkan hasil uji coba tanah yang dilakukan Andre dan Vikka beberapa hari lalu, hampir semua desa di Kecamatan Samalantan memiliki tanah dengan karakteristik kadar keasaman yang cukup tinggi. Kondisi ini tentu kurang baik untuk mengembangkan tanaman budidaya sehingga perlu dipastikan terlebih dahulu nutrisi dan unsur hara sebelum ditanami kembali. Biokar adalah salah satu teknologi rekayasa pertanian yang digunakan untuk meningkatkan pH tanah dan meretensi hara sehingga dapat mengikat air serta memperpanjang masa tanam. Cara membuat biokar sangat mudah. Bahan-bahan yang dibutuhkan pun dapat mudah dicari dari limbah pertanian yang tidak mudah terurai: sekam padi, tempurung kelapa, kulit buah kakao, hingga kayu. Biokar dibuat dengan cara membakar limbah tadi secara tidak sempurna sehingga menjadi arang.![]() |
Bahan utama pembuatan biochar |
Bahan-bahan membuat biokar: jaring kawat atau lembar aluminium, kertas bekas atau material mudah terbakar lainnya, ranting kayu kering, korek api, dan sekam.Sebelumnya, Bu Vero telah meminta petani setempat untuk mengumpulkan sekam padi seukuran seperempat tong minyak. Beliau juga sudah membeli jaring kawat, sayangnya murah sehingga tidak bisa berdiri tegak, "Toh cuma sekali pakai." Oiya, sekam dan gabah adalah dua hal yang berbeda. Apabila gabah adalah bulir padi yang sudah dipisahkan dari tangkainya, maka sekam adalah kulit beras.
Gulung jaring kawat hingga membentuk tabung, ikat dengan kawat supaya gulungan tidak terbuka. Letakkan gulungan kawat tadi di tengah, taburi sekam di sekelilingnya hingga membentuk seperti gundukan atau gunung tipe strato. Pastikan gulungan tetap berdiri tegak, serbuk sekam tidak diaduk supaya tidak ada oksigen masuk.
Berikutnya, bakar kertas bekas dan masukkan ke dalam gulungan tadi. Pastikan pembakaran awal berhasil memanaskan cerobong asap karena sangat menentukan keberhasilan pembuatan biokar ini. Apabila asap sudah keluar dan berhasil memanggang sekam-sekam di bagian terdalam, biarkan proses berlangsung hingga keseluruhan sekam terpanggang matang dan menghitam. Ya, Andre memang sedang mendemonstrasikan cara membuat tungku untuk memanggang sekam. Mudah bukan? Tapi tunggu dulu, sekam yang dipanggang harus terus dipantau secara berkala supaya tidak hancur gagal menjadi abu.
"Sekam ini bisa dicampur dengan kompos atau kotoran sapi untuk dijadikan pupuk. Untuk penggunaannya nanti buat parit kecil, masukkan biokar ini, kemudian ditutup tanah lagi," terang Andre menambahkan.
Proses memanggang sekam memakan waktu lama. Okelah kami kembali ke kantor desa. "Mau solat Bu," izin Andre pada para petani. Kami bergegas pulang ke pondokan.
***
Kebetulan listrik menyala begitu kami kembali ke tempat pembuatan biokar. Beruntung, tidak jadi gelap-gelapan di bawah sinar rembulan. Tiba, Bu Vero segera menghampiri kami dengan membawa berita buruk, “Tadi ada orang datang langsung cabut cerobong biokarnya. Dikiranya mungkin nggak dipake jadi diacak-acak gitu.” Imbasnya? Sekam yang harusnya sudah selesai dipanggang baru matang seperlimanya. “Mau marahin ya gimana ya? Orangnya bisu dan tuli,” tawa Bu Vero mencairkan suasana. Tampaknya beliau ingin menghibur kami, atau Andre yang terlihat kecewa. “Gimana Ndre, masih mau dilanjutin? Kalo gue sih mau aja biar tahu hasilnya kayak gimana,” Andre sedikit merenung. Mungkin Ia sedang melamunkan berapa lama lagi kami harus menunggui proses pemanggangan ini hingga matang. Tanpa pikir lama, saya dan Andre memperbaiki gunungan sekam, kembali menegakkan cerobong yang sudah membengkok ini.
Oke. Lalu apa? Sesi malam ini hanya ada kami, Bu Vero, dan seorang petani muda yang sudah berpengalaman mengembara malam untuk menoreh getah. Kami berempat hanya berbagi cerita pengalaman manis-pahitnya hidup, tentang budaya Dayak modern, masalah sehari-hari, hingga perbincangan politik.
Malam semakin larut dan sekam belum terpanggang seutuhnya. Andre dan saya memutar otak supaya sekam lekas matang. "Coba kamu raba bagian sana Jo, anget nggak?" Iya, hangat. Menggunakan sepatah ranting, kami mengaduk sekam supaya yang di dalam keluar, begitu pula sebaliknya. Dengan begini, sekam yang di dalam tidak cepat hangus jadi abu, dan sekam di luar matang secepatnya.
Hufft, "Wah udah mau jam 10 Ndre. Gimana? Laper nih belum makan." Tahu kami belum makan malam, Bu Vero berinisiatif memasakkan mi instan untuk kami. "Ayo, makan dulu di rumah kakak," tanpa pikir panjang kami menerima tawaran ibu.
![]() |
Petang hari, Andre kembali mengaduk adonan sekam |
Rumah Bu Vero bagi saya sangat besar. Di depan ada warung kecil, bagian tengah digunakan sebagai garasi motor, dan di belakang ada dapur dan dua kamar mandi serta ruang kecil terletak sedikit ke bawah (basement). Sepanjang makan malam, kami saling berbagi pengalaman. Bu Vero kembali bercerita tentang kelompok tani di Tumiang yang sedikit antipati terhadap upaya-upaya pemberdayaan yang dilakukan penyuluh pertanian. Andre sedikit menimpali, saya sendiri hanya bisa mendengarkan karena tidak mengerti struktur dan kultur pada masyarakat tani.
Kuah mie saya sruput habis. Kami berdua kembali ke proyek biochar. Asap masih sedikit mengepul di atas tumpukan sekam. Masih hangat. Duduk jongkok di dekat panggangan sekam tentu nyaman apalagi malam ini dingin cukup menusuk, tapi asapnya bikin mata pedih.
Malam semakin larut. "Ndre, gue ngantuk nih. Elu kagak ngantuk apa nungguin sekamnya jadi?" Mata Andre juga memerah. Tampaknya kali ini kami sepemikiran. "Kita mending balik pondokan dulu, istirahat. Kan masih proses pemanggangan tuh, udah tiga perlima kan. Kira-kira jam 1 malam kita balik lagi kesini. Setuju?" Andre segera mengambil kunci kontak, kami meluncur kembali. Semoga saja kami bisa bangun tepat waktu supaya sekam tidak hangus.
***
"Jo, mau ikut nggak?" Andre membangunkan saya. Dalam bayang-bayang buram, saya membasuh muka, memastikan siap untuk kembali mengecek sekam yang kami tinggal.
Meski terletak hanya pada ketinggian 1000 mdpl, panas gerah di siang hari, malam di Tumiang cukup dingin. Saya mengelap jok yang basah oleh bulir-bulir embun. Dingin. Jaket yang biasa dipakai untuk bermalam di pos ronda Jogja pun kurang mampu menjaga kehangatan tubuh saya. Dua kilometer berkendara, kami tiba di kampung Sabah. Di salah satu rumah masih ada keramaian para muda-mudi yang mempertaruhkan keberuntungan mereka.
![]() |
Dini hari, Andre sibuk mematikan panggangan |
"Bah, gosong Jo!" seru Andre. Sekam berhasil dipanggang, sialnya beberapa bagian di dalam ada yang sudah menjadi abu. "Bagian ini udah nggak bisa dipake," ujarnya.
Saya dan Andre bergegas ke belakang rumah Bu Vero untuk menggotong jerigen yang sudah diisi angin tadi. Berat! 'Kalo gini caranya bisa-bisa encok lagi gue,' pikir saya.
Kami menuangkan air dari jerigen dengan susah payah. Tak lupa bakaran sekam diaduk supaya biochar tidak hangus menjadi abu. Nyesss ... Asap putih kini membumbung hebat tinggi ke angkasa.
"Gimana Ndre? Gini aja cukup?" tanya saya ke Andre. Dokumentasi program sudah ada, "... terus biochar ini mau diapain besok?" Andre pun bingung karena tampaknya warga setempat kurang menyambut program yang Ia gagas. Semoga saja asapnya tidak masuk perumahan warga.