Putra Dayak yang Merindukan Rojak
‘Lagi-lagi air mati. Kalo gini terus sampe kapan gue kudu numpang di toilet sekolah?!’ geram saya. Masalah di pondokan yang juga kantor desa Tumiang ini adalah aliran air yang tidak konsisten. Pada waktu awal-awal kedatangan, air lancar jaya. Namun belakangan ini air justru seringkali kosong. Padahal tiap hari Tumiang selalu diguyur hujan lebat.
Saya sudah mengusulkan pada tim Saintek untuk membuat program renovasi balai desa, salah satunya dengan memasang tangki air dan filtrasi untuk tadah hujan. Dengan cara ini, air hujan yang segar dan masih nirpolusi ini akan mengalir melalui talang air kemudian difilter sebelum masuk ke tangki. Berikutnya, air akan kembali difilter sebelum masuk ke bak mandi. Sayang, ide saya tidak ditanggapi. Okelah, asal pihak sekolah tidak keberatan dengan kehadiran saya yang mondar-mandir numpang mandi di toilet yang mana airnya selalu mengalir tanpa keran.
Rapat klaster usai. Kami telah menyusun klasifikasi program dengan topik masalah minimnya kesadara pendidikan sebagai prioritas utamanya. Dalam kegiatan KKN di UGM, masing-masing mahasiswa diwajibkan untuk melaksanakan 200 jam kegiatan program utama, dan 88 jam program bantu. Sepertinya terlihat banyak. Namun dengan waktu selama 5 – 8 minggu, 200 jam ini bisa dengan mudah dilalui. Mengisi logbook kegiatan dan lembar I1 jadi rutinitas harian yang tak bisa dilewatkan. Setiap harinya, ada momen-momen yang susah diingat, namun mudah untuk dituliskan.
Saya menyendok satu-dua pepaya parut itu. Tak lupa, kuah disertakan supaya tidak membuat dahaga. “Cicipi dulu ya. Semoga doyan,” saya menyeringai pada Bu Rita dan berharap supaya beliau tidak tersinggung apabila saya kurang suka. Sluuurp ...
Saya sudah mengusulkan pada tim Saintek untuk membuat program renovasi balai desa, salah satunya dengan memasang tangki air dan filtrasi untuk tadah hujan. Dengan cara ini, air hujan yang segar dan masih nirpolusi ini akan mengalir melalui talang air kemudian difilter sebelum masuk ke tangki. Berikutnya, air akan kembali difilter sebelum masuk ke bak mandi. Sayang, ide saya tidak ditanggapi. Okelah, asal pihak sekolah tidak keberatan dengan kehadiran saya yang mondar-mandir numpang mandi di toilet yang mana airnya selalu mengalir tanpa keran.
Rapat klaster usai. Kami telah menyusun klasifikasi program dengan topik masalah minimnya kesadara pendidikan sebagai prioritas utamanya. Dalam kegiatan KKN di UGM, masing-masing mahasiswa diwajibkan untuk melaksanakan 200 jam kegiatan program utama, dan 88 jam program bantu. Sepertinya terlihat banyak. Namun dengan waktu selama 5 – 8 minggu, 200 jam ini bisa dengan mudah dilalui. Mengisi logbook kegiatan dan lembar I1 jadi rutinitas harian yang tak bisa dilewatkan. Setiap harinya, ada momen-momen yang susah diingat, namun mudah untuk dituliskan.
Hari Senin (2/7) lalu, keluarga Yayuk memanen jagung. Bang Jeff—bapaknya Yayuk sebenarnya sudah menawarkan kami untuk ikut membantu proses panen, mobil bak tanpa atap sudah siaga di depan rumahnya untuk mengangkut hasil panen. Sayangnya saya justru disibukkan dengan urusan surat-menyurat dengan para birokrat. Bisa saja sore harinya saya membantu proses mipilin—memisahkan antara biji jagung dengan bonggolnya, tapi saya sudah sangat lelah. Komang pun sakit sore itu.
‘Minimal bantu mipilin lah,’ ajak Angga kemarin. Mungkin Angga saat ini sedang ada di warung kecil Bang Jeff—kami biasa menyebutnya sebagai Starbucks, J.Co, dan sebagainya. Dan benar. Mudah bagi kami untuk mencari Angga dimana.
“Jun, sini Jun. Cobain Rujak Tumiang ini,” Angga menyodorkan sebaskom kecil salad. Awalnya saya mengira isinya parutan mentimun. Wangi masam menyengat hidung. “Ini dibuat dari daging pepaya muda,” timpal Bu Rita.
‘Minimal bantu mipilin lah,’ ajak Angga kemarin. Mungkin Angga saat ini sedang ada di warung kecil Bang Jeff—kami biasa menyebutnya sebagai Starbucks, J.Co, dan sebagainya. Dan benar. Mudah bagi kami untuk mencari Angga dimana.
“Jun, sini Jun. Cobain Rujak Tumiang ini,” Angga menyodorkan sebaskom kecil salad. Awalnya saya mengira isinya parutan mentimun. Wangi masam menyengat hidung. “Ini dibuat dari daging pepaya muda,” timpal Bu Rita.
![]() |
Bu Rita, sosok yang membantu kami beradaptasi dengan budaya masyarakat Dayak |
Melihat makanan yang tersaji dalam baskom, sebenarnya saya merasa sedikit mual. Apa tidak ada tempat lain ya seperti mangkuk besar gitu? “Coba dek,” berhubung Bu Rita menawarkan dan saya segan untuk menolak, saya memilih menyantapnya.
Istilahnya ‘kampunan’. Bagi masyarakat Dayak, menolak hidangan yang mereka sajikan bisa jadi sesuatu yang sensitif. Dosen pembimbing lapangan kami pernah berpesan, ‘Apabila kurang suka dengan sajian yang diberikan, minimal pegang bawah piring atau sentuh makanannya. Atau kalau bentuknya minuman, celupkan satu-dua jari ke dalamnya.’ Konon cara ini digunakan untuk menghargai sajian tuan rumah.
Istilahnya ‘kampunan’. Bagi masyarakat Dayak, menolak hidangan yang mereka sajikan bisa jadi sesuatu yang sensitif. Dosen pembimbing lapangan kami pernah berpesan, ‘Apabila kurang suka dengan sajian yang diberikan, minimal pegang bawah piring atau sentuh makanannya. Atau kalau bentuknya minuman, celupkan satu-dua jari ke dalamnya.’ Konon cara ini digunakan untuk menghargai sajian tuan rumah.
Bagi masyarakat Dayak, menolak hidangan yang mereka sajikan bisa jadi sesuatu yang sensitif.
Saya menyendok satu-dua pepaya parut itu. Tak lupa, kuah disertakan supaya tidak membuat dahaga. “Cicipi dulu ya. Semoga doyan,” saya menyeringai pada Bu Rita dan berharap supaya beliau tidak tersinggung apabila saya kurang suka. Sluuurp ...
![]() |
Saya mencicipi rojak khas Tumiang |
Rasa masam seperti cuka mencairkan isi otak saya. Campur aduk. Ada segar-masamnya jeruk nipis, pedasnya cabai rawit, sampai amisnya terasi. “Emmm, kuahnya saya suka bu,” kebetulan saya memang suka makanan pedas masam terutama yang mirip dengan cuka: pempek, asinan Bogor, otak-otak. Kuah cukup sebagai pengantar untuk lanjut ke bagian berikutnya: daging buah.
Ujung sendok makan menyekop parutan pepaya yang saya basahi sedikit kuah. Semoga enak. Satu, dua ...
Kremus
Daging gigitan pertama mendarat selamat di lidah, bagian samping belakang paling cepat bereaksi. Kecuuuuuuuut gila! Gigi mengunyah, menelan daging secara perlahan, lumat. Rasa segar dominan. Meski buah yang digunakan dalam ‘rojak’—cara masyarakat Tumiang menyebut rujak, hanya satu jenis saja, rasanya tetap nikmat. Rojak sangat berbeda dengan rujak ala Jawa yang punya beragam buah, dari apel, mangga muda, hingga bengkoang. “Orang-orang sini suka rojak ini,” Bu Rita pun memanggil rombongan kecil anak-anak yang mungkin baru saja mandi di sungai belakang. Mereka dengan senang hati melahap sepiring kecil penuh rojak ini.
Ujung sendok makan menyekop parutan pepaya yang saya basahi sedikit kuah. Semoga enak. Satu, dua ...
Kremus
Daging gigitan pertama mendarat selamat di lidah, bagian samping belakang paling cepat bereaksi. Kecuuuuuuuut gila! Gigi mengunyah, menelan daging secara perlahan, lumat. Rasa segar dominan. Meski buah yang digunakan dalam ‘rojak’—cara masyarakat Tumiang menyebut rujak, hanya satu jenis saja, rasanya tetap nikmat. Rojak sangat berbeda dengan rujak ala Jawa yang punya beragam buah, dari apel, mangga muda, hingga bengkoang. “Orang-orang sini suka rojak ini,” Bu Rita pun memanggil rombongan kecil anak-anak yang mungkin baru saja mandi di sungai belakang. Mereka dengan senang hati melahap sepiring kecil penuh rojak ini.
![]() |
Yogi yang rupanya putra Dayak asli. Beda dengan Andre yang Melayu |
Yogi mendatangi warung kecil ini untuk sekadar rehat dari rapat yang membuat pikiran lelah. Seperti biasa, Bu Rita akan menawarkan rojak ini. Saya masih saja menyendok satu-dua rojak ini. Mengetahui Yogi yang juga orang Dayak, Bu Rita pun asyik berbincang dengan bahasa Dayak.
Bicara tentang bahasa, masing-masing kampung alias dusun di Tumiang (ada 9 RT di sini) rupanya memiliki bahasa Dayak yang berbeda. Apabila di kampung Sakek (RT 5) menggunakan bahasa Dayak Damea, di kampung Sangkinahu (RT 7) justru menggunakan bahasa Dayak Ba’ahe. Begitu juga di kampung Padang (RT 1 & 2) yang menggunakan bahasa Dayak Bajare. Meskipun ada perbedaan perbendaharaan dalam pelafalan, masyarakat desa Tumiang tidak mengalami kendala yang berarti dalam berkomunikasi.
Yogi tampak ketagihan, ia kembali menyendok sepiring kecil penuh rojak segar ini. “Maklum bu kangen rasa-rasa makanan sini, di Jogja jarang nemu beginian. Paling mentok binke Pontianak,” tutur Yogi. Keringat bercucuran dari dahinya, tapi ia kembali tambah.
‘Kamu doyan atau lapar Yog?’ hehe.
Bicara tentang bahasa, masing-masing kampung alias dusun di Tumiang (ada 9 RT di sini) rupanya memiliki bahasa Dayak yang berbeda. Apabila di kampung Sakek (RT 5) menggunakan bahasa Dayak Damea, di kampung Sangkinahu (RT 7) justru menggunakan bahasa Dayak Ba’ahe. Begitu juga di kampung Padang (RT 1 & 2) yang menggunakan bahasa Dayak Bajare. Meskipun ada perbedaan perbendaharaan dalam pelafalan, masyarakat desa Tumiang tidak mengalami kendala yang berarti dalam berkomunikasi.
Yogi tampak ketagihan, ia kembali menyendok sepiring kecil penuh rojak segar ini. “Maklum bu kangen rasa-rasa makanan sini, di Jogja jarang nemu beginian. Paling mentok binke Pontianak,” tutur Yogi. Keringat bercucuran dari dahinya, tapi ia kembali tambah.
‘Kamu doyan atau lapar Yog?’ hehe.
Posting Komentar