Jalan Panjang Menuju Bengkayang

Jam menunjukkan pukul 08.30 ketika saya masih asyik menonton video sembari menanti Komang datang kemari. Komang? Iya Komang. Dia dan saya menjadikan program sosialisasi beasiswa dan pengadaan buku-buku sekolah sebagai program pokok KKN masing-masing. Karena pada Jumat lalu saya dan Dwi sudah ke kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kab. Bengkayang dan tidak dapat menindaklanjuti diskusi dengan para birokrat karena terkendala kurangnya dokumen komplementer surat disposisi Pak Bupati, alhasil kami diminta membawa surat penugasan, surat perintah penerjunan, serta lampiran program yang akan dikolaborasikan dengan Disdikbud ke kantor pada Senin (2/7) pagi ini. Dari sini saya sadari bahwa birokrasi di Indonesia masih sangat ribet, dan pengaturan sistem ini kewenangannya ada di pusat. 

Bukit Jamur di selatan jalan menuju Bengkayang
Cana dan Ifan, meski redaksi kami berbeda, kami bertiga tetap harus menunggu Komang datang karena Ia membawa cap tim KKN KB-001 kami untuk legalitas surat yang dibuat. Tiga puluh menit berselang, Komang tiba di Tumiang. Benar dugaan saya, dia tersasar karena lupa jalan.

“Udah siap?” tanya saya pada Komang. “Gue nggak bisa gantiin elu ya Mang selama perjalanan. Enggak bisa pakai motor kopling gue,” Komang menyanggupi. Perjalanan dimulai.

Untuk mengantar surat-surat dalam amplop kecil ini, kami harus menempuh jarak sejauh kurang lebih 56 kilometer dari Tumiang ke kantor-kantor dinas di Bengkayang. Jarak ini serupa dengan perjalanan dari Jogja ke Temanggung. Padahal, faktanya kami hanya melewati tiga kecamatan saja lho: Samalantan, Sungai Betung, Bengkayang. Bisa terbayang betapa luasnya daerah administratif di sini. Kami sempatkan untuk mampir ke warung penjaja bensin eceran setempat supaya motor tidak mati lagi di jalan. 



“Semua dua puluh empat,” jawab si kakek tua. Tubuhnya bungkuk, meringkuk, tanpa mengenakan baju. Di seberang kios kecilnya, ada 3 penjaja bensin eceran juga. Perlu diketahui, jumlah SPBU di Kabupaten Bengkayang bisa dihitung jari. Di kecamatan Samalantan dulu ada SPBU, kini sudah tutup karena konon pernah terjadi kebakaran hebat di sana. “Enggak ada SPBU lagi di jalan Mang. Tiga liter cukuplah. Nanti isi bensin di SPBU Bengkayang, kalau ada ya.”

Jalanan menuju Bengkayang benar-benar membawa fantasi saya pada kehidupan masyarakat perbatasan. Hutan, kebun sawit, sawah, bukit, rumah-rumah dengan pola menyebar, lalu hutan lagi adalah beberapa pemandangan biasa di sini. Samalantan menuju Bengkayang meski terpaut hanya tiga kecamatan, jarak yang harus saya tempuh untuk mengantar kembali amplop kecil ini sejauh 56 kilometer. Luar biasa! Jarak ini setara dengan jarak dari kosan saya di dekat UGM ke Temanggung. Atau dari kosan saya ke Solo. Dan walau hanya tiga kecamatan, luasnya mungkin setara dengan Kabupaten Sleman. 

Melewati jalanan menanjak dan menikuk curam Bukit Vandering
Meskipun jauh, lama perjalanan rupanya cukup singkat. Apabila konsisten dengan kecepatan 50 kmpj, maka saya akan tiba di kantor dinas dalam satu jam 16 menit, “Kurang lebih segitu lah. Kita sampai paling setengah 11.”

Separuh perjalanan awal, jalanan naik-turun landai dan sedikit berliku. Sama seperti jalan menuju kecamatan, setiap tikungan di sepanjang jalan ini umumnya terhalang oleh rerumputan tinggi yang membuat kami—saya terutama, kagetan kalau berpapasan. Di Serukam, terdapat jembatan dengan lebar hanya 3 meteran saja setelah tikungan. Kendaraan harus saling bergantian untuk lewat. Seperempat perjalanan berikutnya jalan mendaki dan menuruni Bukit Vandering yang biasa disebut warga lokal dengan ‘Pendaring’. Ada lima tikungan hampir 360 derajat di sini. Berikutnya di Sungai Betung, jauh di utara jalan terlihat gunung yang begitu megah. Asumsi saya, gunung itu terletak di perbatasan antar negara, atau Gunung Niut, atau Gunung Rumput. Sisi selatan jalan juga menyajikan pemandangan yang memanjakan mata dengan panorama sangat ciamik berlatar Bukit Jamur. 

Deretan pertokoan di Bengkayang Kota
Kami tiba di Bengkayang. Sebuah patok batas antar kecamatan menyambut kami. Bengkayang adalah daerah padat dengan tipikal kota kecil pada umumnya. Ia memiliki pasar, pertokoan, minimarket berjejaring, bank, hingga terminal. Lalu lintas di kota ini masih tertib, santai, dan lengang. Tidak ada pos polisi, apalagi lampu APILL yang memperlambat laju perjalanan kami. “SPBUnya udah deket belum Jo?” Komang khawatir motor habis bensin. Tak jauh, SPBU usang itu terlihat. Sepanjang perjalanan kemarin, saya hanya melihat satu saja. Dua motor ini berbelok, mengantre panjang di jalur Pertalite.

Meski sudah satu harga, kekurangan Pertamina sebagai BUMN adalah belum meratanya pendistribusian BBM. Di Kabupaten Bengkayang, sejauh ini saya melihat hanya ada dua SPBU: satu di Samalantan, satu di Bengkayang. Meski hanya dua, tenang saja, ada ratusan pengecer bahan bakar bertebaran di pinggi jalan. Ada yang menjual hanya Premium, Pertalite, ada juga Pertamax yang dicampur oli—saya belum mengerti kenapa. Solar sangat langka di sini. Hal yang patut disayangkan, pembelian BBM dengan jerigen diperbolehkan disini. Menurut hemat saya, karena diperbolehkannya praktik beli BBM dengan jerigen membuat banyak BBM yang ditimbun. Banyaknya pengecer jadi salah satu faktor kenapa BBM di SPBU cepat habis, lalu BBM dijual ulang dengan harga yang sedikit lebih tinggi. 

Komang dan pelat AB
Tangki motor penuh, kami lanjutkan seperlima perjalanan yang tersisa. Di akhir perjalanan, dua motor ini berpisah. Kami janji untuk bertemu di minimarket nanti.

Hari ini kembali saya injakkan kaki di kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bengkayang. Pelat AB ini parkir diantara pelat KB lainnya. Di beranda kantor, tampak para PNS sibuk kesana-kemari membawa lembaran dokumen penting antar ruangan.

Saya menghela napas. Semoga ini kali terakhir saya wira-wiri ke sini.