Hilang di Tengah Ladang

Seorang ibu memanen jagung


Tok ... tok ... #Tiktok.

Dengan bersusah payah Canting mengayunkan badik ke arah batang bambu muda itu. “Segini cukup?” dijawab gelengan Hasniah, Canting mencari potongan bambu tambahan. Ia kembali membidik batang bambu itu. Kali ini bambu yang akan dipotong lebih besar dan berwarna tua. Ayunan badik Canting tak mampu menebas batang bambu dalam 2-3 kali serangan. “Ri, Ari. Bisa bantu Canting motongin bambu nggak?” seru Vikka pada Ari, anak pramuka setempat yang pendiam namun mau membantu kami membuat rute untuk program Saung Mimpi. Ari menyanggupi. Kali ini giliran ia yang memegang badik. Dibidiknya batang bambu itu, dengan sekuat tenaga Ari menebas batang bambu dalam 7 serangan. Hebat!


Selama berada di Tumiang, anak-anak kampung sini (kami biasa menyebutnya ‘akamsi’) adalah sahabat baru kami. Mereka rela berduyung-duyung dari kampung Sakek menuju kantor desa hanya untuk mengajak kami mandi di sungai, atau sekadar bermain bola di lapangan sekolah. Well, kadang mereka tetap berada di kantor desa sampai malam.

Saya menghampiri Hasniah yang masih bingung dalam memilih bambu yang akan dipotong untuk dianyam jadi nampah, “Gimana? Apa enggak lanjut survei rute Saung Mimpi aja dulu? Bambunya ditinggal aja, besok dilanjut lagi.”

*** 

Saya tertarik membantu dokumentasi program Saung Mimpi ini setelah mendapat cerita dari teman-teman yang membuat rute kemarin, “Kami lewat jembatan gantung plus rumah dukun lho.” Asyik sepertinya. Sayangnya hari ini teman-teman saya memilih mencari rute baru yang lebih dekat dengan membuka jalan baru—atau jalan setapak yang hilang ditelan ilalang. 

Canting dan dua adik barunya

Seperti biasa, kami dikerubungi anak-anak yang ikut meramaikan eksplorasi kami. Ada Yongki, Rendy, Bajong, Bulek, sampai Pino. Mereka bermain-main di jembatan setapak itu. Jembatan yang hanya berupa batang kayu ini membentang kurang lebih tujuh meter. Kami harus bergantian menyeberangi sungai yang sebenarnya tidak dalam ini. Yang berat adalah Angga dan Vikka: bila mereka berdua melintas bersamaan, dijamin runtuh.

Saya sudah menyeberang. Kini giliran teman-teman saya. Bajong yang masih kecil jelas tidak dapat menggapai batang bambu. “Sini aku gendong,” ajak Canting kebapakan. Saat menyeberang, Yongki iseng menggenjot ujung batang jembatan.

Semua hanya ladang jagung saja
Kali ini kami membuat rute membelah perladangan jagung. Di sisi kiri, jagung baru memasuki masa tanam sedang seberangnya sudah panen. Melihat jalan setapak yang sudah hilang, sepertinya ini bukan jalan umum deh. Asyik merekam sorot mentari membelah ladang jagung membuat saya tertinggal iring-iringan. Anak-anak dan teman saya menghilang dari pandangan. Saya mencoba menerka jalan yang mereka lewati dengan mengikuti gaung suara mereka. Sepertinya mereka ke arah bukit berpohon tinggi itu.

Mengikuti logika arah langkah mereka justru membuat saya semakin tersasar. Tidak ada jalan, yang ada hanya tanaman jagung kering yang belum dipanen dan ditanam rapih paralel. Saya mengikuti jalur-jalur itu.

Dari jauh, sepertinya rekan-rekan saya mulai khawatir. “Kak Jojo ~” teriak seorang akamsi. “Kak Jojo ~” mereka terus memanggil nama saya. Berputar arah, kembali ke titik awal yang mungkin membuat saya terpisah tak jua membuat saya menemukan jalan ke arah bukit tempat suara berasal. Panik? Tidak, setidaknya selagi masih ada sorot matahari.

“Kak Jojo ~” saya menebar pandangan. Anak-anak mendadak muncul dari arah pukul sembilan. Mereka dengan santainya menabraki tanaman jagung yang mengering, dan patah tersungkur ke tanah. “Kakak kemana saja? Kami tunggu di atas bukit sana,” omel seorang akamsi. Hehe, kakak enggak tahu jalan. Sang akamsi memandu saya kembali ke jalan yang benar. 

Asal buka jalan aja kamu dek ~

Ladang jagung ini bersebelahan dengan bukit yang rupanya merupakan asal nenek moyang warga setempat. Tiga buah batu nisan dan kendi berlumut di bawah pohon tertinggi menjadi patokannya. Mungkin makam, mungkin juga pemujaan terhadap dewa yang bersemayam di pohon besar? Entahlah. Anak-anak pun berebut untuk memeluk batu nisan yang dipercaya sebagai makam nenek moyang mereka: sebuah penghormatan pada leluhur.

Trekking dilanjutkan. Kami menuruni lereng bukit yang cukup landai. Anak-anak ini menunjukkan pada kami ladang-ladang kebun milik mereka. “Yang itu punya Aling kak,” tunjuk Rendy pada ladang yang sudah panen setengahnya. Sesekali adik-adik ini bertemu dengan kakak mereka yang bekerja di ladang. 

Yemima (baju hijau) melangkah dengan cepat

Etape terakhir yang menjadi rencana pos Saung Mimpi kami akan melewati salah satu sungai kecil yang sangat-sangat jernih. Meski sanitasi di desa ini tergolong sangat buruk dan masyarakat yang belum terbiasa untuk buang sampah pada tempatnya, untuk kebersihan sungai masih sangat terjaga. Siapa saja memang diperbolehkan menggunakan sungai untuk keperluan MCK, asal tidak mencemarinya. Sungai kecil ini bersebelahan dengan kebun sawit rupanya dan dilanjut kebun durian. Saat ini adalah musim panen durian di sebagian besar Samalantan. Beberapa warga pun aktif menunggu durian jatuh pada malam hari. Ada juga warga yang memasang papan kecil pada batang pohon durian, ‘Milik keluarga, dilarang mengambil durian di sini.’