Capek Sepulang dari Riam Nek
Mati listrik membuat saya tidak bisa melakukan banyak hal separuh hari ini. Jelas, program saya untuk publikasi Samalantan tentu membutuhkan media laptop dan ponsel serta konektivitas internet. Saya juga belum berkoordinasi bersama Dwi terkait rencana ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bengkayang esok (2/7). Selebihnya, saya lewatkan hari dengan tidur. Teve mati, tidak bisa lihat perkembangan berita terkini. Dispenser mati, niat menyeduh cokelat panas pun kandas. Kipas angin mati, hawa panas – lembab menyeruak ke seluruh ruangan. Pompa air mati, seharian saya belum mandi. Kehidupan terasa berhenti, anak-anak pun tidur sekenanya.
“Jam dua kita ke air terjun, diajak Pak Kades,” jelas Canting. Saya dengar di desa Tumiang memang ada dua air terjun yang masih sangat asri. Selama delapan hari pengabdian, kami memang berencana akan ke air terjun itu, tapi belum sempat. ‘Mumpung listrik mati air habis toh, mending mandi sekalian saja,’ benak saya.
Puas dengan tingkat tiga, kami beralih ke tingkat satu. Benar apa kata Pak Kades Ardilala, meski tidak begitu besar, kolam tingkat satu benar-benar dalam, “Se-kepala gue Vik.” Saya pun sedikit kesulitan dalam menapakkan kaki ke dasar kolam.
Di kolam tingkat satu, saya hanya berendam saja. Halimah dan Ifan menyusun balancing stone untuk melatih kesabaran dan fokus mereka. Batu-batu yang disusun umumnya berbentuk pipih atau lonjong dengan bentuk bervariasi, disusun tidak perlu runut dari ukuran terbesar menuju terkecil asal seimbang. Bagai berang-berang, Ifan menyusun batu-batu kali untuk membendung air. “Orang zaman dulu pakai batu kali buat ngebersihin daki lho,” ungkap Vikka yang bikin saya bertanya-tanya. Masa sih? Bikin lecet sih lebih mungkin.
Lelah, kami mengentaskan diri. Tidak ada kamar ganti, kami semua kembali ke minibus seadanya. Sebelum kembali ke kantor desa, Ifan, Rivy, Eka, dan Cana ingin menjajal sensasi duduk di atap angkutan desa ini. Mereka dengan santai menaiki tangga di samping pintu masuk, dan segera duduk manja di atasnya. Perjalanan kembali di mulai.
“Jam dua kita ke air terjun, diajak Pak Kades,” jelas Canting. Saya dengar di desa Tumiang memang ada dua air terjun yang masih sangat asri. Selama delapan hari pengabdian, kami memang berencana akan ke air terjun itu, tapi belum sempat. ‘Mumpung listrik mati air habis toh, mending mandi sekalian saja,’ benak saya.
![]() |
Seperti menemukan surga yang jatuh |
Matinya aliran listrik berimbas pada air yang juga mati. Sedari kemarin, saya sudah merendam pakaian. Rencananya, tadi Sabtu (30/6) malam saya mencuci dan membilas pakaian yang terbatas. Semua itu batal karena air habis, padahal hujan selalu mengguyur di sore hari. Terpaksa, pagi hingga siang ini saya memakai sarung sebagai pengganti celana. Lucu sih, jadi kelihatan seperti orang-orang Skotlandia dengan baju adat Melayu ini.
Minibus hijau tua itu sudah siaga di depan kantor desa, jurusannya Tumiang – Sarabi. Anak-anak putri tampak repot mempersiapkan bawaan. Saya pun masih bingung akan membawa baju ganti atau tidak, karena konon tidak ada tempat privat di sekitaran air terjun untuk ganti baju. Handuk jelas bawa, meski saya yakin akan pulang dalam keadaan basah kuyup.
Minibus hijau tua itu sudah siaga di depan kantor desa, jurusannya Tumiang – Sarabi. Anak-anak putri tampak repot mempersiapkan bawaan. Saya pun masih bingung akan membawa baju ganti atau tidak, karena konon tidak ada tempat privat di sekitaran air terjun untuk ganti baju. Handuk jelas bawa, meski saya yakin akan pulang dalam keadaan basah kuyup.
![]() |
Tingkatan dua air terjun Riam Nek |
Berangkat. Selama ini saya belum pernah ke desa RT 6 ke atas yang konon rumah Pak Kades ada di sana. Jalanan aspal hanya mengiringi 500 meter perjalanan, sisanya jalan tanah berbatu memperlambat kami. Tiba di Sangkinahu, ada satu sekolah dasar yang jadi tempat bagi Angga, Sedya, dan Yemima mengajar esok. Tampak ada ibu-ibu sedang menjemur jagung di lapangannya. Dua-tiga kilometer kemudian, ada desa kecil lagi dengan pertigaan, kami ambil kanan. Sejauh mata memandang, perkebunan sawit terhampar. Tak lama, minibus yang lebih sering saya sapa ‘truk’ ini berhenti di depan gubug kayu tua. Yakin nih ada air terjun, kan sawit tipikal tanaman yang boros air(?)
Lokasi air terjun dari tempat kami berhenti tidak begitu jauh. Hanya butuh waktu 5 menit berjalan di jalan setapak yang biasa dilewati motor ini. Kami tiba di air terjun, Pak Ardilala dan supir berbincang dalam bahasa Dayak. Kami dipersilakan untuk menikmati salah satu potensi wisata di desa Tumiang ini hingga pukul 4 sore nanti.
Lokasi air terjun dari tempat kami berhenti tidak begitu jauh. Hanya butuh waktu 5 menit berjalan di jalan setapak yang biasa dilewati motor ini. Kami tiba di air terjun, Pak Ardilala dan supir berbincang dalam bahasa Dayak. Kami dipersilakan untuk menikmati salah satu potensi wisata di desa Tumiang ini hingga pukul 4 sore nanti.
***
![]() |
Tingkat satu (paling bawah) air terjun Riam Nek |
Sebagai salah seorang penjelajah, bisa melihat air terjun adalah kesenangan tersendiri. Apalagi jika kondisinya masih sangat-sangat alami tanpa ada perubahan fisik yang diakibatkan campur tangan manusia. Saya pun tidak sabar untuk melepas sarung yang mengikat di pinggang, cukup dengan celana dalam seperempat paha untuk mengeksplorasi kekayaan mineral ini. Wah, ada putri sih, saya urung deh untuk melepas sarung.
![]() |
Bermain di kolam tingkat ketiga |
Air terjun ini bernama Riam Nek dan riam berarti air terjun. Meski terletak di tengah kawasan kebun sawit, air tetap deras mengalir membelah lembah kecil ini. Jernih. Sangat alami. Batu-batuan di sungai ini pun masih berlumut tebal. Berpuluh-puluh tahun air ini membelah bebatuan beku, menciptakan air terjun dalam tiga tingkatan. Tingkat pertama paling luas dan paling dalam—hingga 2,5 meter kata Pak Kades, tidak cocok untuk anak-anak dan orang yang belum mahir berenang seperti saya. Tingkatan kedua berbentuk kolam kecil, tapi lebih cenderung seperti pipa karena bagian tengah memiliki kedalaman 1,5 meter. Tingkatan kedua juga asyik untuk perosotan karena batu-batu yang tererosi membentuk median miring. Terakhir adalah tingkat ketiga yang membentuk kolam sedang. Selama enam puluh menit kami bermain-main di sini karena dangkal dan aman untuk Yayuk, Mika, dan temannya—anak-anak setempat yang ikut dalam eksplorasi kami kali ini. Beruntung saya tidak terlalu ‘direcoki’ Yayuk, jadi bisa menikmati betapa segarnya air yang entah berasal dari pegunungan mana ini. Ifan memilih bersemedi di bawah air terjun, gaya duduknya mirip katak. Rivy, Cana, dan Maya sibuk mendokumentasikan keseruan kami, Canting dan Angga kewalahan menggendong Yayuk, sedang Andre cuma berdiam mengatur pernapasan di atas bebatuan. Saya mengepakkan kaki di dalam air, butir-butir pasir berhamburan namun tidak membuat keruh. Karena masih sangat alami, saya sangat berhati-hati di sini. Sesekali lumut hampir membuat saya terpeleset, bahaya kalau kepala sampai terantuk batu.
Puas dengan tingkat tiga, kami beralih ke tingkat satu. Benar apa kata Pak Kades Ardilala, meski tidak begitu besar, kolam tingkat satu benar-benar dalam, “Se-kepala gue Vik.” Saya pun sedikit kesulitan dalam menapakkan kaki ke dasar kolam.
Di kolam tingkat satu, saya hanya berendam saja. Halimah dan Ifan menyusun balancing stone untuk melatih kesabaran dan fokus mereka. Batu-batu yang disusun umumnya berbentuk pipih atau lonjong dengan bentuk bervariasi, disusun tidak perlu runut dari ukuran terbesar menuju terkecil asal seimbang. Bagai berang-berang, Ifan menyusun batu-batu kali untuk membendung air. “Orang zaman dulu pakai batu kali buat ngebersihin daki lho,” ungkap Vikka yang bikin saya bertanya-tanya. Masa sih? Bikin lecet sih lebih mungkin.
Lelah, kami mengentaskan diri. Tidak ada kamar ganti, kami semua kembali ke minibus seadanya. Sebelum kembali ke kantor desa, Ifan, Rivy, Eka, dan Cana ingin menjajal sensasi duduk di atap angkutan desa ini. Mereka dengan santai menaiki tangga di samping pintu masuk, dan segera duduk manja di atasnya. Perjalanan kembali di mulai.
![]() |
Angga kewalahan menggendong Yayuk |
Bagi saya yang duduk di jok bawah, rasanya pantat sedikit geli dengan sarung yang basah. Rusaknya jalan akses ke air terjun memperlambat laju minibus, sekaligus menggoncang kami. Di atas, tentu Rivy dan Ifan terkocok lebih hebat lagi. Dengan keempat teman duduk di atas atap, kami jadi sorotan warga sekitar. Saya berusaha menyapa adik-adik lewat pintu, tapi tatapan mereka kosong ke arah Cana dan Eka. Sesekali Rivy harus meringkut melewati batang-batang pohon yang melintang.
Di tengah jalan, tiba-tiba minibus berhenti. Canting dan Sedya yang duduk di depan tiba-tiba turun. Saya kira teman kami ada yang jatuh. Rupanya ada seorang ibu dengan dua anaknya terperosok ke kubangan di sisi jalan. Motor tua itu mati. Saya dan Canting mendirikan motor, dan Canting mencoba menyelahnya. Untungnya motor menyala.
Di tengah jalan, tiba-tiba minibus berhenti. Canting dan Sedya yang duduk di depan tiba-tiba turun. Saya kira teman kami ada yang jatuh. Rupanya ada seorang ibu dengan dua anaknya terperosok ke kubangan di sisi jalan. Motor tua itu mati. Saya dan Canting mendirikan motor, dan Canting mencoba menyelahnya. Untungnya motor menyala.
***
Dilihat dari letak dan kondisinya, air terjun ini sangat mudah diakses, serta melewati beberapa perkampungan kecil. Hanya saja jalan akses menuju lokasi (jalan desa dari jalan utama) yang masih rusak mungkin akan membuat para pengunjung urung untuk datang ke tempat ini. Ingin rasanya saya mengajukan proposal pembangunan jalan aspal untuk desa Tumiang RT 6 dan seterusnya hingga tapal batas Kabupaten Bengkayang dengan Kabupaten Landak. Sayang sekali, terbatasnya waktu dan seharusnya kami mengajukan proposal perbaikan jalan jauh sebelum waktu pengabdian kami pada Juli – Agustus tahun ini. Semoga dalam waktu dekat baik aparatur desa maupun pemerintah setempat dapat segera menginisiasi perbaikan jalan desa serta masyarakat turut andil dalam mengembangkan ekowisata Riam Nek ini.
Posting Komentar