Selamat Tinggal Yogyakarta
“Terminal B pak!”
Saya dan Angga masih tidak bisa percaya atas apa yang baru saja kami alami: mobil yang kami tumpangi hampir mengalami kecelakaan dengan mobil tua dari tahun 90-an itu. Ya, mobil tua itu melaju kencang dari arah timur, mengabaikan instruksi lampu merah, hampir menabrak mobil kami yang sudah berbelok ke Adi Sucipto. Beruntung sang supir cukup lihai meski dalam keadaan kantuk, jika tidak, bisa dipastikan kami berdua absen dari agenda KKN kali ini.
Kami berdua mengeluarkan koper milik teman-teman, menumpuknya di atas troli, mengantrekannya di pinggir pintu masuk. “Yang lain mana? Lora? Fabian? Dwi?” Cana menghitung jumlah tim yang sudah presen, 14, 17. “Tinggal Yola.”
Jam sudah menunjukkan pukul 04.43, dan kami masih belum melakukan check-in manual. Salah satu petugas maskapai NAM Air pun meminta kami masuk ke ruang check-in, dengan catatan Cana—sebagai penanggungjawab transportasi, tetap menunggu di luar sebelum mendapatkan KTP Yola.
Di ruang check-in, para pemudik bergegas antre di barisan penerbangan mereka. Ada yang masih ngantuk, ada yang sedikit ribet karena barang bawaan yang terlampau banyak. Petugas keamanan mengatur barisan, “NAM Air keberangkatan Pontianak harap segera check-in.” Panik? Lumayan. Karena dalam waktu sesingkat ini, kami berdua puluh empat harus segera check-in manual, memastikan isi koper dan bawaan kami aman untuk bisa masuk ke bagasi pesawat, melewati seperangkat prosedur keamanan yang cukup ketat, lalu melaksanakan solat Subuh bagi yang Muslim. Sungguh, Rush Hour.
Yola datang, ia langsung bergabung ke barisan belakang dan memberikan KTPnya pada Cana. Maya, Dwi, dan Cana bergegas ke barisan depan. “Kita check-in bareng biar bisa akumulasi bagasi buat barang bawaan tim.” Tiket siap, KTP pun sudah dibuat runut berdasarkan urutan tiket. “Maaf mbak, tidak bisa check-in bareng. Harus sendiri, sendiri.” Setelah mencerna maksud sang petugas, kami segera mengakali prosedur check-in yang bisa jadi membuat barang-barang bawaan tim gagal diterbangkan. “Kalau barang pribadi masih kurang dari 20 kilogram, ditambahin barang program ya,” atur Maya mengakomodir kami. Sebagai bendahara, Ia lebih sibuk mengatur barang-barang kami dan program.
Tiga puluh menit berselang, kami bergegas ke ruang tunggu. Ini bagian yang sedikit menyebalkan bagi saya: membongkar isi ransel secara menyeluruh, meletakkan laptop dan segala tetek-bengeknya pada nampan, memastikan tidak ada bahan metalik yang melekat pada tubuh saya sebelum melewati gerbang detektor metal.
Oiya, belum perkenalan ya. Kenalkan aku Johan Ferdian Juno Rizkinanda, mahasiswa aktif S1 Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Panggil saja aku Jo, atau Jojo. Saat ini aku adalah peserta program Kuliah Kerja Nyata – Program Pengabdian Masyarakat UGM 2018 yang ditempatkan di Kalimantan Barat, tepatnya Kecamatan Samalantan di Kabupaten Bengkayang. Di sini, aku bersama 28 anak lainnya dibagi ke dalam dua tim: satu tim berjumlah 15 anak ditempatkan di Desa Bukit Serayan, dan 14 sisanya di Desa Tumiang.
Di dalam blog ini, aku akan mengeposkan beberapa tulisan pengalaman dari perspektif pribadiku mengenai program ini, bagaimana saya mengabdi, hingga pandangan saya mengenai kehidupan masyarakat di tempat saya mengabdi. Akan ada beberapa teman tim saya yang ikut menyumbang cerita mereka di blog ini. Jadi ... selamat menikmati.
‘Kepada para penumpang maskapai NAM Air tujuan Pontianak dengan kode penerbangan IN239 ...’
Kami sudah dipanggil.
Waktunya berangkat.
Saya dan Angga masih tidak bisa percaya atas apa yang baru saja kami alami: mobil yang kami tumpangi hampir mengalami kecelakaan dengan mobil tua dari tahun 90-an itu. Ya, mobil tua itu melaju kencang dari arah timur, mengabaikan instruksi lampu merah, hampir menabrak mobil kami yang sudah berbelok ke Adi Sucipto. Beruntung sang supir cukup lihai meski dalam keadaan kantuk, jika tidak, bisa dipastikan kami berdua absen dari agenda KKN kali ini.
Kami berdua mengeluarkan koper milik teman-teman, menumpuknya di atas troli, mengantrekannya di pinggir pintu masuk. “Yang lain mana? Lora? Fabian? Dwi?” Cana menghitung jumlah tim yang sudah presen, 14, 17. “Tinggal Yola.”
Jam sudah menunjukkan pukul 04.43, dan kami masih belum melakukan check-in manual. Salah satu petugas maskapai NAM Air pun meminta kami masuk ke ruang check-in, dengan catatan Cana—sebagai penanggungjawab transportasi, tetap menunggu di luar sebelum mendapatkan KTP Yola.
Di ruang check-in, para pemudik bergegas antre di barisan penerbangan mereka. Ada yang masih ngantuk, ada yang sedikit ribet karena barang bawaan yang terlampau banyak. Petugas keamanan mengatur barisan, “NAM Air keberangkatan Pontianak harap segera check-in.” Panik? Lumayan. Karena dalam waktu sesingkat ini, kami berdua puluh empat harus segera check-in manual, memastikan isi koper dan bawaan kami aman untuk bisa masuk ke bagasi pesawat, melewati seperangkat prosedur keamanan yang cukup ketat, lalu melaksanakan solat Subuh bagi yang Muslim. Sungguh, Rush Hour.
Yola datang, ia langsung bergabung ke barisan belakang dan memberikan KTPnya pada Cana. Maya, Dwi, dan Cana bergegas ke barisan depan. “Kita check-in bareng biar bisa akumulasi bagasi buat barang bawaan tim.” Tiket siap, KTP pun sudah dibuat runut berdasarkan urutan tiket. “Maaf mbak, tidak bisa check-in bareng. Harus sendiri, sendiri.” Setelah mencerna maksud sang petugas, kami segera mengakali prosedur check-in yang bisa jadi membuat barang-barang bawaan tim gagal diterbangkan. “Kalau barang pribadi masih kurang dari 20 kilogram, ditambahin barang program ya,” atur Maya mengakomodir kami. Sebagai bendahara, Ia lebih sibuk mengatur barang-barang kami dan program.
Tiga puluh menit berselang, kami bergegas ke ruang tunggu. Ini bagian yang sedikit menyebalkan bagi saya: membongkar isi ransel secara menyeluruh, meletakkan laptop dan segala tetek-bengeknya pada nampan, memastikan tidak ada bahan metalik yang melekat pada tubuh saya sebelum melewati gerbang detektor metal.
***
Oiya, belum perkenalan ya. Kenalkan aku Johan Ferdian Juno Rizkinanda, mahasiswa aktif S1 Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Panggil saja aku Jo, atau Jojo. Saat ini aku adalah peserta program Kuliah Kerja Nyata – Program Pengabdian Masyarakat UGM 2018 yang ditempatkan di Kalimantan Barat, tepatnya Kecamatan Samalantan di Kabupaten Bengkayang. Di sini, aku bersama 28 anak lainnya dibagi ke dalam dua tim: satu tim berjumlah 15 anak ditempatkan di Desa Bukit Serayan, dan 14 sisanya di Desa Tumiang.
Di dalam blog ini, aku akan mengeposkan beberapa tulisan pengalaman dari perspektif pribadiku mengenai program ini, bagaimana saya mengabdi, hingga pandangan saya mengenai kehidupan masyarakat di tempat saya mengabdi. Akan ada beberapa teman tim saya yang ikut menyumbang cerita mereka di blog ini. Jadi ... selamat menikmati.
‘Kepada para penumpang maskapai NAM Air tujuan Pontianak dengan kode penerbangan IN239 ...’
Kami sudah dipanggil.
Waktunya berangkat.
Posting Komentar