Ponsel bergetar. Panggilan masuk. “Dari siapa Wi?” Lora jawabnya. “Masih di kantor BPS, bentar lagi ya,” rupanya mobil dinas yang dipinjamkan pada kami mogok tak jauh dari tempat kami sekarang. Bergegas saya menuju lokasi mobil itu.
Jalan Trans Rangkang yang notabene jalan nasional benar-benar sangat mulus. Ia melewati perkuburan Tionghoa Bengkayang, kawasan pemerintahan, Polres, hingga RSUD Bengkayang. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk tiba di lokasi mobil mogok, Panther biru berpelat merah itu tampak menepi di atas rerumputan. “Gimana Yog?”
Deta mengomeli Yogi karena tidak mengisi bahan bakar sesuai dengan jenis kendaraannya. Mobil Panther menggunakan mesin diesel yang seharusnya diisi solar, tapi justru diisi bensin (premium) biasa olehnya. “Untung cuma diisi empat liter doang. Coba kalo (isi) banyak, rusak mesin, tekor kita.” Tanpa perlu basa-basi, Yogi meminta Dwi untuk memberi aba-aba pada pengendara karena mobil mogok di tikungan menanjak, sedang saya dimintanya untuk mencari penjual BBM jenis solar.
Sepanjang jalan saya dan Yogi banyak menemukan pengecer BBM. Mudah saja, cukup lihat ke kiri dan kanan apakah ada etalase dengan satu atau dua rak kayu, dan jerigen berisi cairan BBM di atasnya. Empat pengecer yang kami temui rupanya tidak menjual solar. Sulit memang menemukan BBM jenis solar di kawasan perbatasan karena Pertamina terkendala jaringan distribusi yang belum merata. Di pengecer kelima yang notabene adalah bengkel motor, kami temukan solar. “Mau beli berapa Yog? Terus ngisinya gimana?”
![]() |
Salah satu tanjakan di Jalan Trans Rangkang, jalan nasional |
“Ooo, tidak bisa. Cara kayak gitu bakal merusak mesin mobil nantinya la,” sanggah Kokoh yang sedang mereparasi mesin motor tua itu. Hmm ...
“Berarti mau tidak mau mobil harus diangkut ke bengkel dulu? Gimana kalo kita minta bantuan mobil derek di Polres?” Yogi pun setuju.
Kami bergegas balik arah menuju Polres. Sebenarnya rada riskan juga sih karena Yogi tidak pakai helm. Tapi namanya juga darurat, terabas saja.
Tiba di Polres, kami mendatangi pos jaga, tapi Yogi yang bicara. Usai mennjelaskan persoalan kami, pihak polisi tidak bersedia membantu dengan alasan mobil derek sedang dipakai dinas. “Atau ditarik mobil lainnya yang terparkir di garasi?” Polisi tetap enggan membantu kami. Oh oke, abdi masyarakat katanya.
“Hmm, setauku kalau ada kendala di jalanan gini, supir truk punya solidaritas tinggi buat bantu orang sih Yog,” saya menawarkan untuk mencari supir truk yang sedang tidak sibuk untuk dimintai bantuan. Ya, setahu saya supir truk sering menolong pengendara yang mengalami kesusahan di jalan, bahkan di luar komunitas mereka. Para supir truk punya alat-alat mulai dari dongkrak sampai tali yang biasa disimpan di bawah bak, menggantung dalam ember. Mereka mau membantu siapa saja meskipun logistik telat sampai jadi risikonya.
Setahu saya supir truk sering menolong pengendara yang mengalami kesusahan di jalan, bahkan di luar komunitas mereka.
Yogi setuju, kami meluncur mencari siapa saja supir truk yang terlihat. Kami menemukannya! Sebuah truk terparkir sedikit tersembunyi di balik pepohonan sawit, menyembul, tampaknya mereka sedang bergegas pergi. Kami sambangi, Yogi kembali bicara. ‘Semoga mereka mau bantu kami.’
Mereka berkenan. “Dimana dek?”
Yogi kembali, kami bergegas menuju tanjakan tadi. Lantas kami berbagi tugas: Lora memberi aba-aba untuk berhenti bagi pengendara yang akan menanjak, Angel sebaliknya. Saya dan Dwi membantu mobil ini untuk berputar arah, mendorong dari depan. Sedang supir truk bersiap untuk menarik mobil di bawah. Yogi melepas kunci, mobil tertarik ke belakang, Ia langsung membelokkan pantat mobil ke kiri. “Dorooong,” kami bertiga mendorong belakang mobil sedang Yogi berbelok ke kanan. Berhasil. Sekarang mobil ditarik truk ke bengkel.
“Nah, beres urusan.”
“Sebentar, ini bensin buat apa dong?”