Mitos-mitos dalam Masyarakat Tumiang

Awan mendung menghiasi langit sore ini, tapi dua puluhan anak-anak Tumiang masih bersemangat menggiring bola. Tidak peduli dengan kondisi rumput yang tinggi juga tanah yang sedikit selip karena basah, Maya, Vikka, Selma, dan Eka ikut meramaikan laga kecil sore itu. Dua gawang kayu dengan jaring yang rusak menjadi target sasaran tembakan. Anak-anak saling beradu kecepatan, berebut bola kulit yang sudah usang itu. Saya sendiri justru asyik berlarian kesana – kemari dan tertawa sembari melukis cahaya. Di setiap momen epik yang terlihat di layar, saya bergegas menekan tombol rana. Kamera nirlensa ini pun menangkap momen secara indah, terimakasih Yem.

Pertandingan masih berlangsung, namun saya menepi karena capai juga mengikuti arah gerak bola. Saya cek kembali sinyal di ponsel, ada HSDPA+, cukup untuk melakukan transaksi jual-beli domain untuk keperluan program publikasi cerita #SapaSamalantan ini. ‘Dot ID atau dot kom ya? Lumayan ada promo nih pasca Lebaran,’ pikir saya.

Menggunakan baju merah disaat hujan berpetir adalah kesalahan
Awan gelap semakin mendominasi cakrawala. Bunyi guntur dari jarak yang lumayan jauh bergema diantara perbukitan, dan anak-anak desa ini sama sekali tidak gentar untuk tetap bermain bersama teman-teman saya. Sebentar, sepertinya saya melupakan salah satu aturan adat di daerah ini. ‘Wah, kaos gue merah padahal. Untung celana training (Adidas) abu-abu,’ suasana kantor desa yang ramai panitia Pilkada Serentak 2018 dan aparatur desa membuat saya urung untuk segera kembali mengganti baju.

*** 

Jauh sebelum KKN berlangsung, Fabian pernah memperingatkan kami untuk menghormati mitos dan aturan adat yang berlaku di sini. Salah satu aturan itu diantaranya peringatan untuk tidak menggunakan baju merah ketika hujan petir di luar ruangan. Apabila aturan ini tidak ditaati, maka orang yang memakai baju merah bisa tewas tersambar petir sekalipun ada di beranda rumah. Tetapi ada 4 anak di depan saya yang santai saja mengenakan baju berwarna sama.

Selain soal baju merah, Rivy ikut menambahkan mitos yang ia dapatkan dari mulut ke mulut. “Biasanya kalau ada hujan tapi panas dan lihat pelangi datar yang asalnya dari lubang, masyarakat diminta nyalain api. Terserah mau api dari kompor, korek, atau obor, yang penting nyalain api,” terang Rivy membuat saya sedikit bergidik. “Kalau enggak dan nabrak pelangi datar itu, sekujur tubuh bisa lebam biru-biru,” tambahnya. Apalagi Ia dapat informasi soal fenomena mistis ini dari tetangga kami: ibunya Yayuk yang melihat langsung pelangi datar dari belakang kantor desa, tempat pondokan kami berada.

Sebelum saya berangkat, saudara saya pernah berpesan untuk membalikkan celana dalam saya. “Ati-ati lho. Kalau udah di Kalimantan mending kamu balikin sempak kamu. Soalnya kalau warga adat sudah jatuh hati dan memelet kamu, nanti kamu enggak bisa balik,” ujarnya. Terlepas dari percaya atau tidak, saya tidak cukup memikirkan mitos yang satu ini. Lhaiya, badan lemesan dan wajah tak rupawan membuat saya yakin tidak disukai warga setempat, apalagi sampai dipelet.

Terakhir, ‘Tumiang berdarah’ yang saya dengar dari Angga—dari warga setempat juga. Setiap orang yang mendengar istilah ini tentu akan berpikir kalau di desa kecil ini ada tragedi kemanusiaan yang menimbulkan banyak korban. Bukan, bukan demikian. Berdasarkan asal-usulnya, nama Tumiang diambil dari salah satu jenis bambu yang tumbuh banyak di sini. Dan apabila tanaman bambu ini ditebang, maka akan mengeluarkan cairan merah seperti darah dan rubuh ke arah timur.

Begitulah mitos-mitos yang ada dan berkembang diantara masyarakat Samalantan sini. Soal percaya atau tidaknya, kembali pada pemikiran masing-masing. Saya sendiri hanya akan menghormati mitos yang berkembang tersebut sebagai kekayaan budaya masyarakat, terkhusus Kalimantan Barat.