JOG - PNK
Meski pengalaman naik pesawat sudah saya dapatkan lebih dari sekali, pengalaman sewaktu take-off, landing, dan turbulensi masih tetap membuat saya tidak nyaman. Cuaca mendung di Jogja pagi ini, ditambah Merapi yang dikabarkan sedang meningkat aktivitasnya membuat saya sedikit was-was. Selalu. Begini. Andaikata ada transportasi alternatif selain pesawat yang bergerak di darat dan bisa menghantarkan saya dengan cepat menuju Bengkayang, tentu akan saya pilih. Kereta misalnya. Tapi tidak mungkin.
Pesawat NAM Air ini telah lepas landas. Kurang lebih ada 120 penumpang pada penerbangan seharga 1,4 juta rupiah kali ini. Atas saran Pak Hari—selaku dosen pembimbing lapangan (DPL) yang juga dosen departemen Manajemen Kebijakan Publik UGM, lebih baik berangkat lebih dulu, “Tidak usah ikut upacara penerjunan di tanggal 23. Cari penerbangan di hari Selasa atau Rabu atau Kamis. Biasanya murah.” Tiket yang kami dapat sebulan sebelum keberangkatan relatif murah memang daripada hari-hari lainnya, tapi tetap saja mahal karena berbarengan dengan libur lebaran.
Di udara, pemandangan Jogja dan Merapi terlihat adem. Bagai filter C7 dalam aplikasi VSCO dengan pengaturan HSL, warna-warna hijau sawah dan pepohonan memiliki intonasi gelap dingin. Puncak Merapi tetap berasap seperti biasanya. Dari atas sini, kembali saya sadari kalau manusia itu renik.
Tiga puluh menit, sepertinya kami sudah berada di tropopause. Di bawah kami, gumpalan awan bergerak bagai domba yang berlarian. Sedang di atas, gradasi biru menuju gelap memperjelas bahwa birunya langit hanyalah pembiasan warna laut, dan angkasa itu gelap. Selama terbang, saya terpaksa menahan pipis karena takut pesawat berbelok atau mengalami turbulensi sewaktu ke kamar kecil. Usaha menutup jendela pesawat tidak jua membuat saya tertidur. Bisingnya mesin terdengar jelas dari kursi 19A.
Satu jam penerbangan kemudian, kami tiba di langit Kalimantan. Di bawah, lanskap daratan didominasi hijau terbelah oleh sungai-sungai lumpur besar dengan kapal tongkang yang bersandar di setiap sisinya. Hutan tropis memang tampak lebat, sayangnya petak-petak perkebunan sawit mulai merambah ke pedalaman. Pola permukiman masyarakat linier mengikuti garis jalan. Delta-delta raksasa terlihat tidak bercanda: butuh waktu berpuluh-puluh tahun hingga tumbuh hutan lebat di atasnya. Ketapang – Kubu Raya. Keduanya memang bersebelahan, tetapi ukurannya terlampau luas untuk daerah administratif tingkat dua.
Pesawat mendarat dengan selamat di Supadio (PNK). Pukul 07.43. Bandara Internasional Supadio (PNK) sangat jauh berbeda dengan Internasional Adi Sucipto (JOG). Sama-sama bandara militer, Supadio kini tengah berbenah sebagai gerbang masuk utama menuju Kalimantan Barat. Terminal baru pun sedang akan digarap, di samping hanggar dan terminal utama saat ini.
Klaim bagasi beres. Sekarang apa? “Kita nunggu jemputan bus dari Pemda Bengkayang. Katanya masih di perjalanan. Macet,” jelas Fabian. Teman-teman kami sebagian sudah ada di Pontianak, ya mereka memang orang sini. “Sarapan pagi ini pakai nasi kuning yang dibawa Tanry ya gengs.”
Posting Komentar