Hukum Adat Pernikahan Dayak

Bukan, bukan judul film.

Tepat tanggal 27 Juni, sebagian besar masyarakat Indonesia merayakan pesta demokrasi dengan memilih calon kepala daerah mereka, termasuk Kalimantan Barat. Meski kami tidak bersinggungan sama sekali dengan agenda politik tersebut, implikasinya kami diminta untuk tetap profesional dengan tidak memihak pihak mana pun dalam kontestasi 5 tahunan ini.

Okelah, kami menyepi dengan tidak pergi kemana-mana hari ini.

Babi milik salah satu keluarga pasangan yang siap disembelih

Cuaca cerah. Sangat cerah. Sialnya ponsel saya masih bermasalah karena kemasukan air sewaktu kembali dari Bukit Serayan. Masalahnya ada di tidak berfungsinya—atau justru terus berfungsi, tombol volume bawah kapasitif yang membuat ponsel saya memasuki mode Fastboot acapkali dinyalakan. Repotnya saya harus menekan kombinasi tombol antara volume atas/bawah dengan power supaya bisa masuk ke sistem. Tadinya saya berencana untuk membongkar ponsel yang sudah berumur 3 tahun ini, “Kira-kira pakai apa ya Ngga buat membuka case ini. Rapet banget memang.” Syarat untuk bisa membuka cangkang ponsel ini adalah saya membutuhkan pelat logam tipis: lebih tipis dari pisau, untuk membukanya. Risikonya jelas, bodi ponsel akan tergores/lecet.

Beruntung, usai kesal dengan proses boot berulang kali, ponsel bisa masuk ke sistem. Langsung saya googling cara menonaktifkan tombol fisik volume supaya bisa reboot dengan lancar.

Kalau ditanya kenapa tidak servis saja ponselnya, jawabannya bisa saja. Tetapi sejauh eksplorasi saya antara Samalantan hingga Tumiang, sama sekali tidak ada konter ponsel yang membuka jasa reparasi. Belum lagi di sini saya membawa dana terbatas, “Nanti aja pas udah di Jawa servisnya. Sekarang matiin aja dulu tombol volumenya.”

Sudah berulang kali saya wira-wiri mencari sinyal. Di desa Tumiang, hanya XL dan Telkomsel yang mampu menembus lebatnya hutan tropis dan perbukitan. Selama KKN, saya menggunakan dua nomor, Telkomsel dan XL. Awalnya saya berencana memakai Telkomsel saja karena informasi yang diberikan tim survei, “Di sana cuma ada Telkomsel. Itu pun H+.” Boro-boro HSDPA+, dapat Edge dengan konektivitas lancar saja sudah beruntung. Begitu tiba di Tumiang, rekan saya yang menggunakan XL bilang kalau operator yang satu ini bisa menangkap sinyal 3G. Setelah dicoba, memang benar. Tapi sering putus kalau ada gangguan cuaca seperti hujan. Apesnya nomor Telkomsel sudah punya paket, dan diisi pulsa 100 ribu. Sekarang XL saya isi pulsa juga. :(

Kendi di belakang SMPN 5 Samalantan

“Kalau mau cepet Jun, ke bawah pohon jengkol sono noh,” suruh Angga. Dari kemarin pohon jengkol memang jadi spot primadona anak-anak dan warga setempat yang memakai XL. Katanya sih cepet.

Saya bergegas menuju bawah pohon jengkol yang dimaksud. Letaknya tepat di pinggir Jln. Tumiang dengan pepohonan yang sedikit rimbun. Cek sinyal, masih Edge (E) 😢

Okelah, mungkin butuh waktu sebentar bagi ponsel jadul ini untuk beralih jaringan. Saya mengitari pagar dan memasuki pelataran sekolah SMPN 5 Samalantan. Sekolah ini memang berpagar, tetapi sebatas dekorasi di gerbangnya. Siapa saja bisa masuk lewat samping, bahkan anak-anak setempat sering bermain bola di lapangannya.

Sinyal masih belum beranjak. Sesekali layanan GPRS terputus, atau jaringan seluler nihil. Maklum, di desa Tumiang sama sekali saya tidak melihat adanya tower BTS (operator). BTS terdekat justru ada di ibukota kecamatan. Hufft ...

Saya menebarkan pandangan, menerka spot terbaik yang mungkin akan dapat sinyal 3G. Tiba-tiba saya menemukan sebuah kendi dari tanah liat dengan piring di atasnya. Kendi ini sudah berlubang di sampingnya. Aneh, siapa yang meletakkan kendi ini di sini? Dilihat dari kondisinya yang belum terlalu berlumut, sepertinya kendi ini masih baru.

Oh iya, saya ingat. Tadi malam sewaktu mengembalikan mesin pemangkas rumput, saya dan Angga menemukan kendi serupa di dalam kantor desa. Bedanya, kendi ini masih mulus dan piring di atasnya berisi beras. 

Kendi di sudut ruangan kantor desa

“Kalo kata ibunya Yayuk, kendi itu hukum adat buat memutus hubungan keluarga,” jelas Angga menjelaskan kearifan lokal dalam sebuah kendi. Jadi, misalnya dalam satu ikatan keluarga (satu kakek) ada pasangan yang ingin memadu kasih tapi dari keluarga berbeda (persepupuan), maka tradisi ini harus dijalankan guna memutus hubungan kekerabatan diantara keduanya.

“Jadi, misalnya dalam satu keluarga besar ada Canting - Rivy (kakek-nenek) yang melahirkan Angga dan Ifan. Lalu Angga menikah dengan Halimah dan Ifan menikahi Hasniah. Terus aku dan Andre punya anak ...” seketika forum kecil petang itu tertawa. Saya tidak sadar menyebut nama dan menunjuk ke arah Andre yang juga laki-laki sebagai perumpamaan aturan adat, punya anak lagi. 😂

“Ralat. Terus aku dan Selma nikah,” saya menunjuk ke arah Selma yang baru saja duduk dengan segelas cokelat di depannya, “Jadinya gimana?”

Menurut hukum adat Dayak, berarti pada saat pesta pernikahan dan ada sajian babi, maka babi yang saya masak disajikan hanya untuk keluarga saya saja, begitu pula sebaliknya. Lalu untuk membayar hukum adat, masing-masing dari kami harus membeli gerabah dan meletakkannya di rumah untuk menggantikan keluarga yang hilang. Berarti misalnya saya menikahi Selma, saya harus membelikan/membuatkan gerabah untuk menggantikan Selma dalam silsilah keluarga besar Canting – Rivy dan menjadikannya bukan bagian dari keluarga ini (syarat sah dalam pernikahan berasal dari darah kakek-nenek berbeda). Wah, unik juga ya aturan ini.