Enam Puluh Detik

Lanskap Desa Tumiang, dilihat dari kantor desa ke arah RT 5


Pada suatu hari yang sederhana, saya tidak memiliki kegiatan yang begitu berkesan. Rapat, merancang program, menyusun laporan adalah tiga dari rutinitas harianku. Kewajiban pribadi, dari mandi hingga nonton tayangan televisi, juga memasak untuk pondokan adalah kegiatan harian lainnya. Hingga pada suatu saat air galon yang biasa kami jadikan sumber minum habis.

Oke, inilah saatnya dua dari lima belas awak yang berpondok di Kantor Desa Tumiang merelakan waktu untuk mengisi ulang galon.

"Eh, ini aku sama siapa nih ngisi galonnya?" rupanya ada satu bocah yang merelakan diri untuk mengisi ulang galon. Namanya Ifan. Saya belum begitu mengenal dan akrab dengannya. Dia kembali menanyakan pertanyaan yang sama, tapi tidak ada yang menggubris. Karena kasihan, aku menawarkan diri untuk menemaninya mengisi galon, "Yaudah Fan sini tak temenin."

Berangkatlah kami untuk mencari tempat refill galon. Ya, kami adalah pengawal. Belum genap dua puluh empat jam kami berada di sini, sehingga harus pintar-pintar mencari tahu dimana saja tempat yang bisa memenuhi kebutuhan dasar kami.

Sepuluh menit berkendara, kami berdua sama-sama belum menemukan di mana tempat refill galon. Ifan sudah mulai bingung karena merasa jalan yang kami susuri tidak berujung, hanya melintasi hutan dan semak belukar. Tempat bercirikan pengisian galon tidak kunjung kami temukan walau banyak warung kecil penjual jajanan yang kami temukan. Beberapa warga yang kami tanyai pun tidak ada yang mengetahui jasa pengisian galon.

"Can, nek kita nggak nemu tempatnya setelah 60 detik, kita puter balik aja yha," ajak Ifan melongos. Tak kusangka dia bakal se-ilmiah itu dalam kebingungannya: kuturuti saja permintaannya. Aku menghitung berurutan dari satu, sembari dia menyetir dalam frustasi. Ifan menoleh kanan-kiri, dan terus mencari. Masa sih satu desa ini sama sekali tidak ada jasa pengisian galon? Apakah warga bergantung sepenuhnya pada air keran? Padahal air keran di sini walau jernih tapi mengandung beberapa kotoran—fenomena harian yang kami lihat di kamar mandi pondokan

Satu, dua, yang terlihat hanya rumah-rumah tua dan gereja. Sebelas, dua belas, ladang jagung dan persawahan kami lintasi. Tertawa sembari mengendara, tampaknya Ifan ingin segera menyudahi bilangan ke-60. Ya, ia tampak putus asa. Beruntung, di hitungan ke-52, kami menemukan tempat pengisian galon. Rumah bertegel biru itu menyelamatkan kami dari hitungan ke-60. Akhirnya kami kembali dengan galon yang sudah terisi air minum di tangan.

Hal yang menggelitik rupanya bisa mengakrabkan kami, walau hanya menghitung satu sampai enam puluh.