Nuansa Tambang Tembalang

Baru kali ini saya tahu di Kota Semarang ada pertambangan. Maklum, kota ini begitu besar untuk dapat dijelajahi semuanya dalam sehari.
Saya tidak tahu sudah seberapa tinggi sorot mentari menyinari Semarang pagi ini. Kamar pesanan saya melalui aplikasi Airy demi menggunakan voucher pemberian Google Local Guides menempatkan saya pada sebuah kamar berukuran empat kali empat tanpa jendela: terletak di basement. Memang saya sengaja mencari hotel bujet yang ter-cover voucher saya. Sebagai Local Guides level enam, saya mendapat voucher 150.000 IDR. Lumayan, meski pas-pasan.

Tit.

Dering ponsel di atas meja jati itu membangunkan saya. AC saya matikan. Rasanya beruntung dapat kamar ber-AC di kota Semarang yang notabene bermatahari tiga ini. Saya sama sekali tidak gerah, setidaknya sebelum beranjak keluar.

“Fi, bangun. Udah shubuh nih. Gue udah sholat, giliran elu.” Bocah yang bahkan belum berkepala dua ini masih menggeliat di balik selimut. Empuknya kasur memang memanjakan, tetapi saya tetap akan memberi hotel ini tiga bintang pada ulasan saya.

Beranjak keluar, Minggu pagi rupanya kebisingan lalu lintas sudah menggema. Segera saya nyalakan motor. “Kita mau sarapan dimana? McD atau KFC?” tanya saya ke Rofi. Sebagai anak asrama yang jarang punya kesempatan untuk makan-makan di restoran, saya menyerahkan keputusan pada Rofi. “Kalo gue sih belum laper. Gimana kalo kita muter-muter dulu, ke Brown Canyon, terus baru makan,” Rofi menyanggupi, saya menuruti.

Motor matik saya berhasil menjelajahi penjuru Kota Semarang


Selaiknya kota-kota besar pada umumnya, Semarang juga menerapkan hari bebas kendaraan. Setidaknya beberapa ruas jalan ditutup di area perkotaan dari Tugu Muda hingga Simpang Lima. Terpaksa saya mengitari jalan-jalan baru yang belum saya kenal. Orang-orang tua mulai membuka lapak di beranda Kampung Pelangi Kalisari. Saya sendiri belum pernah mengunjungi permukiman itu — dan sama sekali tidak berminat. Berlanjut ke Simpang Lima, beberapa muda-mudi berpasangan, mengikat tali sepatu mereka sebelum kembali berjogging ria. Para polwan berpatroli menggunakan sepeda dinas mereka, pedagang penjaja makan setia berjaga di tenda-tenda mereka sembari sesekali menawarkan dagangan pada pengunjung. Sebenarnya saya ingin langsung ke Jatingaleh. Pengalihan arus lalu lintas meski sepi tetap saja merepotkan.

'Nanti jam 11-an kita ketemuan, makan bareng.'

Sebuah pesan masuk, notifikasi menyembul dari atas ponsel. “Sekarang kita ke Brown Canyon dulu. Nanti kalo udah deket-deket jam 10an kita balik lagi ke kota,” ujar saya ke Rofi sembari mengusap layar. Meski sebenarnya tidak jauh dari peradaban, lanskap perbukitan Semarang membuat saya buta arah. Beruntung peta pada aplikasi Google Maps sudah saya buat luring, jadi tetap bisa bernavigasi meski tanpa koneksi.

Sisa tebing yang terkikis akibat ditambang


Selama perjalanan, kami sempatkan berhenti di beberapa titik. Di kemiringan Bukit Gombel, saya menunjuk ke arah beberapa landmark Semarang, “Itu pelabuhan tempat tadi malam kita nungguin kereta lewat. Terus itu menara Masjid Agung yang dulu kita datengin.” Meski bertitel kota besar, rupanya lanskap pergedungan Semarang masih jarang, bisa dihitung, dan tersebar. Well, Semarang bukan Surabaya yang benar-benar metropolis, apalagi Jakarta.

Untuk mencapai Brown Canyon di Tembalang, rupanya kami harus memasuki kawasan kampus Universitas Diponegoro. Berhubung belum pernah eksplorasi kampus ini, “Sekalian keliling dulu yuk! Pengen tahu seberapa edukopolis UNDIP dibanding UGM( — kampus saya).”

Saya berpose di depan telaga yang terbentuk dari kubangan bekas tambang


Kawasan kampus UNDIP rupanya luas juga, setidaknya selama penjelajahan singkat saya kali ini. Letaknya di perbukitan membuat saya yakin kalau berjalan kaki keliling UNDIP bikin kaki gempor.

Berulang kali saya memundurkan posisi duduk di jok karena jalan begitu menukik. Dari kejauhan, potongan tebing sisa penambangan sudah terlihat jelas, keren! Saya sudah berekspektasi macam-macam, padahal baru lihat sekilas, “Entar kayak Grand Canyon di Nevada nggak yah?” Sesekali saya tersasar. Maklum, sama sekali tidak ada papan petunjuk arah untuk menuju lokasi ini. Saya semakin yakin ada di jalan yang benar begitu aspal berganti beton tebal. Jalan perkampungan dengan kubangan besar di dekat area pertambangan adalah petunjuk. “Fi, kita sampai!”

Kesan pertama: berdebu. Wajar saja, musim kemarau dengan matahari yang begitu terik otomatis membuat tanah mengering. Angin kencang dari arah utara ke perbukitan membuat kami enggan melepas buff yang baru dibeli kemarin. “Polusi industri plus kendaraan, dan sekarang debu? Lengkap sudah.”

Dalam medan seperti apapun, saya dan rekan selalu menggunakan masker atau buff untuk menghindari masuknya partikel debu


Jalanan bergelombang menyambut kami. Debu-debu berdeburan. Sebuah danau cokelat keruh menyambut kami, ada beberapa pemancing di sana. Truk-truk kecil hilir mudik dan mengantre untuk memuat hasil tambang. Para pekerja nongkrong di warung tenda kecil pinggir pertambangan sembari menyesap kopi instan mereka. Sepertinya baru kami wisatawan yang berkunjung hari ini, atau justru satu-satunya wisatawan.

Dari kejauhan, suara bising menggema. Rupanya ada satu lubang raksasa dengan tiga-empat bekhoe dan ekskavator yang sibuk menggali lubang baru. Dari bibir jurang, saya merasa ngeri bila suatu saat terjadi longsor di sini. “Kita mundur aja deh. Ke atas sana aja yuk,” ajak saya untuk naik ke atas. Terlihat beberapa bekhoe di sana. Dengan lubang sekecil ini saja saya sudah merasa ngeri, apalagi dengan Freeport di Papua atau tambang raksasa Siberia.Naik ke atas bukit (yang sudah terpotong ini) bukan upaya yang mudah. Ban depan motor yang gundul membuat saya khawatir ketika melewati bebatuan cadas. Bisa repot kalau ban bocor di sini, mana bengkel jauh pula. Tak hanya bebatuan, jalan yang dibuat untuk menuju puncak bukit curamnya luar biasa. Di sebelah kanan, tebing dengan tumpukan kerikil menggunung bisa saja runtuh mengubur kami bilamana gempa terjadi.

Tiba di puncak, lanskap perkotaan Semarang terlihat jelas. Di titik ini, banyak bekhoe menganggur ditinggal begitu saja. Namanya juga hari Minggu, siapa juga yang mau sibuk kerja di akhir pekan kalau bukan karena shift. “Buruan foto-foto di sini, sebelum ada orang yang lihat.” Kami segera mengambil pose yang bagus untuk difoto sebelum ada pekerja ke sini, takut kena omel. Dan benar, tak lama kemudian ada truk yang berpapasan dengan kami sewaktu menuruni bukit.

Pose di atas backhoe


Semakin tinggi matahari bersinar, satu per satu wisatawan berdatangan. Saya yang sedari tadi tidak mengenakan jaket mulai tidak betah karena sengatan matahari. Waktu memang baru menunjuk pukul setengah sepuluh pagi, “Waktunya beralih dari sini.”

Melihat popularitas Brown Canyon sebagai tambang aktif yang turut menarik para wisatawan, ada bagusnya bila kawasan tambang ini disulap menjadi tempat wisata laiknya Tebing Breksi di Sleman. Wisata tematik seperti edukasi pertambangan bisa saja diterapkan di sini, atau sekadar menjadikannya tempat ekshibisi untuk even-even seni-kebudayaan.