Kedigdayaan Sang Kapten (bagian 2)

Menembus Badai Karimun Jawa

Sudah satu jam lebih kami terdampar di pulau antah berantah ini. Mengeluh? Ingin. Bukan karena seharusnya kami melepas jangkar di pulau penyu. Bukan. Masalahnya saya tidak tahan angin. Bulir-bulir rintik hujan menghujam wajah. Baju celana sama-sama basah. Mau masuk ke kapal, sumpek. Santai-santai di luar, angin kencang membuat saya bergidik kedinginan. Heran saya dengan turis-turis mancanegara ini, “Nggak kedinginan apa ya bikinian doang.”

Dua orang bule mencoba menikmati pantai di tengah badai

***

“Jangan ke daerah situ. Banyak bulu babinya,” peringat Kapten Arif seraya menunjuk ke arah pasir landai dengan rimba bakau di belakangnya. Ia dan kru kapal lainnya membantu memapah ibu-ibu itu. Sebuah tangga sudah tersedia di bingkai kanan perahu. Bagi saya, cukup lompat aja ke air, toh sudah terlanjur basah.

Angin berhembus kencang di Pulau Geleyang ini. Meski begitu, beberapa nelayan masih nekat memancing ikan jauh di sana. Pukat? Entah alat pancing jenis apa yang mereka gunakan. Rupanya kapal kami adalah yang pertama singgah di pulau ini, setidaknya untuk rentang jam 11–12. Dari arah pukul delapan terlihat beberapa perahu yang mencoba mencapai pulau ini. Untuk mencapai pulau tak berpenghuni ini, perahu diharuskan memutari beranda pulau melewati bendera-bendera supaya lambung kapal tidak pecah menabrak bebatuan karang di bawah sana.

Kembali ke perahu yang berlabuh

Kapten Arif membawa kotak penyimpanan dari lambung kapal. Wakil kapten menyediakan perapian sedang nahkoda berusaha mencari dedaunan kering di bawah gerimis kecil. Dibukanya penyimpanan yang biasa digunakan sebagai kotak es itu, rupanya sudah ada menu santap siang kami — peserta tur, dibawa dari Karimun. Well, berarti tinggal menunggu makan siang saja. Satu per satu perahu peserta tur yang lain tiba di pulau ini dengan selamat.

Pulau Geleyang hanya satu dari sekian gugus pulau tak berpenghuni yang ada di Karimun Jawa. Terletak di barat pulau Menjangan, seharusnya pulau ini terlihat sewaktu kemarin kami menyambangi Bukit Love. Pantainya berpasir putih, lebar, berpagar cemara alami. Hanya ada satu pondokan di sini, berfungsi sebagai warung. Eh, ada juga toilet tak jauh di belakangnya. Beberapa buaian dari jaring terikat kuat pada batang cemara — seorang bule Italia menidurinya.

Entah bagaimana menggambarkannya, pokoknya enak banget

Bule Italia itu tampak tak asing: berambut warna pirang keriting dengan kaos merah muda dan celana pendek tropis. Ia bersama dengan kami pada saat menyeberang ke Karimun Jawa kemarin, begitu pula dengan pejalan yang ada di sini. Satu hal yang membuat saya mengingatnya adalah ia seorang solo traveler. Sendiri, dengan ransel kebanggaan dari goni berlabel Italia.

Dikeluarkannya alat musik dari saku celana. Jari-jemarinya menggenggam alat itu dengan kuat, sedikit melentur. Ditiupnya harmonika perak itu … Cara yang cerdas untuk membunuh waktu bagi pejalan introvert yang menghindar untuk membaur karena kendala bahasa.

Bule-bule lain yang baru tiba berkumpul di dekat pondokan, atau sebut saja warung. Beberapa ada yang membeli makan di sana karena mungkin tidak tahu kalau tur yang mereka ikuti sudah termasuk makan siang.

***

Hilda berpose melempar muka dengan duduk penuh kengerian di haluan perahu

“Makanan siap!” seru Kapten Arif memanggil peserta turnya. Ia menggelar alas, menata piring-piring dan lauk di atasnya. Para peserta dari tiga faksi berkumpul, duduk bersama. Usai menata lauk, sang kapten berlalu. Ia lebih memilih makan bersama krunya.

Untuk tur island hopping seharga 150.000 IDR ini memang sudah termasuk makan siang. Biasanya menu makan siang ya tidak jauh-jauh dari seafood. Kali ini dihidangkan ikan bakar — yang entah saya tidak tahu apa namanya, yang tersaji hangat dengan tiga jenis sambal: sambal bawang, sambal kecap, dan sambal terasi. Selain itu ada juga tahu tempe sebagai pelengkap dan menu penutup yakni semangka kuning dan melon. Minumnya sih air putih saja, tapi sehat.

Masakan kapten. Hmm. Cowok. Hmm. Ikan. Bukan perpaduan yang cocok sih untuk urusan dapur dan sumur. Biasanya cuma cocok di kasur.

Wildan dan Lintang, mereka semangat sekali. Duo sejoli ini nampaknya punya banyak kesamaan dan selalu mengisi. Bowo walaupun diledek sebagai herbivora pemakan rumput, ia menikmati kudapan siang dengan lahap. Hilda pun demikian. Sebenarnya saya kurang suka ikan karena durinya. Iya, banyak. Ribet. Khawatir bernasib seperti steples yang pernah tertelan.

Saya pun mengambil satu ikan, ditumpuk di atas nasi putih hangat. Di atasnya saya lumuri dengan sambal. Cuilan pertama, daging ikan benar-benar empuk dan hangat. Seperempat kepal nasi saya lahap, “Enak banget!” Daging ikan benar-benar matang sempurna. Entah apa rempah lumurannya sebelum dibakar, nikmatnya luar biasa. Meski hanya bebakaran ala kapten, ikan yang tersaji lebih dari buatan rumah makan ternama di Jogja itu. Ikan yang dihidangkan pun bukan yang banyak durinya. Wah, baru kali ini saya benar-benar menikmati ikan bakar.

***

Tidak banyak yang kami lakukan di sini. Kapten melarang kami menyusuri pesisir barat yang ditengarai banyak bulu babi — meskipun Hilda dan Bowo sudah kesana dan tidak ada apapun kecuali bakau. Saya mengeksplorasi pantai ini dan sedikit kecewa dengan tumpukan kecil sampah yang dibakar. Di beberapa titik pesisir, saya menemukan sampah-sampah plastik yang entah dari mana rimbanya berasal. Pungut, kumpulkan jadi satu dengan bebakaran sampah.

Waktu berlalu, tapi badai masih saja mengganggu. “Kita berangkat sekarang!” ujar kapten pada seluruh peserta tur. Memang kami tidak bisa terus menunggu di pulau ini. Selain harus bergantian, menanti badai yang tak kunjung reda merugikan rupiah demi rupiah karena destinasi terhalang cuaca. “Yakin nih mau lanjut?”

Wakil kapten melepas ikatan perahu dan kami kembali berlayar. Kali ini saya duduk di depan, sisi kanan. Di tengah ada Hilda dan Hero di kiri. Lintang di belakang Hero dan Bowo di belakang saya. “Formasi mata panah bukan?”

Terombang-ambing sambil berpegang pada lambung perahu

Belum seratus meter rasanya menjauhi bibir pantai, perahu mulai digoyang ombak. Sang kapten keluar dari lambung dengan seragam Himpunan Pramuwisata Indonesia kebanggaannya. Di belakang wakil kapten siaga bersama nahkoda, mengendalikan motor supaya terus tegak lurus terhadap ombak.

Ombak pertama, perahu kecil ini sukses melampauinya. Ombak kedua rupanya sedikit mengguncang badan kapal, sang kapten tetap berdiri gagah di depan. Para penumpang diminta menjaga barang bawaan dan berpegangan pada pagar. Ombak ketiga, kapal berhasil dibuat miring dan berbelok ke arah jam 10. Wakil kapten dan nahkoda berjuang keras untuk membuatnya kembali tegak lurus. Ombak keempat — sebuah gelombang besar akumulasi dari gelombang ritmik kecil, datang. Hilda yang tepat di tengah merapal doa. Mungkin bagaikan bermain realitas virtual (VR), Hilda menyaksikan adegan tiga dimensi langsung di depan matanya. Pecahan gelombang dari sisi kiri-kanan perahu menghujam wajahnya. Basah.

Ombak keempat datang.

Kini saya tahu bagaimana rasanya jadi Katsushika Hokusai saat menggambarkan tsunami pada abad 19.

Lukisan Great Wave di British Museum (1937,0710,0.147) oleh Katsushika Hokusai

Brasssssssssh

Sang kapten kali ini memegang tali jangkar, dan tetap dengan gagahnya berdiri meski haluan kapal melayang tinggi. Ombak ini menerbangkan perahu kami.

Jrassssssssssh

Bagai naik rollercoaster, haluan kapal menjulang ke angkasa lalu membelah laut: menciptakan gelombang ke arah samping. Perahu oleh ke kiri dan kanan, wakil kapten dan nahkoda berjuang keras menyeimbangkan posisi. Tidak sedikit air masuk ke lambung perahu, juga yang menyiram wajah kami di dek atas. Sang kapten tetap memandu arah laju kapal menuju destinasi berikutnya, “Alon-alon wae!”

Khawatir karam, kecepatan motor diturunkan. Gelombang ganas kembali datang setiap tiga puluh detik berlalu. “Siap-siap berpegangan!” gelombang terbesar datang.

Kali ini saya benar-benar berdebar, gigi gemeretak, lelah, dan kedinginan. Angin dan hujan menambah adrenalin di lautan. Rasanya ingin segera mengakhiri tur kali ini dan langsung bersandar di dermaga Karimun Jawa. Semoga tidak hipotermia.

Bruuuuuuuuush, ombak menggulung.

“Ia tak mampu mengubah arah mata angin. Tapi ia mampu mengatur layar untuk mencapai tujuannya.”

***

Setelah satu jam terombang-ambing, perahu menurunkan jangka. Kali ini kami bersnorkeling di dekat Menjangan Besar. “Ada banyak ikan nemo di sini. Silakan yang mau melihat anemon langsung dari tempatnya. Waktunya empat puluh lima menit sebelum ke destinasi terakhir, penangkaran hiu,” sambut kapten. Meski kedinginan, saya tetap bergegas untuk turun. Di dalam air rupanya lebih hangat daripada duduk-duduk manja di atas geladak. Saya tenggelamkan kepala, terlihat anemon laut dan terumbu karang yang masih asri. Puluhan ikan nemo berenang bebas dan bersembunyi di balik anemon.

Bowo, berpose di depan anemon laut

Ikan-ikan badut menyembul dan bersembunyi

Kondisi laut sedikit keruh karena faktor cuaca sehingga pemandangan bawah laut tidak begitu kentara

Di sela menikmati spot nemo, sayang sekali saya kembali melihat sampah mengambang di tengah lautan. Keparat. Butuh waktu berapa lama sih orang Indonesia berevolusi mental supaya tidak lagi membuang sampah sembarangan. Ya memang polusi laut di Karimun Jawa ini belum separah Bali. Akan tetapi apabila ‘budaya’ yang mengakar kuat ini terus dibiarkan, ditambah diikuti oleh arus laut yang terjadi secara alamiah, bisa jadi indahnya Karimun Jawa berakhir sebagai Bantar Gebang mengambang.

Saya (yang belum bisa berenang) hanya pasrah terapung bersama pelampung

Ikan-ikan berkerumun ketika kami memberi mereka potongan roti tawar

Sayang sekali diversifikasi produk minuman berkemasan menyebabkan masalah lain, yaitu sampah


***

Perahu tiba di spot terakhir: penangkaran hiu. Karena tidak minat dengan mamalia bertaring runcing ini, saya memilih leyeh-leyeh di kapal saja.

Lintang dan Hero sumringah dikelilingi hiu

“Kalo elu ke penangkaran hiu, kira-kira digigit nggak Hil karena lagi haid?” canda saya sembari menanti peserta tur lain kembali. Dari kami berlima, hanya Hero dan Lintang yang minat berfoto bersama satwa yang nyaris langka karena diburu siripnya ini. Untuk masuk ke area penangkaran hiu, setiap peserta dikenakan biaya 40.000 IDR — alasan kedua saya tidak ingin beranjak dari perahu ini.

***

Rangkaian tur berakhir begitu perahu kembali menarik jangkar menuju dermaga Karimun Jawa. Setelah dilihat dari peta wisata, tur yang berlangsung selama delapan jam ini baru mengeksplorasi sepertujuh destinasi wisata di gugus kepulauan Karimun Jawa. Well, sepertinya saya akan kembali lagi ke surga dunia ini, tentu dengan cara menjelajah yang berbeda.