![]() |
Mobil rental ini melaju bagai kereta rollercoaster di tengah-tengah jalan sempit Wonogiri. Medan yang curam, naik-turun dan berbelok membuat saya harus tetap siaga mengingat saya belum percaya dengan sang supir — Fanggi Mafaza, yang mengklaim dirinya sudah memiliki jam terbang tinggi. Jelas saya tidak bisa langsung percaya, meskipun ia memang sudah memiliki SIM A bahkan sebelum waktunya.
Lantunan musik-musik Indonesia menggema dengan riuh rendah, mengiringi tidur travelmates saya di kursi belakang. Tampaknya pun mereka tidak bisa tidur tenang, meskipun sabuk pengaman mengikat mereka di jok. Sembari terkantuk-kantuk, saya mencoba untuk tetap melek supaya supir punya teman ngobrol, atau setidaknya menjadi penunjuk arah sesuai dengan Maps yang sudah saya simpan secara luring.
Buruk memang. Sedari tadi meninggalkan Wonosari menuju Pracimantoro, sinyal XL saya sudah keburu hilang. Bahkan tidak ada satu bar pun terlihat di layar. Padahal jalan yang kami lewati adalah Jalan Nasional 3 yang berarti rute strategis. Supaya dapat memangkas waktu, kami berbelok ke Jln. Paranggupito yang sempit. Di sepanjang jalan, lampu jauh mobil menyorot bukit-bukit dengan telaga-telaga kecil di lembahnya.
Tak lama: 5 jam perjalanan dari Jogjakarta, kami tiba di tujuan pertama kami. Akyunia Labiba (Lala Stroberi) telah membuatkan itinerary, dan pantai inilah tujuan pertama kami. Pantai Klayar.
***
— Didi Kempot, Pantai Klayar
Karena masih dini hari, saya sama sekali tidak melihat wujud pantai ini seperti apa selain hanya mendengar deburan ombaknya saja. Meskipun masih gelap dan berangin, Pantai Klayar tidak begitu dingin. Yasudah, saya keluar dari mobil dan duduk-duduk di atas pasir pantai sahaja. Di bawah, sudah ada Sanela yang tengah bertapa di atas pasir.
Dini hari. Meskipun samudera tampak berawan, langit tepat di atas kepala saya sangat cerah. Gugusan bintang terlihat jelas. Minimnya polusi udara dan polusi cahaya sangat sempurna bagi para pencari foto lanskap. Mereka bisa dengan mudahnya memotret star trails disini.
Tugas saya memandu perjalanan ke Pantai Klayar berakhir sudah, saya terlelap.
Pantai Klayar terpaut ramai di pagi hari musim hujan |
***
Matahari belum benar-benar meninggi, akan tetapi sayup-sayup pengunjung terdengar dari atas saya. Sepertinya sudah mulai banyak pengunjung tiba di pantai ini. Sorot matahari menyerong mulai menerangkan cakrawala — meski awan mendung lebih dominan menggelayuti angkasa.
Selama tiduran di pasir pantai, rupanya saya tidak bisa benar-benar nyenyak. Sekujur kaki dan tangan terasa gatal-gatal. Saya terbangun, “Sial isinya sampah semua! Nel ...” Sanela rupanya sudah beranjak ke atas dari tadi.
Kawan-kawan saya sudah bangun rupanya. Saya beranjak dan memasuki mobil. “Jun, shubuh Jun udah pagi,” ketuk Sanela pada jendela mobil. “Ah, udah nggak sah. Udah terang,” ngeles saya sembari mencari posisi senyaman mungkin.
***
Pagi hari, rupanya Pantai Klayar yang terkenal melalui tembangnya Nella Kharisma ini sangat overcrowded, menurut saya. Jajaran mobil rental — dominan berpelat AB, mengisi ruang parkir. Para pengojek sudah berbaris dan siaga untuk mengantar pengunjung ke atas bukit Pantai Klayar sembari menggeber motor mereka. Ya, Pantai Klayar memang terletak di bawah kaki perbukitan sehingga untuk kembali ke kantong parkir atas atau penginapan, tersedia jasa ojek. Cuma Rp. 5.000 sekali jalan. Selain ojek, ada juga penyewaan ATV untuk menjelajahi pantai yang berharga tiket masuk Rp. 10.000 ini.
![]() |
Berlarian kesana kemari enggak jelas |
HOAAAAAM ~ Mentari meninggi namun saya enggan berdiri. Fantasi perjalanan semalam benar-benar membuat saya lelah. Pengen … tidur. “Eh Jun, udah jauh-jauh dari Jogja ke Pacitan masih dibelain tidur aja lu.” Kantuk berat, tapi sayang juga kalau di Pacitan saya cuma tidur-tiduran saja. Saya beranjak keluar menjelajahi garis pantai sepanjang dua kilometer ini.
Ada pedagang, ada anak-anak. Ada muara di pantai ini, juga ada barisan sampah berjarak 5 meter dari bibir pantai yang membentang sepanjang dua kilometer. Asap knalpot dari ATV yang berlalu-lalang juga mendominasi ketimbang bau asin air laut. Di dekat teluk batu karang, pasir pantai menghitam oleh dahsyatnya abrasi pantai yang melebur bebatuan. Sedikit licin.
Salah satu keunikan di Pantai Klayar adalah adanya air mancur di batu karang. Sebenarnya ini bukan air mancur, melainkan batuan berlubang yang — apabila ada ombak besar dan kencang — akan menyemburkan air ke angkasa. Sayang sekali untuk melihat air mancur dalam jarak dekat dilarang oleh penjaga pantai, karena ombak di teluk batu karang ini sangat deras dan bisa menyeret siapa saja. Apalagi dengan gradien yang curam, sangat disarankan untuk menjaga diri untuk tidak terseret arus balik.
‘Psst Fang, pelorotin celananya Juno yuk,’ tanpa basa-basi Fanggi dan Dandy mengunci posisi untuk melorotin celana saya. Berontak? Jelas. Tapi rontaan saya tak mampu menghalau niat mereka. Dua lawan satu. Satunya gemuk pula. Sialan! Untuk saya memakai hotpants bukan sempak segitiga!
Biru karamelnya perairan di dekat Pantai Klayar menggoda saya untuk mengabadikan minimal satu foto. Walau tanpa celana, asal ada selendang dan selir, boleh juga.
Tampaknya pantai ini sudah tidak seindah dan senyaman dahulu kala, ketika Didi Kempot menulis tembang syairnya.
![]() |
Berpose dengan taplak meja |
Menunggu ombak terbesar menghantam kami dari belakang |
***
Rasanya sudah lelah untuk berlama-lama di Pantai Klayar.
“Jam berapa sekarang Jun?”
Saya menoleh ke arah Mi Band 2 saya, “Lah, baru jam setengah sembilan? Anjir, lama banget.”
Terkadang waktu berjalan lambat begitu sedang dalam perjalanan. Maha Besar Tuhan atas segala kuasaNya mengatur kuantum.
![]() |
Fadhlul berpose dengan latar birunya laut selatan |
***
Perjalanan berikutnya — kalau rencana sih mau ke Pacitan kota. Tapi sebagai kota kecil tampaknya Pacitan tidak punya sesuatu yang menarik selain alun-alun kotanya. “Kita ke agenda berikutnya aja, yang ke kota di-skip ajalah.”
Waktunya menyambangi Pantai Banyutibo.
Sepanjang perjalanan, saya menjemur handuk dengan menjepitkannya pada wiper. Moga saja handuk lekas kering supaya kalau basah-basahan lagi di Banyutibo, tinggal pakai.
Air terjun Banyutibo menjadi wahana tersendiri bagi wisatawan |
Rupanya untuk menuju Pantai Banyutibo, kami tinggal menyusuri kembali jalan menuju ke Pantai Klayar. Pantai-pantai ini memang terhubung oleh satu jalan alternatif kelas desa yang mana kondisi jalan tidak begitu bagus dan sempit. Banyaknya kerikil lepas membuat mobil rentan tergelincir ke lembah sisi jalan. Begitu tiba di pintu masuk Pantai Banyutibo, banyak minibus mengantre untuk masuk. Rupanya pantai yang baru dikembangkan satu tahun belakangan ini hanya memiliki satu jalan akses masuk yang muat satu kendaraan saja. Alhasil, masyarakat pokdarwis setempat berkoordinasi menggunakan handy talkie antara pantai dan pintu masuk. Jarak dari pintu masuk ke pantai sendiri sekitar 800 meter dengan jalanan naik-turun curam. Tiket masuk? Cukup Rp. 10.000 saja per kepala.
Hampir 15 menit kami menanti antrean ini mengurai. Sebuah minibus tampak kesusahan untuk keluar. Beratnya angkutan memaksa para peserta fieldtrip untuk turun terlebih dahulu. Tak lama berselang, mobil kami bisa masuk. Ramainya pengunjung terpaksa membuat kami parkir jauh dari pantai.
***
![]() |
Pantai Banyutibo dengan air terjun di Pacitan |
Pantai Banyutibo ini berasal dari kata ‘banyu’ yang berarti air dan ‘tibo’ yang artinya jatuh. Penamaan ini dikarenakan ada sungai berhilir di pantai kecil ini yang membentuk air terjun. Jernihnya air sungai yang kemungkinan berasal dari tanah (topografi Pacitan adalah perbukitan), jadi apabila sudah berbasah-basahan dengan air laut yang lengket dan asin, bisa langsung membilas diri. Di pantai ini terdapat beberapa warung dan kamar mandi yang sudah sangat tertata. Dengan anjungan menghadap langsung ke laut selatan, para pengunjung bisa menyaksikan perjuangan keras para nelayan untuk melaut dengan menerjang riuhnya ombak Hindia di kejauhan.
“Turun yuk Kak Jun,” ajak Lala sembari menyerahkan mirrorless kesayangannya.
Untuk turun ke pantai, para pengunjung akan menuruni anak tangga yang dilanjutkan dengan tangga sungguhan (atau bisa aja sih dengan melompat — mendarat langsung ke pasir). Sayang sekali saya meninggalkan baju basah di mobil, padahal pengen banget berenang di pantai sekecil ini. 😄