Blog ini sedang dalam masa pemeliharaan.

Otomatisasi: Babak Baru Abad Teknologi

Inovasi dalam bidang teknologi telah membantu manusia memecahkan masalah mereka. Namun ada satu potensi masalah baru dari perkembangan teknologi: otomatisasi.
Dunia berubah. Semakin cepat, semakin tidak terkendali. Ribuan inovasi sedang diciptakan hari ini, begitu pula dengan hari-hari berikutnya. Satu per satu permasalahan yang membelenggu umat manusia terselesaikan. Tak hanya persoalan dipermukaan, bahkan hingga ke ujung akar permasalahan sekalipun: sibernetika, rekayasa biologis, rekayasa sosial, pola dan cara produksi. Perubahan ini sebagian ada yang menciptakan keharmonisan, namun ada pula yang menyebabkan gangguan.

Manusia pada dasarnya tidak seperti robot yang bekerja secara mekanis (Foto oleh Franck Veschi dari Unsplash)

Disruptif sendiri tidak melulu membahas mengenai teknologi seperti anggapan luas yang beredar dalam masyarakat. Disruptif secara epistemologi adalah fenomena hari ini dan esok (today and future) yang dibawakan oleh para pembaharu saat ini — atau definisi sederhananya — perubahan mendasar pada sesuatu yang merubah tatanan lama menjadi tatanan yang lebih baru. Memang fenomena yang paling menonjol adalah derasnya inovasi di bidang teknologi yang pada akhirnya berimbas pada aspek-aspek kehidupan masyarakat, ekonomi khususnya. Inovasi meskipun sifatnya memperbarui cara atau sistem lama, tidak semuanya bersifat positif. Basis inovasi sendiri beragam dan menimbulkan dampak yang bermacam-macam pula, bisa positif, bisa juga negatif. Apabila suatu disrupsi menciptakan dampak positif, maka dapat dimaksimalkan supaya dapat kebermanfaatannya dirasakan secara yang lebih luas. Bila dampak yang ditimbulkan sebaliknya, maka upaya meminimalisir dampak harus dilakukan.

***

Indonesia dalam Pusaran Disrupsi

Indonesia sebagai salah satu negara dengan upah buruh yang relatif murah memang berhasil menggaet para investor dan konglomerat guna membuka cabang usaha mereka. Pembukaan cabang ini terutama pada industri padat karya berhasil menciptakan lapangan pekerjaan: sebuah upaya mendegradasi statistik pengangguran terbuka nasional, terutama dari kalangan lulusan sekolah menengah yang masih mendominasi —meski pada akhirnya manusia dipaksa bekerja secara mekanistik dengan orientasi penyelesaian tugas. Akan tetapi dengan masuknya inovasi teknologi dan keinginan pengusaha untuk mengekspansi bisnis, meningkatkan income dengan mengurangi instrumen penyebab expense, pengalihan tenaga kerja manusia ke mesin perlu disadari sebagai kerentanan ancaman disintegrasi nasional. Mengapa disintegrasi? Karena apabila tidak ada regulasi yang mengikat, maka para pengusaha dapat berlaku sewenang-wenang terhadap pekerja mereka, termasuk mengganti tenaga kerja manusia dengan robot dan kecerdasan buatan. Dengan kata lain, dampak pemutusan hubungan kerja tak hanya menyasar para buruh saja, namun begitu pula dengan pekerjaan para white collar seperti guru yang digantikan oleh layanan bimbingan belajar berbasis daring, misalnya. Efek domino dari penggantian inilah yang harus diwaspadai, seperti meningkatnya angka kriminalitas juga kesenjangan antara si miskin dan si kaya.

***

Tenang, Disrupsi Hanyalah Fenomena Berulang

Disrupsi sebenarnya adalah perubahan wajar yang terjadi hampir di setiap tahapan manusia. Dengan pola siklis, perubahan akan terus terjadi apabila manusia menemui titik ketidakpuasan, termasuk pada sistem yang ada. Pada dasarnya, disrupsi sudah berBerdasarkan Hukum Moore yang diperkenalkan oleh Gordon E. Moore, dewasa ini teknologi bergerak secara eksponensial. Hal ini menandakan bahwa perkembangan teknologi akan mengalami akselerasi dan berlipat dua setiap 18 bulan. Ciri-cirinya? Kecepatan kinerja prosesor komputer, ukuran the big data, dan segala perangkat teknologi informasi akan semakin terjangkau harganya. Inilah mengapa harga perangkat teknologi yang ada saat ini seharga 1:10.000 dari harga piranti yang sama pada 25 tahun lalu. Contoh nyata adalah ponsel cerdas yang hampir ada di genggaman setiap orang, yang mana harganya kian murah untuk memenetrasi pasar teknologi hingga terkadang tidak sebanding dengan kecanggihannya.



Dampak utama adanya disrupsi adalah informasi menjadi salah satu barang konsumtif nan berharga yang diminati oleh masyarakat dan dapat diperoleh secara gratis. Hambatan dalam komunikasi dapat diminimalisir. Kondisi seperti ini mudah ditemui pada pergeseran transaksi perdagangan dari tatap muka ke dalam pasar daring (realitas maya). Pada prakteknya, pasar daring memberikan keleluasaan bagi penjual dan pembeli dalam menjual, mengeksplorasi barang, dan menentukan harga tawar barang yang akan ia beli. Cara melakukannya pun hanya dalam beberapa kali sentuhan, mudah, dan praktis. Di sisi lain, para penjual sekadar memamerkan produk dagangan mereka dalam etalase digital. Tak jauh berbeda dengan pasar luring yang membutuhkan toko fisik, pasar daring (marketplace) juga dibutuhkan usaha yang sama untuk menonjol di pasar. Perbedaannya, para pemain daring harus bekerja ekstra keras karena untuk membuka lapak secara daring dapat dilakukan secara gratis oleh siapa pun, juga pembeli yang hanya butuh waktu beberapa detik saja untuk segera berlalu. Sedikit berbeda dengan toko luring, kepercayaan antara penjual dan pembeli adalah barang tentu karena adanya informasi asimetris diantara keduanya: penjual lebih tahu menahu barang yang ia jual ketimbang pembelinya. Artinya, para pemain ekonomi yang berhasil dengan toko fisik mereka belum tentu berhasil dalam bersanding di pasar digital/daring.

“Kalangan menengah atas yang selama ini menguasai pasar, menikmati pasar, semua terdisrupsi. Perusahaan besar lagi kesulitan. Kini yang berbahagia yang kalangan bawah, karena semua bisa berbisnis,” ujar Rhenald Kasali, guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia mencoba memaparkan perubahan fundamental bisnis akibat revolusi teknologi yang akan berlangsung hingga 100 tahun ke depan.

Sejatinya disrupsi adalah fenomena yang tidak dapat dihindari. Bagi mereka yang mempertahankan cara-cara konvensional, akan lebih rentan menjadi korban arus disrupsi. Akan tetapi, disrupsi dapat dikendalikan untuk dijadikan peluang yang lebih baik apabila diterapkan secara tepat.

Berdasarkan simulasi lembaga riset McKinsey, sekitar 50 juta peluang pekerjaan akan hilang di Indonesia sebagai imbas dari disrupsi ekonomi. Pekerjaan-pekerjaan yang hilang ini dikarenakan banyaknya pekerjaan yang kini bisa digantikan oleh automatisasi maupun kecerdasan buatan—perlu dicatat: tak terkecuali pada sektor jasa. Lalu bagaimana cara menghadapi ancaman disrupsi ini?

***

Kunci Memenangkan Disrupsi

Kreativitas, improvisasi, keterampilan dan inovasi adalah kunci untuk memenangkan dan melewati era disrupsi. Kemampuan adaptif setiap insan sangat diuji kali ini. Sensitivitas para tenaga kerja untuk terus-menerus memperbaiki performa kerja juga dibutuhkan ketika dunia memasuki revolusi industri fase 4.0. Pada titik ini, barangsiapa yang mampu bekerja secara produktif, fleksibel, dan efisien akan tetap dipertahankan, dan mereka yang berlaku sebaliknya akan tergulung gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Bagi mereka yang berhasil, akan tercipta lapangan pekerjaan baru yang sesuai dengan tuntutan masa. Begitu pun sebaliknya, bagi mereka yang mengalami disrupsi inovasi dan sulit menyesuaikan diri, akan sangat mudah bagi kompetitor untuk ‘memukul’ balik usaha mereka. Beruntunglah bagi negara berkembang seperti Indonesia yang mana sedang mengalami surplus demografi dengan usia produktif yang lebih dominan. Apabila angkatan kerja dari usia produktif ini mampu dibina dan diarahkan menjadi tenaga kerja terampil, maka perekonomian bangsa akan meroket seiring dengan berkurangnya tenaga kerja tidak terampil akibat kompetisi. Dalam karya seminar yang ditulis oleh Richard Baldwin yang berjudul ‘The Great Convergence: Information Technology and The New Globalization’, dituliskan bahwa pada era disrupsi akan terjadi pergeseran industri yang dilakukan oleh negara maju dan berkembang. Negara maju akan menjadi basis ilmu pengetahuan, ide dan jasa sedangkan di negara berkembang akan menjadi basis manufaktur. Dampaknya, kelas menengah akan tumbuh dan kemiskinan menurun — dengan catatan ada regulasi yang matang untuk mewujudkan penyesuaian ini (semasa dan pasca disrupsi).

Meski inovasi sah-sah saja, pemerintah tetap perlu melakukan regulasi supaya disrupsi tidak menimbulkan masalah sosial dalam skala besar (Foto oleh Victoria Heath dari Unsplash)

Dari segi birokrasi, pemerintah dapat menerapkan regulasi yang dapat melindungi para tenaga kerja dari ancaman disrupsi. Sayangnya, umum terjadi dimana regulasi yang ditetapkan pemerintah terlalu kaku dan lekang waktu: berbanding terbalik dengan inovasi yang selalu bergerak cepat dan menyesuaikan zaman. Terlebih lagi, guna melindungi masyarakat dari ancaman disrupsi, dibutuhkan kebijakan publik yang terperinci supaya ada pengambilan keputusan yang tepat begitu hal yang tidak diinginkan terjadi. Menjadi sebuah dilema ketika inovasi tidak dapat dihentikan tapi perlindungan dibutuhkan. Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah guna menjalankan fungsi proteksi? Salah satunya adalah dengan menerapkan kebijakan fiskal yang berpihak dan melindungi tenaga kerja. Para pekerja yang dalam keadaan kritis tersapu disrupsi perlu untuk diberikan pendampingan baik dalam wujud pelatihan guna mengembalikan mereka kembali ke dalam bursa tenaga kerja. Tak dapat dimungkiri bahwa pembekalan keterampilan dan pendidikan menjadi salah satu solusi yang tepat, setidaknya untuk jangka pendek.

Selain dari sisi tenaga kerja, pemerintah dapat meredam gejolak disrupsi oleh akibat automatisasi dengan menerapkan pajak robot. Meski bertenaga komponen listrik, manusia dan robot memiliki kesamaan: alat produksi. Perusahaan harus tetap terikat dengan instrumen pajak yang diterapkan pada perusahaan yang menggunakan manusia sebagai alat produksinya, apabila ‘robotisasi’ merupakan dalih untuk peningkatan produktivitas dan serta reduksi pengeluaran. Atau bisa juga dilakukan penerapan pajak tinggi bagi masyarakat kelas teratas. Akan tetapi kebijakan ini harus diterapkan secara berhati-hati karena dapat berimbas pada daya inovasi.

***

Referensi

Aminuddin, M. Faishal. Respon atas Globalisasi: Dinamika Ketergantungan Ekonomi dalam Pembangunan di Indonesia. Globalisasi dan Neoliberalisme: Pengaruh dan Dampaknya bagi Demokratisasi Indonesia. t.thn. 41.

Basri, Muhamad Chatib. Inovasi Disruptif dan Disparitas. 26 Maret 2018.

Rothstein, Rodney J. One-step Gene Disruption in Yeast. Recombinant DNA Methodology. Elsevier, 1989. 331–340.
Cuma seorang pejalan yang gemar memaknai hubungan sosial.

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.